Sampah Makanan Memuncak di Tengah Kelaparan
![]() |
🖤 Admin MKM |
Kapitalisme lebih mementingkan produksi dan mengabaikan distribusi. Distribusi pangan yang tidak merata membuat kemiskinan dan kelaparan ekstrem terjadi. Seharusnya pemerintah dapat melakukan regulasi agar bahan pangan disalurkan secara merata.
OPINI
Oleh Siska Juliana
Pegiat Literasi
MKM, OPINI_Sampah merupakan hal yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini. Setiap hari pasti ada sampah yang dihasilkan, baik sampah organik maupun anorganik. Tak heran kita sering melihat tumpukan sampah di jalanan, sebab sering kali tempat penampungan sampah tak mampu membendungnya.
Ternyata hal ini selaras dengan pernyataan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa. Ia mengungkapkan bahwa jumlah makanan yang terbuang di Indonesia merupakan terbesar se-ASEAN. Sedangkan provinsi yang paling banyak menyumbang sampah makanan adalah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. (tirto.id, 03/07/2024)
Berdasarkan dokumen Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 menyatakan bahwa kerugian ekonomi yang disebabkan susut dan sisa pangan (food loss and waste) sangat besar, yaitu mencapai Rp551 triliun per tahun. Hal ini setara dengan 4-5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Jika diamati, makanan yang terbuang itu bisa digunakan untuk memberi makan 62% atau 25,22 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia. Selain itu, jika masalah ini terselesaikan, maka emisi gas rumah kaca akan turun sebesar 1.702,9 metrik ton CO2 atau setara dengan 7,3% emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2019.
Adapun jenis makanan yang sering dibuang adalah beras atau jagung. Total beras atau jagung yang terbuang sebanyak 3,5 juta ton. Jika ini dibiarkan, maka akumulasi beras atau jagung yang terbuang sampai tahun 2045 sebanyak 5,6 juta ton.
Untuk mengatasi hal tersebut, Bappenas meluncurkan peta jalan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045. Dapatkah program-program itu menjadi solusi susut dan sisa pangan?
Sebenarnya upaya untuk mengurangi sampah makanan tidak cukup dengan hanya memanfaatkan sisa makanan yang ada. Akan tetapi, harus juga memperhatikan penyebab banyaknya sampah.
Dalam sistem kapitalis saat ini, para produsen berlomba-lomba menghasilkan berbagai produk untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Tanpa memperhatikan apakah akan laku di pasaran atau tidak. Sehingga produk yang tidak terjual sampai pada batas kedaluwarsanya. Alhasil, produk tersebut ditarik dari pasaran dan dibuang.
Selain itu berdasarkan fakta, beras dan jagung merupakan sampah makanan yang paling banyak terbuang. Padahal keduanya adalah makanan pokok. Pemerintah sering kali melakukan impor beras saat panen raya di dalam negeri. Penumpukan beras di gudang pun tak dapat terelakkan. Karena lamanya beras disimpan, maka beras menjadi berkutu dan susut.
Sungguh sangat ironis. Di satu sisi banyak penduduk yang kelaparan akibat tidak mampu membeli beras atau jagung. Tetapi di sisi lain, banyak beras atau jagung yang terbuang sia-sia. Inilah bukti buruknya distribusi pangan dalam sistem kapitalis.
Kapitalisme lebih mementingkan produksi dan mengabaikan distribusi. Distribusi pangan yang tidak merata membuat kemiskinan dan kelaparan ekstrem terjadi. Seharusnya pemerintah dapat melakukan regulasi agar bahan pangan disalurkan secara merata.
Akan tetapi, kolaborasinya dengan pengusaha membuat tindakan itu tidak dilakukan, sebab pengusaha akan mengalami kerugian. Pengusaha lebih senang jika produk itu dimusnahkan daripada dikonsumsi warga miskin.
Sistem kapitalis memiliki asas sekularisme. Sekularisme merupakan paham yang menafikan aturan agama dalam kehidupan. Alhasil, lahirlah individu yang memiliki gaya hidup bebas. Misalnya, dengan mudah membuang makanan dan menumpuk sampah.
Sistem pendidikan dalam kapitalisme bertujuan mengejar materi semata. Tidak mampu melahirkan generasi yang berkepribadian mulia. Hal itu diperparah dengan penguasa yang abai terhadap perilaku masyarakatnya yang tidak menghargai makanan.
Maka permasalahan sampah bukan hanya sekadar melakukan daur ulang. Sebab banyak faktor yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, dibutuhkan solusi komprehensif yang dapat menyentuh akar masalahnya. Solusinya mengganti kapitalisme dengan sistem sahih, yaitu Islam.
Islam merupakan ideologi (mabda) yang melahirkan seperangkat aturan untuk kehidupan. Jadi, bukan hanya sebatas agama ritual saja. Islam dilandasi oleh akidah Islam yang membuat setiap individu memahami dirinya sebagai hamba Allah. Dia memahami tugasnya di dunia untuk beribadah, dan kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya selama di dunia.
Dengan pemahaman itu, setiap individu akan berhati-hati saat berperilaku, termasuk dalam hal makanan. Ia menyadari bahwa makanan adalah rezeki dari Allah dan akan dimanfaatkan sebaik-baiknya agar dapat melakukan aktivitas ketaatan kepada Allah. Alhasil, ia akan senantiasa menghargai makanan.
"Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam juga mengajarkan untuk tidak mubazir terhadap makanan.
"... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." (QS. Al-Isra: 26)
Ketakwaan individu tersebut dapat terlaksana ketika Islam diterapkan secara kafah dalam sebuah negara. Negara menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan generasi berkepribadian Islam yaitu pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam.
Negara juga akan mengawasi industri supaya tidak ada praktik membuang makanan. Makanan yang diproduksi akan disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Negara juga akan mendistribusikan makanan dengan baik dan mengambil dana dari baitulmal agar tidak ada warga yang kelaparan.
Negara juga akan memfasilitasi warga yang memiliki kelebihan makanan untuk membaginya pada warga miskin.
Khalifah Umar bin Khaththab telah mencontohkan sikap teladan saat rakyatnya mengalami krisis pangan. Saat itu, beliau menolak makan daging karena kondisi rakyatnya tidak baik-baik saja.
Maka dari itu, satu-satunya solusi dalam mengatasi permasalahan sampah makanan adalah dengan menerapkan Islam secara kafah.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar