Hujan Membawa Duka

🖤Admin MKM

CERPEN 

Oleh Diana

Pegiat Literasi 



MKM, CERPEN_"Di langit awan terlihat mendung, sepertinya mau turun hujan," gumamku. 


Dengan langkah cepat aku berjalan ke toko kue yang ada di seberang jalan untuk membeli bahan kue pengantin pesanan dari teh Irma, tetanggaku.


Pada saat menghitung dan membayar belanjaanku, hujan turun sangat deras.


"Aduh gimana nih, aku nggak bawa payung. Kalau pulang sekarang nanti bahan kuenya basah," pikirku.


"Pak, ikut berteduh dulu," kataku. 


"Silahkan Neng. Nih, bangkunya," sahut pak Yanto.


"Terima kasih," ucapku.


Sambil duduk, pikiranku mulai tidak tenang. Teringat genteng di dapur ada yang bocor, aku khawatir ibu ke dapur dan terpeleset karena ada genangan air.


"Ya Tuhan, lindungilah dia dari segala bahaya," pintaku. 


Setelah hujan reda, aku pamit ke Pak Yanto dan langsung pergi. Baru saja berjalan 4 langkah, "Anggi...Anggi," ada suara yang memanggilku. Aku menoleh ke arah suara itu. Kulihat seorang lelaki berdiri dan memperhatikanku.


Dia menghampiriku dan bertanya, "Apa kabar Anggi? Sudah lama kita tidak ketemu."


"Maaf kamu siapa? Aku lupa lagi."


"Kamu masih ingat nggak, Doni si gendut, teman SD-mu dulu."


"Oh, kamu Doni si gendut itu? Ya ampun, aku sampai tidak mengenalimu. Habis kamu sekarang langsing." 


"Ya dong, aku kan minum obat pelangsing," jawab Doni sambil tertawa lepas. Aku pun ikut tertawa.


"Aduh...maaf Don, aku harus cepat pulang, ibu di rumah sendirian."


"Memang ayah dan kakakmu kemana?"


"Mereka sudah tiada, ayahku meninggal tersambar petir saat pulang kerja dan kakakku meninggal tertabrak mobil. Mereka sama meninggal ketika turun hujan," jelasku. 


Aku langsung teringat ibu dan berlari meninggalkan Doni menuju rumah. Bruaak...pintu terbuka.


"Ibu...ibu...ibu di mana?"


Kulihat kamarnya sudah terbuka. "Ibu kemana ya? Kok nggak terdengar suaranya."


Dengan cepat, aku masuk ke dapur. Terlihat di sana tubuh ibu tersungkur, sepertinya ibu terpeleset jatuh karena ada genangan air di situ. 


"Ibu...!" aku berteriak.


"Tolong...tolong!"


Tetangga pun berdatangan dan bertanya, "Ada apa, Anggi?"


"Ini tolong, sepertinya ibu jatuh pingsan. Ayo kita pindahkan ke ruang tengah."


Dengan gesit ibu diangkat ke ruang tengah. Lalu Pak RT memeriksa ibu.


"Innalillahi, ibu sudah meninggal," jelas Pak RT. 


Aku berteriak, "Tidak mungkin ibu meninggal!" Dadaku terasa sesak, kepalaku pusing. Aku tak sadarkan diri di sisi jenazah ibu.


Ketika aku sadar, kulihat ada Doni. "Yang sabar ya, Anggi, ikhlaskan kepergiannya agar dia tenang di alam sana," ujarnya.


Dengan air mata yang terus keluar, aku bergumam semua keluargaku meninggal karena hujan, "Aku benci dengan hujan. Aku benci...benci...!"


"Jangan berkata seperti itu, Gi. Ini semua sudah kehendak Tuhan. Bukan karena hujan, kita sebagai makhluk tidak akan bisa mengubahnya," kata Doni. 


Dengan menarik napas panjang, Anggi berterima kasih kepada Doni karena dia sudah menyadarkannya dan juga menemaninya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan