Rintik yang Membakar
🖤 Admin MKM
Entah kenapa tiap hujan deras mengguyur bumi, justru malah mengobarkan api di dalam gubuk mereka, sehingga berubah menjadi medan perang. Sinta kecil hanya bisa meringkuk di sudut kamar, berharap badai itu segera berlalu. Ia memeluk erat kedua adik laki-lakinya yang masih balita.
CERPEN
Oleh Raa Tyas Putri
Pegiat Literasi
MKM_CERPEN,Rintik hujan turun dengan lembut di kota kecil yang padat penduduk. Awan kelabu menggantung rendah di atas langit, menciptakan suasana yang sendu dan sunyi. Di balik jendela kamar, seorang wanita berusia 35 tahun memandang tetesan air yang merayap pelan di kaca, melukis pola-pola acak yang membuat ingatannya kembali pada perjalanan hidup yang penuh dengan kenangan pahit. Setiap tetes hujan itu bukan menghadirkan kesejukan, melainkan bara api yang seolah membakar tiap sudut hatinya, meninggalkan bekas luka lama yang tak kunjung hilang dan masih terasa sakit.
Sinta, sejak kecil ia mengenal hujan seperti belati dan bara api yang siap melukai dirinya kapan pun. Di gubuk kecil yang reyot, hujan selalu menjadi pertanda buruk. Sang ayah adalah seorang pemabuk dan sering pulang dalam keadaan mabuk berat, selalu marah-marah saat hujan turun.
Bukan karena cuacanya yang membuat dia marah, tapi hujan seringkali mengingatkan ayahnya pada kehidupan yang penuh penderitaan. Tiap kali ia mengamuk saat mabuk, ia pun seringkali melampiaskannya pada ibu dan adik-adik Sinta yang masih kecil. Ibu Sinta tidak berdaya. Ia hanya bisa pasrah, menerima hantaman dari tangan suaminya serta cacian yang meluncur tanpa perasaan seperti bilah pedang menusuk hati.
“Dasar perempuan pembawa sial!” Cacian itu selalu terlontar dari mulut sang ayah, ketika mabuk. Sembari mencaci ibu Sinta, ia juga menghujani wanita ringkih itu dengan pukulan dan tendangan.
Entah kenapa tiap hujan deras mengguyur bumi, justru malah mengobarkan api di dalam gubuk mereka, sehingga berubah menjadi medan perang. Sinta kecil hanya bisa meringkuk di sudut kamar, berharap badai itu segera berlalu. Ia memeluk erat kedua adik laki-lakinya yang masih balita.
Masa kecil Sinta seperti neraka yang dipenuhi dengan ketakutan dan kesedihan mendalam. Ia pun menjadikan rintik hujan sebagai sinyal untuk mempersiapkan dirinya menghadapi badai yang akan datang. Hujan bagi Sinta tidak pernah pembawa kesegaran, tetapi awal dari mimpi buruk yang terus-menerus berulang entah kapan akan berakhir.
“Ya Allah, kenapa harus hujan-Mu yang menjadi mimpi buruk kami?” tatap Sinta lirih dalam doanya.
Menginjak masa remaja, Sinta pun mulai berani memberontak dalam diam. Ia bertekad untuk keluar dari lingkungan toksik yang membuatnya terpasung dalam trauma. Berbekal semangat dan keteguhan hati, ia bekerja paruh waktu di sebuah warung kecil untuk membiayai sekolahnya sendiri.
Setiap hari, ia berjuang keras untuk mengejar mimpinya menjadi seorang pengacara, berharap bisa mengubah nasib keluarga mereka. Hujan kini memiliki makna ganda dalam hidup Sinta, simbol trauma dan perjuangan. Setiap kali hujan turun, Sinta meyakinkan dirinya bahwa ia harus mampu bertahan, meski topan menerjang, ia tidak boleh menyerah.
Usaha kerasnya tidak sia-sia, ia berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi dan meraih gelar Sarjana Hukum dengan biaya sendiri. Sinta pun mendapatkan pekerjaan yang layak di kota, sebagai staf salah satu firma hukum ternama. Ia memilih meninggalkan gubuk di mana masa kecilnya penuh dengan goresan luka. Sinta mencoba memulai kehidupan baru dengan harapan yang lebih cerah.
Ternyata hidup tak pernah semudah yang ia bayangkan. Dalam perjalanan hidupnya yang baru, Sinta bertemu dengan seorang pria yang berhasil mencuri hatinya. Pria itu tampak sempurna, penuh perhatian dan kasih sayang. Sinta, yang sebelumnya tak pernah merasakan cinta sejati, perlahan-lahan mulai membuka hatinya.
“Sinta, apakah kamu mau jadi kekasihku?” Pernyataan cinta pria itu membuat hati Sinta yang haus kasih sayang seorang ayah pun luluh.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Ternyata, pria tersebut hanya mempermainkan perasaannya dan berselingkuh di belakang Sinta. Ketika kebenaran terungkap, ia kembali hancur.
Hujan pun hadir dalam hidupnya, kali ini menjadi pengingat luka hati yang mendalam. Rintik hujan yang jatuh di jendela kamarnya terasa seperti bara yang membakar harapan dan kepercayaannya pada cinta. Sinta kembali merasakan sakit yang pernah ia rasakan di masa kecil, tetapi kali ini jauh lebih menyakitkan.
Kehilangan dan trauma membuat Sinta jatuh ke dalam kegelapan. Ia hilang arah dalam hidupnya. Hari-hari pun terasa hampa baginya, seperti hujan yang terus-menerus turun tanpa henti. Setiap tetesan hujan membawa ingatan tentang kegagalan, kesedihan, dan kekecewaan.
Sinta mulai meragukan keputusannya untuk meninggalkan masa lalunya, merasa bahwa setiap usaha yang ia lakukan sia-sia. Hujan yang tadinya selalu membawa semangat perjuangan kini berubah kembali menjadi simbol kepedihan dalam hidupnya.
Dalam kegelapan itu, Sinta mulai mencoba mencari kembali jati dirinya yang hilang. Ia tidak ingin terus dihantui luka dan trauma masa lalu. Wanita ini mulai melihat hujan dengan cara yang berbeda, bukan sebagai bara yang membakar hatinya, tetapi sebagai teman yang mengingatkannya untuk terus bertahan.
Perlahan ia belajar untuk menerima bahwa badai memang akan selalu hadir dalam kehidupan, tetapi badai itu akan berlalu seiring waktu menyisakan langit yang cerah dan cahaya mentari yang hangat. Sinta mulai menemukan kekuatan, belajar memahami bahwa setiap tetes hujan yang jatuh adalah awal dari proses penyucian dan pertumbuhan.
Waktu berlalu, dan Sinta perlahan bangkit dari keterpurukan. Mulai menata hidupnya kembali, merangkul setiap tantangan dengan hati yang lebih kuat.
Hujan kembali turun hari ini, tetapi kali ini Sinta menyambutnya dengan senyuman. Ia berdiri di bawah hujan, merasakan setiap tetesnya yang tidak lagi membakar, melainkan menyegarkan dan membawa kehidupan baru. Hujan yang dulu penuh dengan kenangan pahit kini menjadi simbol pengharapan.
Sinta siap menjalani hidupnya dengan lebih bijaksana, menerima segala hujan dan badai yang datang sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Sinta menutup matanya, membiarkan rintik hujan membasahi wajahnya, dengan hati yang lebih lapang. Ia tahu, di balik setiap badai pasti ada pelangi, dan di balik setiap tetes hujan yang membakar pasti ada kesejukan yang menanti.
Sinta kini paham bahwa hidup adalah tentang bagaimana kita memaknai hujan yang turun, dan bagaimana kita memilih untuk tetap berdiri meski badai datang silih berganti. Hujan bukan lagi hal yang perlu ia takuti, melainkan teman setia yang akan selalu ada untuk mengingatkan bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru.
Komentar
Posting Komentar