Bangun Rumah Kena Pajak, Watak Sistem Pemalak



Selama kapitalisme masih menjadi payung hukum kehidupan kita, pajak ibarat dua sisi mata uang yang tidak akan terpisah dengan sistem yang diterapkannya untuk mengatur kehidupan.

OPINI 

Oleh Khaulah

Aktivis Dakwah


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Besarannya bahkan akan naik dari 2,2 persen menjadi 2,4 per 1 Januari 2025. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP). Tarif PPN membangun rumah sendiri secara rinci tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.


Kegiatan "membangun sendiri" yang dimaksud dalam aturan tersebut juga mencakup perluasan bangunan lama, bukan hanya pendirian bangunan baru. Ada beberapa ketentuan yang membuat kegiatan pembangunan itu dikenakan PPN, seperti konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan atau baja. Selain itu, bangunan tersebut diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan paling sedikit 200 meter persegi.(cnnindonesia.com, 15/9/2024)


Parahnya lagi, kegiatan "membangun sendiri" yang dilakukan sekaligus dalam waktu tertentu, atau bertahap dengan jangka antartahapan tak lebih dari 2 tahun. Jika masa pembangunan antartahapan lebih dari 2 tahun, maka dianggap sebagai kegiatan "membangun sendiri" yang terpisah. Ini akan dievaluasi secara independen apakah memenuhi kriteria untuk dikenakan PPN atau tidak. (tirto.id, 13/9/2024)


Adanya PPN membangun rumah sendiri tersebut kenaikannya tentu membuat kita mengelus dada. Sejatinya rumah merupakan kebutuhan dasar yang pengadaannya menjadi tanggung jawab negara, bukan malah negara menjadi pemalak rakyat. Apalagi hari ini banyak masyarakat yang tidak memiliki rumah. Ada yang memiliki rumah tapi tidak layak ditempati. Per tahun 2023 lalu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS mencatat, 32 juta dari total 75 juta rumah tangga di Indonesia tinggal di rumah yang tidak layak huni.


Sedangkan yang belum memiliki rumah, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam lima tahun terakhir mencapai belasan juta. Artinya, mereka tidak tinggal di rumah milik sendiri. Jadi bisa di kontrakan, di rumah orang tua, atau menumpang dengan keluarga lainnya. Pada 2021 misalnya, ada 14,3 juta rumah tangga yang tidak tinggal di rumah sendiri.


Kenyataan ini tentu membuat miris. Apalagi bila kita bandingkan dengan kekayaan alam yang dimiliki negeri ini. Bukankah kekayaan negeri ini melimpah ruah, hingga dijuluki Zamrud Khatulistiwa? Lantas mengapa masih banyak rakyat yang tidak memiliki tempat berlindung dari terik matahari dan hujan? Bahkan lebih miris lagi melihat pemimpin negeri yang bukannya membantu rakyat, justru memalak rakyat dari segala dimensi.


Jika dicermati lebih jauh, wajar jika dikatakan bahwa penerapan ekonomi kapitalisme membuat rakyat susah memiliki rumah. Bermula dari tidak ada atau kurangnya lapangan pekerjaan, ditambah gaji yang kecil, tentu sangat kecil kemungkinannya bagi rakyat bisa membangun rumah yang memadai tanpa mengandalkan pinjaman dalam lingkaran sistem kapitalis. Di sisi lain, rakyat yang bisa membangun justru dikenai pajak yang makin tinggi. Hal ini jelas karena negara menerapkan sistem pengaturannya bukan berasal dari Sang Maha Pengatur.


Alih-alih upaya negara untuk meringankan beban rakyat, justru muncul kebijakan-kebijakan yang semakin memberatkan rakyat seperti termasuk penetapan pajak rumah. Apalagi besaran pajak yang ditentukan hampir sama dengan biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk mendirikan bangunan dalam setiap tahap sampai bangunan selesai. Tidak termasuk biaya perolehan tanah sesuai dengan ketetapan negara. Padahal, untuk memperoleh bahan bangunan seperti pasir, semen, dan lainnya, juga menguras biaya yang tidak sedikit.


Hal ini jelas sekali menggambarkan bagaimana negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan (perumahan) masyarakat. Negara dalam cengkeraman kapitalisme akan terus getol menarik pajak dari rakyat. Selain PPN ada lagi pajak PPh, PBB, PKB dan lainnya. Begitulah konsekuensi diterapkannya kapitalisme, pajak merupakan menjadi sumber pendapatan utama negara. 


Oleh karena itu, selama kapitalisme masih menjadi payung hukum kehidupan kita, pajak ibarat dua sisi mata uang yang tidak akan terpisah dengan sistem yang diterapkannya untuk mengatur kehidupan.


Berbeda halnya ketika kita menjadikan Islam sebagai sistem. Penerapan sistem ekonomi Islam akan menjamin kesejahteraan bagi setiap individu rakyat, tanpa terkecuali. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat dengan gaji yang layak. Apalagi sebagai seorang kepala keluarga yang dalam pandangan Islam berkewajiban memberi nafkah kepada keluarganya.


Negara Islam juga memiliki sumber pendapatan yang berasal dari pengelolaan harta milik umum, sehingga dalam sistem Islam pajak bukanlah sumber pendapatan negara. Sumber pendapatan utama negara dalam sistem Islam berasal dari harta ganimah, fai, dan kharaj. Dengan harta-harta inilah kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan dan papan dipenuhi oleh negara. Begitu pula kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan dipenuhi oleh negara sebagai bentuk pelaksanaan amanah kekuasaan.


Islam sebagai agama dan sistem yang apabila diterapkan akan menjadi rahmat bagi semesta alam, anti membebani rakyatnya, apalagi dengan pajak. Pada kondisi ketika kas di baitul mal kosong dan sangat dibutuhkan untuk sesuatu yang mendesak, maka akan dipungut pajak (dharibah). Pungutan ini bersifat temporer, tidak kontinyu, dan hanya pada kepada orang kaya. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban dharibah bisa dihapuskan.


Sungguh, hanya dengan Islam rakyat hidup dalam kebaikan. Negara pun tidak menjadi pemalak rakyat; jika sistem Islam diterapkan secara sempurna. Sudah selayaknya kita mengikuti perintah Allah, "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kafah dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."(QS Al-Baqarah (2): 208)


Wallahualam bishawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan