Lorong Kenangan
![]() |
Hal seperti ini berulang terjadi, lisanku mengingkari kehadiran nama Rico, tapi hatiku sering berdegup tak karuan saat mendengar namanya disebut. Dan hari ini tahun keenam aku menjalani suasana hati seperti ini. Dalam ketidakpastian tentunya. Dikatakan menunggu, aku ragu, pantaskah aku menunggu. Bisa jadi berita yang selalu Nadia bawa, hanya sebuah sendauan saja. Dikatakan jangan terlalu mudah percaya, nyatanya hatiku telah lama tertutup untuk siapa saja yang datang mengetuknya.
CERPEN
Oleh Eni Suswandari
Pendidik Generasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Benarkah yang Nadia katakan enam tahun silam? Bahwa di lorong ini ada sepasang mata yang diam-diam sering memperhatikanku dari balik jendela musala di ujung sana. Setiap azan berkumandang lantas langkah kecilku menyusuri lorong ini menuju musala. Setiap saat itu seseorang mengintai kemudian berpaling dengan alasan ghodul bashar atau menundukkan pandangan.
"Dia mengagumimu, Din. Sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah dulu," bisik Nadia kala itu.
"Apa sih Nad, suka ngaco deh kalo ngomong," tukasku, berusaha menepis apa yang kudengar.
"Ih, ga percaya banget lo, Bang Rico pernah bilang kok. Supaya aku jadi teman baik kamu, biar dia tahu sejauh mana tentang kamu. Ga perlu dari orang lain, tapi dariku yang jelas adik sepupu, sekaligus saudara sepersusuannya. Jadi ga menimbulkan fitnah." Nadia menjelaskan panjang lebar, tentang perasaan Rico yang masih tetap membuatku seperti mendengar bualan. Aku lantas berusaha untuk tak percaya begitu saja.
Nadia juga menjelaskan bahwa Rico begitu memegang prinsip agama. Tak mau berpacaran sebab itu termasuk perkara yang dilarang agama. Mendekati zina katanya. Sampai ia menunjukkan padaku pembatas buku yang sedang dibacanya yang bertulis surat Al-Isra ayat 32, dengan hiasan ukiran bunga yang cantik.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَحِشَةً وَسَاءَ سَبِيل
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)
Itulah alasan mengapa Rico hanya memendam perasaannya. Tapi mengirimkan Nadia sebagai perantara untuk aku mengetahuinya.
"Bang Rico bilang, insyaAllah kalau sudah tiba waktunya nanti baru ia akan datang mengungkapkan perasaannya." Nadia berusaha meyakinkanku. Aku hanya senyum. Prinsip yang cukup baik untuk laki-laki seusianya. Tak seenaknya mendekati wanita yang disukai. Adapun aku, tentu tak berani berharap banyak, untuk sesuatu yang belum jelas kepastiannya, apalagi bicara hal begini dalam balutan putih abu-abu. Masih abu-abu juga tentunya. Papa juga melarang aku terlibat gaya pergaulan remaja zaman now. Bisa merusak masa depan versi papa. Aku sih tidak masalah. Toh jodoh juga ketetapan Allah.
Tapi jujur, setiap cerita Nadia sedikit banyaknya telah mempengaruhi pikiranku. Nyatanya, aku sekarang ada pada posisi ini. Tanda tanya. Meragu. Berharap. Semua jadi satu.
"Din, ada salam dari Bang Rico." chat dari Nadia suatu ketika, saat aku sedang menyelesaikan proposal skripsiku beberapa bulan lalu.
"Nad, ga usah ngigau. Ini masih jam sembilan malam, udah mimpi kelewatan kamu ah." balasku untuk menetralisir hati yang sebenarnya tiba-tiba begitu bersemangat, padahal sebelumnya mulai lelah. Hampir aku menutup laptopku dan aku beranjak tidur. Tapi chat Nadia, mengirimkan suplai energi dan akhirnya kantukku hilang.
Hal seperti ini berulang terjadi, lisanku mengingkari kehadiran nama Rico, tapi hatiku sering berdegup tak karuan saat mendengar namanya disebut. Dan hari ini tahun keenam aku menjalani suasana hati seperti ini. Dalam ketidakpastian tentunya. Dikatakan menunggu, aku ragu, pantaskah aku menunggu. Bisa jadi berita yang selalu Nadia bawa, hanya sebuah sendauan saja. Dikatakan jangan terlalu mudah percaya, nyatanya hatiku telah lama tertutup untuk siapa saja yang datang mengetuknya.
"E ... e ... apa Sin, kamu bilang apa?" aku begitu gugup saat tiba-tiba Sinta sudah duduk di sampingku dan tangannya sudah memegang pundakku.
"Dina ... ngelamun ya, mikirin apa coba? Ini masih pagi lo. Mikirin apa sih? Udah tanda tangan kepala sekolahnya? Tinggal nunggu tanggal wisuda kan? Woles aja sih. Kek beban hidup banyak banget gitu," pertanyaan Sinta beruntun seperti peluru dan aku tahu itu semua tak butuh jawaban. Aku balas saja dengan senyuman.
"Tinggal nunggu tanda tangan kepala sekolah, tapi beliau sedang ada tamu. Udah beli pulsanya?" pertanyaan basa basi. Kalau dia sudah kembali ke tempat ini tentu sudah berhasil ia mengisi pulsa.
"Din, masih ingat kakak kelas yang mantan ketua OSIS waktu kita kelas X?" pikiranku melayang kembali ke masa awal putih abuku. Laki-laki yang dimaksud adalah Rico. Aku hanya mengangguk tanpa menyebut nama. Namun, ada desir aneh di dalam dada ini.
"Dia tadi di counter dan tahu, gak?" aku menggeleng cepat, berkali-kali seraya mengernyitkan muka.
"Dia tambah dewasa. Ganteng banget, Din. Beda banget ama dia yang unyu-unyu saat baru lulus SMA dulu. Inget kan waktu perpisahan sekolah. Dia bisa menyihir semua undangan untuk banjir air mata melalui pidatonya." Aku hanya senyum kecut.
"Wajar Sin, sudah hampir lulus S2 kan wajar lah tambah dewasa. Sin, kalau melihat calon suami itu bukan hanya dari wajahnya yang tampan, tapi lihat agamanya." sahutku tanpa banyak berpikir.
Sinta menarik mundur kepalanya dan menunjukkan wajah keheranan. Aku sedikit tersentak mengingat kalimatku sendiri. Apa yang telah ku ucapkan. Astaghfirullah.
"Din, kamu kenapa sih. Aku ga lagi bicara suami atau sejenisnya. Aku hanya cerita bertemu Rico mantan ketua OSIS dulu. Kenapa jadi calon suami ya?" Sinta berbicara menggerutu sendiri.
Aku hanya nyengir dan menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Apakah sejauh itu alam bawah sadarku menerjemahkan nama Rico.
Hari berselang. Aku masih sibuk menyelesaikan berapa berkas untuk persyaratan wisuda juga persiapan dresscode keluarga saat hari itu tiba. Siang ini aku melintas tepat di jalan depan rumah Rico. Sebuah tenda dengan segala persiapan dekorasi tampak di sana. Sepertinya ada acara besar. Kenapa Sinta tak cerita soal ini? batinku.
Eh, iya. Sinta kan hanya melihat Rico di counter bukan bicara tentang rumahnya. Lagian, rumah Rico bukan di pinggir jalan raya, melainkan masuk gang perumahan.
Ada sedikit tanya dalam hatiku, acara apa ya? Ah, apapun itu tentu tak ada hubungannya denganku yang bukan siapa-siapa. Toh, selama bertahun-tahun lamanya juga tak pernah berkomunikasi dengan mantan senior itu. Sesekali berjumpa di kampus itu pun hanya sepintas lalu saja. Tak ada perbincangan, sebab memang dia bukan tipe pria yang dekat dengan kaum hawa. Begitu kata Nadia.
Sekilas aku melihat Nadia di dalam tenda yang sedang dirias oleh petugas dekorasi itu. Sepertinya turut memberi semacam arahan. Ah, lagi-lagi kutepis rasa ingin tahu ini. Aku bukan siapa-siapa dan memang tak harus tahu banyak tentang kehidupan keluarga mereka.
Kulanjutkan roda duaku agar segera sampai di rumah penjahit yang sedang menyelesaikan dresscode persiapan wisudaku. Tak sengaja kulihat undangan yang tergeletak di atas meja kerja Teh Ida, pemilik usaha jahit ini.
Subhanallah. Ternyata nama Rico Adiguna dan Rintan Wulandari, tertera dengan sangat jelas di sana. Tiba-tiba ada ngilu yang tak dapat kucegah merambat dalam dada ini. Sejenak pikiranku melayang entah ke mana. Ragaku seakan tak menapak bumi. Bahkan saat Teh Ida menawarkan agar aku menunggu atau akan kembali lagi besok pagi, sebab mati lampu, aku benar-benar tak mendengarnya. Hingga beberapa kali Teh Ida memanggilku, aku baru tersadar. Ada beberapa hal yang masih perlu finishing. Aku tak tahu harus menjawab apa. Seperti kelu lidah ini. Tapi ini bukan pengkhianatan. Ini hanya sebuah rasa yang tumbuh pada tempat yang tidak tepat.
Selamat berbahagia Co. Semoga ucapan salam yang selalu Nadia sampaikan kepadaku selama ini tidak menenggelamkan diri ini dalam palung harapan. Meski rasa itu pernah singgah juga, semoga mudah untuk melupakannya. Rizki, jodoh, maut ada di tangan-Nya.
Ampuni aku, Yaa Allah. Kuingat baik-baik kalimat sakti dari Sayidina Umar Bin Khattab Radhiallahu anhu. Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku. Karena itu aku merasa tenang.
Aku mencintai-Mu, Yaa Allah. Astaghfirullah wa atuubu ilaika.
Keren cerpennya, Allah penentu segalanya ❤️
BalasHapus