Duduk dan Dengarkan Dulu

 



CERPEN 

Oleh Devy Rikasari 

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Siang itu seperti biasa Arini berangkat menuju Musala Ar-Rahman, tempat ia biasa mengisi pengajian ibu-ibu. Dengan penuh semangat dan optimis ia menenteng laptop, speaker aktif dan infokus sebagai "amunisi perang". 


Sudah sebulan ini ia rutin mengisi pengajian ibu-ibu di kompleknya. Berawal dari antusiasme beberapa orang hingga memenuhi hampir setengah musala tersebut. Sungguh bahagia tak terkira perasaan Arini bisa berbagi ilmu dengan ibu-ibu muda di sana. Setiap pekan ia akan menyiapkan bahan kajian dengan membaca buku, diskusi dengan suami dan guru ngajinya, hingga menonton video youtube yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas. Semua itu ia lakukan demi tercapainya pemahaman ibu-ibu tentang Islam kaffah.


Jam sudah menunjukkan pukul 12.55. Lima menit lagi pengajian akan dimulai, tetapi belum ada satu orang pun yang hadir. Arini menatap arloji yang melekat di tangannya. Benar, tidak salah waktu kok. Ia pun mengecek tanggal di ponselnya, juga tak ada kesalahan. 


Ada apa ya, kok belum pada datang? Batin Arini.


Mba, maaf ya saya ngga bisa hadir karena anakku rewel ngga mau ditinggal.

Satu pesan masuk di gawainya.


Oh, Ibu Rahmi kenapa ndak diajak aja nak salehnya? Balas Arini.


Hening. Bu Rahmi tidak memberi balasan lagi.


Lima belas menit berlalu dan tidak ada satu pun peserta kajian yang hadir. Sesuai dengan kesepakatan mereka sebelumnya, jika sudah lewat dari 15 menit maka kajian bisa dimulai, tidak perlu menunggu yang belum hadir. Namun, kali ini Arini tidak bisa memulai kajian karena musala kosong. Hanya ia dan perangkat dakwahnya yang sudah standby.


“Hmm ... Baiklah, kutunggu 15 menit lagi aja deh ....” celetuknya di dalam hati.


Tiga puluh menit berlalu. Arini mulai tampak cemas, tetapi ia berusaha menguatkan hatinya. 


Mungkin ibu-ibu memang sedang ada uzur syar'i. Biarlah nanti aku japri lagi.

Batinnya kemudian sembari membereskan laptop dan infokus yang sudah terpasang sejak 30 menit lalu.


***

Pagi ini jadwal kunjungan ke rumah pelajar binaannya. Arini sangat bersemangat karena ia akan mendapat kabar tentang ibu-ibu mad'u-nya yang tempo hari tak satupun muncul batang hidungnya.


"Mba, aku denger kabar ini dari Mba Marni, pembantunya Bu Rahmi. Katanya, beliau dilarang suaminya ikut kajian lagi sama Mba Arini," ungkap Dea, pelajar binaan Arini membuka percakapan.


"Lho, memangnya kenapa, Dik?" tanyaku.


"Itu lho, Mba, kata suami Bu Rahmi, Mba Arini itu radikal," jawab Dea hati-hati.


Arini tampak gusar. Raut wajahnya tak secerah saat pertama datang ke rumah Dea. Ia membenarkan posisi duduknya dan bertanya lagi, "Memangnya apa yang radikal dari kajian Mba ya, Dik?"


"Entahlah, Mba. Aku juga enggak tahu pasti. Cuman menurut Mba Marni, suami Bu Rahmi naik pitam waktu ngelihat istrinya pulang kajian bawa selebaran kaffah," pungkas Dea.


"Hm ... Heran ya sama pemikiran orang-orang zaman now. Kenapa sih, enggak tabayun dulu? Padahal apa yang disangkakan bisa jadi enggak seperti yang dipikirkan. Mba jadi ingat kisah Mush'ab bin Umair waktu pertama kali dakwah di Madinah, Dik," jelas Arini.


"Memangnya gimana, Mba?" Dea malah penasaran dengan kisahnya.


"Jadi waktu Mush'ab bin Umair diutus oleh Rasulullah untuk berdakwah di Madinah kan sempet ditolak oleh pemuka kaumnya. Mush'ab yang saat itu ditemani oleh As’ad bin Zurarah mau berdakwah ke perkampungan Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar. Sampai di sana, mereka duduk di kebun milik Bani Zhafar dengan beberapa orang yang sudah masuk Islam. Sementara itu, Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Khadir yang menjadi pemimpin kaumnya di Bani Asyhal masih musyrik. Ketika mendengar kedatangan dan maksud Mush’ab dan As’ad, Usaid menemui keduanya dengan membawa tombak, siap untuk mengusirnya. Kebayang enggak sih, Dik, niat mau berdakwah malah dihampiri dengan tombak?" papar Arini.


"Wah, ngeri ya, Mba, tapi mirip sama kejadian zaman now deh, di mana sebagian ustaz yang dicap radikal malah dibubarkan pengajiannya. Oh, ternyata di zaman Rasul juga pernah ada ya?" tanya Arini makin penasaran.


"Iya, Dik. Nah, waktu menjumpai Mush'ab, Usaid itu berwajah muram dan ia berkata dengan suara tinggi, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Apakah kalian berdua hendak membodoh-bodohkan orang-orang yang lemah di antara kami? Jauhilah kami jika kalian ada keperluan untuk diri kalian!” Kalo Mba, mungkin udah gemeter dikatain gitu, Dik," tambah Arini lagi.


"Iya ya, Mba, aku juga bakal kabur deh kayaknya. Kapok enggak bakalan lagi deh dakwah di tempat itu," imbuh Dea.


"Nah, tapi sikap Mush'ab justru sangat tenang lho, Dik. Dengan santai dan sopan Mush’ab menimpali, “Silakan duduk dan dengarkan dulu yang akan aku sampaikan. Jika engkau menyukainya, engkau boleh menerimanya. Namun, jika engkau tidak sependapat, kau bisa menolaknya.” Lalu Usaid pun menerima," ujar Arini menutup kisahnya.


"Wah, happy ending ya, Mba. Aku juga sempat baca di Sirah Nabawiyah bahwa hanya dalam waktu 1 tahun Mush'ab bin Umair bisa membuat orang-orang Madinah mengenal Islam dan Rasulullah. Enggak ada satu rumah pun yang enggak membahas keduanya. Tapi kisah yang tadi aku baru tahu detilnya dari Mba barusan," terang Dea.


"Iya, maksud Mba, kenapa orang-orang zaman now tuh enggak membiasakan diri untuk duduk dan mendengarkan dulu? Tabayun dulu gitu... Kan bisa jadi yang mereka tuduh radikal sebenernya justru yang paling peduli sama mereka. Lagian masa iya mba cuma bawa laptop sama infokus dibilang radikal. Mba enggak pernah tuh ngajarin ibu-ibu ngeracik bom. Jangankan ngeracik bom, masang gas aja Mba takut, hahaha," kelakar Arini.


"Hahahaha, Mba bisa aja," Dea menimpali.


"Iya, intinya kita harus bersabar ya, Dik. Inilah resiko dakwah. Kadang diterima, kadang ditolak. Banyak juga kok yang sebenernya menolak bukan karena ide yang kita bawa salah, tetapi lebih karena mereka yang belum paham. Jadi, tugas kita untuk memahamkan mereka. Nah, sekarang Mba mau nugasin Dea ya. Tolong Dea tanya ke ibu-ibu, yang masih mau kajian siapa aja? Nanti Mba akan klarifikasi soal isu radikal yang kemarin santer sampai bikin ibu-ibu takut ngaji. Dea kemas bahasanya ya supaya ibu-ibu mau duduk dan dengar dulu apa yang mau Mba sampaikan. Mba percayakan sama Dea. Nanti apapun hasilnya, kita serahkan kepada Allah. Niat kita baik, cara kita juga benar, semoga Allah rida." Arini menutup diskusinya dengan Dea.


***

Ada perasaan haru bercampur optimis dalam diri Arini. Ia bukan sedih melihat respon suami Bu Rahmi, tetapi haru karena merasa apa yang diperjuangkannya ternyata sama dengan yang diperjuangkan oleh Mush'ab bin Umair. Arini menyunggingkan senyum, dalam hatinya berbunga-bunga, jika dulu Mush'ab bisa sebegitu tenangnya menghadapi Usaid, iapun harus bisa tetap tenang menghadapi situasi ini. Ia juga sangat optimis, kemenangan Islam sudah dekat, sedekat posisi duduk Usaid dengan Mush'ab.


Bismillah, mudahkanlah ya Rabb ....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan