Hijab Itu Indah

 


Apa salah kerudung lebar, apa masalahnya dengan baju besar. Mengapa selalu ke sana pembahasannya. Hal itu terjadi setelah beberapa hari Melisa mendengar bahwa seragamnya yang disambung membentuk gamis dipermasalahkan oleh beberapa pihak.

CERPEN 

Oleh Eni Suswandari

Pendidikan Generasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Siang cukup terik, hingga memaksa Melisa dan Dira memilih belajar di kursi taman samping rumah di bawah pohon mangga. Rumah Melisa yang sederhana dan masih banyak akses udara segar menjadikan seluruh anggota keluarga merasa belum memerlukan kipas angin apalagi AC. Ventilasi rumah Melisa cukup lengkap, sehingga saat jendela dan daun pintu dibuka udara segar akan berhamburan memasuki ruangan.


Namun siang ini, udara cukup panas, sementara keduanya butuh refreshing untuk belajar ke rumah Melisa. Melisa adalah kakak kelas yang telah berhasil meraih medali emas untuk olimpiade tingkat kabupaten bidang Fisika dua tahun berturut-turut. Kali ini, Dira bertekad menjadi penerusnya. 


"Kak Mel, cuma mau keluar ke halaman begini harus bener ya pakai gamis dan jilbab masih tambah kaus kaki gitu?" tanya Dira sedikit heran karena mendapati Melisa sibuk mengenakan gamis, jilbab, dan kaus kaki saat mereka hendak keluar. Namun, di dalam rumah tadi Melisa hanya mengenakan satu set baju atasan dan bawahan bergambar Hello Kitty tanpa kain penutup kepala.


"Hmm, iya Dira. Jadi dalam Islam, seorang wanita jika sudah baligh haram baginya menampakkan perhiasannya atau auratnya," jawab Melisa lembut.


"Sama aja bohong dong Kak. Kita keluar cari angin, lah Kakak tutup rapat badan Kakak. Emang ga panas?" lanjutnya. 


"Ya panas lah, Dira. Tapi kabar panasnya api neraka tentu harus jadi pertimbangan untuk kita menahan sedikit rasa panas di dunia karena kita berhijab," sahut Melisa penuh kesabaran.


"Terus apa nasib aku Kak, masih kayak bunglon nutup auratnya. Kalau bareng temen yang hijaber aku lebarin kerudung aku, giliran bareng temen-temen yang gaul aku B aja Kak, kadang ga pake daleman kerudung. Walhasil, rambut aku ke mana-mana," aku Dira dengan polosnya.


"Ya berproses, Dira. Nasi aja dari beras harus melalui beberapa tahapan sampai bisa dimakan. Masalahnya, kadang kita lupa untuk memproses diri. Sibuk memprotes keburukan orang. Akhirnya, keselamatan diri malah ga dipikirkan. Ayo, lanjut lagi soal berikutnya." Melisa mengingatkan karena masih banyak bank soal yang belum dibahas, sementara waktu olimpiade sudah semakin dekat.


"Tar sih Kak, selow. Aku pengen tahu dulu motivasi Kakak buat nutup aurat begini lo Kak. Boleh, kan?" Dira tampak antusias. Mungkin selama ini telinganya jarang mendengar penjelasan seputar hukum-hukum Islam selain pelajaran agama di kelas yang hanya tiga jam KBM dalam sepekan.


Dengan semangat akhirnya Melisa menceritakan bagaimana liku-liku perjalanan hijrahnya. Pastinya setiap orang punya persoalan dan ujian tersendiri untuk memperbaiki diri. Ada yang tak mampu menahan godaan lingkungan, ada yang karena lawan jenis, ada yang kerena larangan orang tua, ada yang karena iradah atau keinginan diri yang memang minim. Melisa sendiri menghadapi tantangan pertama dari orang tua. 


Ibu yang sebenarnya begitu menyayangi Melisa awalnya menolak anak semata wayangnya itu menutup aurat secara sempurna. Bahkan sampai ada saudara yang menggunjing dengan dugaan Melisa hamil. Sebab, biasanya kalau ada anak sekolah tiba-tiba kerudungnya besar, identik dengan menutup perut yang semakin membesar. Itu versi mereka, tapi Melisa tak patah semangat. Walau kadang air mata menjadi penghantar tidur saat memikirkan semua.


Belum pandangan-pandangan yang terasa aneh saat kumpul bersama saudara. Ibu juga awalnya menjadi pihak yang sangat menakutkan bagi gadis berkulit kuning langsat itu. Sedikit saja berbuat kesalahan, baik urusan dapur, telat angkat jemuran karena harus berkerudung, atau kesalahan-kesalahan kecil yang sebenarnya perkara wajar, bisa menjelma menjadi kesalahan yang sangat fatal dan kalimat-kalimat menyakitkan akan memberondong seperti peluru tajam. Sekali lagi hanya isak tangis yang akan menggenapkan ketabahan Melisa menghadapi semua. Dan setiap kesalahan pasti akan dikaitkan dengan kerudung lebar dan baju besar. 


"Dasar anak durhaka. Bagus kamu ngaji sana sini. Kitab Bahasa Arab tak salah lagi, tapi ga bisa nurut sama orang tua, percuma!" Begitu kira-kira omelan ibu Melisa saat memaksa Melisa untuk hadir dalam acara pernikahan yang di dalamnya terdapat pesta campur baur antara laki-laki dan wanita. Penolakan Melisa karena hal itu tak sesuai budaya dalam Islam, akan berujung stigma bahwa dia justru anak durhaka. 


Mata sembab dan hidung tersumbat akan jadi saksi bagaimana ia berjuang untuk tetap bisa istikamah atas pilihannya.


Ini yang paling membekas dalam ingatannya dan entah sampai kapan dia bisa melupakan. Walau dia berusaha untuk memaafkan, namun pilu kadang masih terus menyayat batinnya.


"Waktu itu Kak Melisa salat Zuhur di musala sekolah. Karena antrian panjang, Kakak terlambat masuk kelas. Akhirnya Kakak dipanggil oleh guru yang berwenang saat itu." Raut wajah Melisa berubah sendu.


"Dan kamu, Melisa, sama teman-teman kamu yang jilbaber apalah itu? Kerudung lebar, baju besar, salat setiap hari, masih tambah ngaji-ngaji kalian ya? Tapi ga tahu tata krama, ga ngerti aturan sekolah, sering meremehkan guru. Percuma, Nak. Ga akan masuk surga kalian itu kalau sering nyakitin guru. Percuma saja semuanya!" Ada embun yang mulai meresap ke dalam netranya. Entah mengapa, kalimat itu terdengar sangat mengerikan sebab keluar dari insan akademisi. 


Apa salah kerudung lebar, apa masalahnya dengan baju besar. Mengapa selalu ke sana pembahasannya. Hal itu terjadi setelah beberapa hari Melisa mendengar bahwa seragamnya yang disambung membentuk gamis dipermasalahkan oleh beberapa pihak.


Dengan suara sedikit tersekat, Dira memberanikan diri untuk menimpali cerita Melisa.


"Sampai segitunya ya Kak. Kakak yang sabar, semoga Allah membalas dengan kebaikan ya, Kak. Nah, aku jadi penasaran nih Kak. Baju Kakak kan sampai disambung-sambung gitu Kak, itu emang bikin nyaman begitu atau karena apa?" lanjut Dira.


Melisa tersenyum. Ia tak segera memberi jawaban. Ia melangkah ke dalam rumah setelah meminta Dira sedikit menunggu. 


Tak lama ia sudah kembali dengan buku di tangannya berjudul Sistem Pergaulan dalam Islam berwarna putih dengan tulisan berwarna merah. Dibukanya halaman tertentu disertai penjelasan yang gamblang kepada Dira. 


Dari sini Dira jadi tahu bahwa ternyata yang selama ini disebut jilbab yang biasa dipakai di kepala, dalam Al-Qur'an ini disebut khimar alias kerudung. Aturan wajibnya ada dalam Q.S. An-Nur ayat 31.


Selain itu, Melisa juga menjelaskan bahwa masih ada kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh Muslimah, yakni jilbab yang harus mengulur di seluruh tubuh hingga ke bawah (irkha'). Hal ini terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 59. 


"Jadi maksud Kak Mel pakaian sempurna buat Muslimah itu jilbab yang sering kita sebut gamis, dan kerudung atau khimar, yang selama ini kita sebut jilbab? Jadi selama ini ada penyebutan yang keliru ya Kak?" tanya Dira sambil mengangguk-anggukan kepala dan raut wajah setengah berpikir. 


"Iya, kita suka bilang kain penutup kepala adalah jilbab, baju yang di badan adalah gamis, kan? Nah, yang lebih tepat baju kurung panjang yang tak potongan, tak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan, lebar, menutup sampai ke kaki, itu namanya jilbab. Yang di kepala, namanya khimar atau kerudung, gitu." tegas Melisa.


"Makanya Kakak sambungin baju Kak Mel yang potongan jadi gamis? Eh jilbab?" Dira memastikan. 


"Hmm" jawaban singkat Melisa sambil mengangguk dan senyum manis. Dira memang anak yang cerdas, makanya tak terlalu sulit menerima penjelasan seperti itu.


"Terus kalau ada yang sudah nutup aurat tapi gak selalu pakai jilbab gimana? Maksudnya, celana panjang atau androk atas bawah gitu, Kak? Atau ga pakai kaus kaki?" Dira memang kritis dalam bertanya, tapi hal ini bagus agar pemahaman tak setengah-setengah, salah satu jalannya yakni rajin bertanya.


"Ya, itu bermakna, dia telah melaksanakan hukum-hukum dari Allah, tapi masih ada sebagian hukum yang belum dilaksanakan. Di sinilah pentingnya menuntut ilmu, agar pemahaman-pemahaman yang masih bertebaran, bisa dikumpulkan dan dilaksanakan secara sempurna." tegas Melisa.

"Aku boleh ikutan ngaji sama Kak Mel?" tanya Dira antusias.


"Masyaallah, boleh lah Dira. Siapa juga yang melarang. Ini justru kewajiban dari Allah. Namun, ngaji itu sulit. Hijrah itu susah. Jalannya penuh godaan. Banyak larangan. Kebebasan terkekang. Kuncinya kita sabar." Melisa dulu saat memulai hijrah juga mendapat peringatan yang sama dari Ustazah Nida. Dan memang benar, tak semua bisa bertahan. Melisa dulu mulai ikut majelis ilmu bersama empat orang temannya, tapi kini keempatnya tidak melanjutkan. Ada yang karena pacaran, ada yang karena orang tua melarang, ada yang karena teman-teman dekatnya tak sejalan, satu lagi fashionable. Trend mode tak bisa ditinggalkan begitu saja.


Melisa, dengan izin Allah masih bertahan walaupun ia merasakan beratnya cobaan.


Dira menganguk sebelum melanjutkan kembali bergelut dengan soal. Tak terasa beberapa pekan belajar bersama Melisa yang tak hanya belajar soal Fisika, tapi juga Materi Dasar Islam membuat penampilan Dira mulai berubah. Setelah beberapa materi seperti Ihsanul Amal, Khosiyatul Insan, Uqdatul Qubro, Thoriqul Iman, Qadha-Qadhar, Nidzomul Islam, dan beberapa materi lain dipelajari, kini kerudungnya sudah lebih lebar, baju sekolah belum disambung tapi baju lain sudah konsisten berbentuk jilbab. Dira juga mulai konsiten mengenakan kaus kaki saat keluar rumah.


Lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain hatinya. Perubahan penampilan Dira justru mengundang murka Papi, panggilan untuk ayah Dira.


"Dira, kamu tahu? Sekarang perpolitikan di negeri ini sedang gencar melawan radikalisme. Kenapa justru tiba-tiba penampilan kamu berubah. Di mana celana jeans kamu, di mana celana legging kamu, kemeja yang tak sampai pergelangan mana? Ganti baju kamu! Papi gak mau kamu jadi korban radikalisasi agama!" teriak Pak Herman melihat Dira mengenakan jilbab pink dan kerudung persegi yang dibentuk segi tiga lebar bermotif pink dengan warna dasar kerudung krem. Dira tampak begitu anggun. Penampilannya lengkap dengan tas ransel berisi soal-soal. Mendengar nada bicara Papi, Dira hanya tertunduk pasi. Tak satu kata pun keluar dari bibirnya.

"Ma! Apa-apaan ini. Kenapa dibiarkan dia seperti ini?" teriak Papi Dira kepada Mami. Dua pekan Pak Herman memang tak pulang ke rumah karena sedang mengikuti pelatihan dari kantor sehingga tidak mengetahui perubahan gadis bungsunya. 


"Mami bilang kamu belajar olimpiade, mengapa jadi begini? Masuk mobil, antar Papi bertemu dengan guru yang sudah mengajarkan agama berlebihan seperti ini!" teriak papinya. Pak Herman melangkah cepat, sementara Dira masih tertunduk pucat di tempatnya. Sebelum kemudian Pak Herman menghentikan langkah dan berbalik badan bersiap menarik tangannya. Dira akhirnya pasrah melangkah di belakang papinya. 


Sepanjang jalan Dira hanya membisu, sementara Pak Herman terus saja memaki, mengungkit semua berita politik berkaitan dengan perang melawan radikalisme. Dira hanya gemetaran. Apa yang akan dilakukan Papi pada Kak Mel? Dira berbisik dalam hati sambil sesekali menunjukkan jalan menuju rumah Melisa. Akhirnya mereka tiba di rumah tujuan. Masih sepi. Pak Herman segera turun menuju teras rumah Melisa. Dira hanya berani mengekor tanpa bisa protes sedikitpun. 


Baru Dira akan mengetuk pintu, ternyata daun pintu terbuka lebih dahulu. Hati Dira makin berdegup kencang membayangkan betapa sang Papi akan memaki sejadinya Melisa dan ibunya. 

Di luar dugaan, Pak Herman mendadak begitu ramah bahkan sedikit gugup ketika bertatap dengan sosok di hadapannya yang membuka daun pintu itu. Ibu melisa ternyata adalah sahabat semasa sekolah dulu. Bunga-bunga cinta lama menyemikan ingatan akan masa lalu. Ternyata Pak Herman pernah ditolak cintanya oleh Ibu Melisa. 


“Silakan masuk, Kak Her. Hmm... maksud saya Pak Herman. Silakan masuk.” tawar Ibu Melisa dengan gugup. Hal itu membersitkan tanya di hati Dira. Hanya saja Dira tak berani bertanya sedikit saja. 


“Jadi, beliau Ayah Dira?” lanjut Ibu Melisa beralih menatap Dira. Yang ditanya hanya menanggapi dengan anggukan disertai gugup sekaligus keheranan. 


“Terimakasih, saya langsung saja. Saya hanya mengantar Dira katanya mau belajar di sini.” Tolak Pak Herman lantas segera berlalu.


Dira melangkah masuk dengan hati tenang walau dipenuhi tanda tanya akan apa yang terjadi. 


Ending

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan