Istikharah Cintaku
Yaa Allah, aku sedang dalam keadaan lemah. Hanya ada satu yang bisa menguatkan, tiada lain itu adalah Engkau.
CERPEN
Oleh Eni Suswandari
Pendidik Generasi
Muslimahkaffahmedia-Yaa Allah, Engkaulah tempat bertanya dengan jawaban yang paling benar dan memuaskan,
Engkaulah tempat mengadu atas segala masalah tanpa pernah menyudutkan,
Engkaulah tempat bergantung dengan segala perlindungan yang memberi rasa aman,
Engkaulah tempat bersandar yang menghasilkan kedamaian,
Engkaulah tempat memohon dengan berbagai pemberian tanpa batasan,
Engkaulah tempat mengungkapkan keraguan lalu akan berujung pada sebuah keyakinan,
Engkaulah tempat berkeluh kesah yang menghantarkan pada suatu ketenangan,
Engkaulah tempat melangitkan doa lalu mengabulkan dengan segala bentuknya.
Yaa Allah, aku sedang dalam keadaan lemah. Hanya ada satu yang bisa menguatkan, tiada lain itu adalah Engkau. Yaa Allah, aku sedang dalam keraguan, berikan petunjuk padaku agar dapat mengambil keputusan yang benar.
"Allahumma yassir walaa tuassir"
Yaa Allah mudahkanlah dan janganlah dipersulit.
Aku sungguh beriman dengan firman-Mu:
"Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (TQS. Al-Baqarah:186).
***
Kuadukan gelisahku pada Rabb Semesta Alam di tengah pekatnya malam. Di antara deburan ombak yang memecah sunyi. Sesekali terdengar suara kokok ayam jantan pertanda pagi akan menjelang.
Aku seperti berada di persimpangan. Tak tahu harus berbelok ke mana meraih arah tujuan. Aku di hadapkan pada pilihan sulit.
Kata Ibu, Ayah telah menyinggung perjodohan antara aku dan Ardian. Lelaki mapan dengan masa depan yang jelas versi Ayah. Bagaimana tidak? Di usianya yang belum genap 25 tahun, pemuda lulusan universitas negeri di ibu kota itu telah memiliki berbagai usaha yang makin maju dan terus berkembang. Toko bahan bangunan, mini market, juga beberapa penginapan di kawasan wisata daerahku. Setiap menit pundi-pundi rupiah yang ia miliki akan terisi dengan cepat. Gadis mana yang tidak mendamba lelaki mapan seperti Ardian?
Nyatanya ada. Akulah gadis itu. Dengan segala keberhasilan yang ia sandang sekarang ternyata sama sekali tak menjadikan hati ini condong padanya. Perjodohan yang Ayah rencanakan bukan kusyukuri malah kurutuki saat ini.
Bagaimana bisa? Bisa saja. Sebab hati ini telah lama dicuri oleh seorang aktivis dakwah kampus sejak beberapa tahun lalu. Arjuna Abdurrahman Albantani, dialah teman satu tingkat yang juga sama-sama aktif di organisasi dakwah kampus kala kami masih bergelar mahasiswa. Bukan semata karena rupa aku tertarik padanya, tapi, pemahaman agama serta ketekunan hidup yang ia jalani yang telah memikat! hati ini. Ia pemuda mandiri. Dia juga punya prinsip baik dalam menghadapi jenjang rumah tangga. Aku tahu tentu dari pemaparan materi-materi dakwah yang sering dia ajarkan di kampus, juga saat ada kesempatan mengisi kajian ibu-ibu di masjid komplek di dekat kampus. Ia tempat rujukan para ibu tangguh dalam menimba ilmu seputar keluarga padahal dia sendiri belum menikah. Entahlah, berbagai aktivitas dakwah kampus yang pernah kuikuti menjadikan diri ini sampai pada kesimpulan bahwa kami sefrekuensi dalam berbagai prinsip kehidupan. Bersama Arjuna, membangun visi misi rumah tangga yang islami akan sangat mudah digapai menurut keyakinanku. Bisa dibilang kami satu visi untuk menjalani rumah tangga yang mengikuti tuntunan Baginda Nabi.
Kalau bicara ekonomi, memang seorang Arjuna masih jauh dari kata mapan apalagi jika dibandingkan Ardian. Namun, usaha yang ia tempuh juga tak sedikit. Sekarang ia sedang merintis Rumah Alquran yang makin banyak peminatnya. Ia juga memiliki lembaga kursus bahasa asing, Arab dan Inggris yang kian berkembang. Saat ini saja, Arjuna sedang menempuh pendidikan Strata 2 dan itu semua dibiayai dengan jerih payahnya sendiri di samping ia memperoleh beasiswa. Basic pendidikan sebagai guru menuntun Arjuna untuk mengembangkan karir di bidang pendidikan. Hanya saja aku tak tahu apakah hal itu berharga atau tidak di mata ayah. Sebab sejauh ini semua bentuk usaha Arjuna baru tahap berkembang. Meski sebenarnya, Ayah yang seorang imam masjid itu, tak pernah kulihat menilai orang karena kekayaannya.
Aku tidak tahu bagaimana cara bicara pada Ayah perihal ini. Sejauh ini, Arjuna sendiri masih bungkam. Dia menjanjikan akan datang menemui Ayah untuk melamar setelah memiliki cukup modal. Mana berani aku mengawali diri untuk meminta ia bersegera. Mau ditaruh di mana mukaku ini.
Kami tidak pacaran. Hanya saja, Arjuna pernah mengirimiku surat yang berisi harapannya untuk bisa melanjutkan persahabatan kami ke jenjang pernikahan. Setelah ia siap tentunya. Tak pernah kami komunikasi perihal ini. Kami sama-sama paham bahwa dalam agama ini Allah tak mengizinkan pendekatan dengan cara pacaran. Saling menunggu saja sampai waktunya tiba.
Azan Subuh berkumandang. Kuperbarui wudu untuk segera melaksanakan dua sunnah fajar dilanjut ibadah subuh. Kubaca zikir, doa, dan kusempatkan membaca Al-Kahfi meski hanya setengah surat.
Hari ini hari Jumat. Ayah pasti seharian penuh ada di rumah. Sebab bagi Ayah, hari Jumat lebih baik fokus untuk bersih-bersih halaman belakang agar nanti tak terlambat berangkat ke masjid untuk salat Jumat. Biasanya Ayah pergi ke kebun sawit atau ke sawah mengontrol para pekerja.
Seusai kulaksanakan segala rangkaian ibadah, aku bergegas membantu Ibu di dapur. Aku memilih ke dapur padahal biasanya aku bersih-bersih halaman belakang dengan Ayah. Aku sengaja menghindar agar tak ada pertanyaan seputar perjodohan itu. Membantu Ibu juga tak lama sebab setelah itu aku segera mandi dan siap-siap berangkat ke sekolah tempatku mengajar. Dengan alasan persiapan perayaan Muharram aku sengaja berangkat lebih awal. Padahal alasan sebenarnya aku menghindari Ayah. Kesempatan emas, saat aku hendak pamit, Ayah sedang di kamar mandi. Aku hanya mengeraskan suara minta izin. Sementara Ayah hanya menjawab dengan singkat "Hmmm".
"Selamat," batinku.
Di sepanjang perjalanan aku tetap berpikir bahwa tak mungkin selamanya menghindar. Aku harus mencari cara agar bisa menghadapi Ayah. Kulantunkan zikir meminta petunjuk Illahi Rabbi.
"Yaa 'Aliim, ihdinashirothol mustaqiim." Kuulang-ulang kalimat ini entah berapa kali jumlahnya. Seperti mengayuh sepeda, jika diulang dan terus diulang, pasti akan sampai pada tujuan. Begitupun doaku. Aku yakin akan ada jawaban yang menenangkan.
Ardian-Arjuna, Ardian-Arjuna, Ardian-Arjuna. Antara dua nama kini hatiku dihadapkan pada pilihan. Tak berani menolak Ayah. Tak berani juga mengingkari pilihan hati.
Setelah sekian jauh aku melaju, tiba juga aku di sekolah. Masih sepi, sebab aku berangkat terlalu pagi. Tiba di kantor, kubuka sejenak akun instagram. Berharap ada kabar-kabar baru di beranda.
Terbelalak mataku melihat layar pipih itu. Amira. Ternyata hari ini dia seminar hasil. Alhamdulillah. Segera kuketik dalam kolom komentar "Barakallahu fii ilmi, Amira Solihah. Semoga ilmu yang didapat memberi manfaat untuk umat. Aamiin." Kukirim seketika itu. Amazing. Hanya berselang beberapa detik, muncul love merah untuk komenku dari pengguna lain. Hatiku berdesir karena itu dari Arjuna.
"Inikah petunjuk Allah?" batinku. Aku tersenyum. Hanya melihat emot love berubah warna saja sudah begitu berbunga. Apakah memang begini rasanya jatuh cinta.
Amira adalah adik Arjuna. Telah lama memang kami jarang bertukar kabar. Ini jawaban dari Allah sepertinya.
Kuhubungi secara pribadi Amira. Dia segera merespon. Berbagai emot bahagia kubaca dari balasan chat-nya. Kuutarakan maksudku.
Amira, Mbak ga punya banyak waktu. Saat ini Mbak butuh bantuan Amira. Ayah berencana menjodohkan Mbak Nena dengan pemuda di desa Mbak. Hanya saja Mbak pribadi berharap lelaki yang menulis surat ini yang menjadi imam dalam hidup Mbak ke depan.
Kukirimkan foto yang menampakkan surat dari Arjuna, disertai pesan di atas. Amira pasti tahu maksudku. Tak mungkin aku mengutarakan secara langsung pada Arjuna.
Kubaca emot terkejut darinya. Setelah itu dia sampaikan bahwa siap untuk melaksanakan tugas.
Aku tak punya cukup waktu. Kalau Ayah sudah berbicara padaku aku tak punya alasan untuk menolak. Mau bilang kalau aku sudah punya calon suami, mana wujudnya. Pasti begitu kata Ayah. Tapi hatiku sedikit tenang. Terserah selanjutnya bagaimana yang jelas aku sudah kirimkan kode pada Arjuna lewat Amira.
Hari ini aku sengaja pulang cukup sore. Hampir Maghrib baru tiba di rumah. Sengaja mengulur waktu perbincangan dengan Ayah. Jadi, berbagai pekerjaan yang biasa kukerjakan di rumah, hari ini sengaja kuselesaikan di kantor.
Ardian sebenarnya bukan pemuda yang buruk, sangat baik malah. Agamanya baik. Kabarnya salat lima waktu juga rutin ia kerjakan di masjid. Meski sibuk dengan usahanya, tapi khusus ibadah salat ia akan menjadikan itu pertama dan utama. Aku dengar itu dari rumpian Ibu saat bincang dengan rekan-rekannya sebelum acara yasinan di rumah ini. Menantu idaman kalau kata mereka.
Ardian bukan pemuda yang terpengaruh dengan gaya hedon pergaulan masa kini, bukan. Tampang, tak usah ditanya. Penampilan fisiknya nyaris sempurna.
Itu sebabnya hati ini berada dalam kebimbangan. Jika ayah benar-benar bertanya, mau menolak dengan alasan apa. Tak ada alasan padanya, yakni Arjuna yang telah lebih dulu hadir meski hanya berbekal sebuah janji jika ia sudah siap akan segera datang melamar.
Sisanya tak ada perihal apapun. Masalahnya, setelah Arjuna menulis surat itu, tak pernah sekalipun aku berkomunikasi dengannya. Apakah hatinya masih sama? Apakah dia siapnya masih lama? Apakah jika dia sudah siap menikah nanti, benar-benar seperti isi surat itu?
Malam tiba, aku berniat merebahkan tubuhku selepas kulaksanakan salat Isya. Niat itu urung sebab terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku pasrah jika ini adalah ayah yang berniat mengutarakan maksudnya. Seperti kata Ibu kemarin, Ayah sudah membahas perihal rencana perjodohan antara aku dan Ardian. Seperti sudah ada kode arah pembicaraan ke sana dari orang tua Ardian saat Ibu dan Ayah diundang ke rumahnya dalam acara tasyakuran sepulang umrah.
Tak mungkin lagi aku menghindar dari Ayah. Akan sampai kapan, sementara kami bernaung di bawah atap yang sama.
"Iya, sebentar," sahutku sambil meraih gagang pintu. Benar saja, sosok tampan berwibawa yang makin terpancar karismanya dengan koko hitam yang melekat di tubuhnya sudah berdiri tegap di depanku. Ia elegan sekali.
"Masuk, Yah. Ayah cari Nena? Rindu ya, Yah? Baru juga sehari ga ketemu, Yah," celotehku mengurai rasa gugupku. Jujur aku belum siap mendengar tawarannya tentang perjodohan itu.
"Kamu itu kenapa tiba-tiba sibuk sekali. Berangkat pagi buta, pulang hampir azan Maghrib. Coba Ayah tanya, ada acara apa?" jawab Ayah sambil pandangannya mengitari pajangan hiasan dinding di kamarku.
"Kan mau Gebyar Muharram, Yah. Sibuk dong. Mau pawai, lomba-lomba. Nena kan sudah titip pesan sama Ibu." jawabku sesantai mungkin. Semoga Ayah percaya.
"Gambar-gambar kartun begini masih dipajang jadi hiasan, apa sudah cocok menjadi seorang istri?" celetuk Ayah mengagetkanku. Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
Aku memang suka mengoleksi stiker lucu bergambar kartun. Ada Sailormoon, Kagome, Hello Kitty, dan lain-lain. Lucu saja. Apa hubungannya juga menjadi istri dengan gambar kartun?
"Nena kurang dengar, Yah," ucapku ragu. Memastikan kalimat Ayah. Barangkali akan mendapat jawaban lebih.
"Segera ganti hijab yang pantas. Ada tamu datang. Katanya mau melamar," ujar Ayah. Aku masih mematung mencerna kalimat Ayah. Anganku malah berkelana entah ke mana.
"Mau ditolak apa diterima itu lamaran?" lanjut Ayah membuyarkan pikiranku.
"Apa, Yah? Siapa? Ayah bercanda?" ucapku masih tak percaya. Seperti mendengar candaan rasanya.
"Ya sudah kalau tidak percaya. Ayah saja yang putuskan sepihak ya?" ucap Ayah semakin membuatku bingung saja.
"Cepatlah keluar. Mereka datang dengan maksud baik. Tak sopan jika harus lama menunggu," beber Ayah sebelum akhirnya meninggalkan kamar ini.
Aku masih menerka-nerka apa yang sebenarnya Ayah katakan. Namun, semakin menerka semakin penasaran dan tak tahu yang sebenarnya terjadi. Kuraih pasmina instan merah jambu yang tergantung di balik pintu untuk kupadukan dengan jilbab (gamis) berwarna abu tua. Kupandang sejenak pantulan diriku di cermin. Sudah pantas rasanya untuk menyambut tamu yang kata Ayah hendak melamar. Kuayunkan langkah menuju ruang tamu meski sebenarnya hati ini masih ragu.
Mungkinkah Arjuna yang datang setelah mengetahui pesanku pada Amira?
Seperti akan luruh raga ini melihat pemandangan di hadapanku, tapi berusaha kukuatkan diri. Ardian dan keluarganya sudah berada di sana. Aku tak punya pilihan lain. Bukan Arjuna?
Aku ikut duduk menyimak setiap pembicaraan yang berujung pada pertanyaan tentang tanggapanku. Aku tak punya nyali untuk mengatakan bahwa aku sedang menunggu jawaban seseorang yang sudah lebih dulu menjanjikan harapan menikahiku. Aku tak punya keberanian mengubah senyuman bahagia Ayah menjadi raut kekecewaan. Aku tak punya daya untuk membuat Ayah dan Ibu malu pada keluarga Ardian.
"Bolehkah aku ke kamar sebentar, Ayah?" pintaku dengan nada gemetar.
Suasana menjadi hening seketika. Ayah mengangguk menatapku. Seolah berpesan agar aku tak mengecewakannya.
Kuraih gawai lalu kucari kontak Amira. Aku butuh kepastian dari Arjuna, kakaknya. Tak perlu menunggu lama. Suara Amira segera kudengar. Kuutarakan posisiku saat ini.
Hingga kemudian yang kudengar bukan lagi suara Amira, melainkan Arjuna yang mengungkapkan kalimat-kalimatnya.
"Aku belum siap tahun ini, Nena. Amira baru selesai sidang. Kuliahku masih satu semester lagi. Semoga dia adalah jawaban Tuhan untuk doa terbaikmu juga harapan orang tuamu. Niatkan untuk berbakti pada Ayahmu, semoga Allah menyertai langkahmu."
Tak terasa air mata ini menetes. Bukan jawaban itu yang sebenarnya kuminta dari Arjuna. Apa hendak dikata, jika penantian ini harus berakhir seperti ini, aku bisa apa. Setidaknya hal ini memudahkanku. Mungkin Allah lebih tahu mengatur segalanya.
Kubasuh wajahku sebelum aku kembali ke tengah-tengah mereka. Kembali mereka terdiam menatap kedatanganku. Ayah buka suara menanyakan kepastian jawabanku. Satu-satunya alasan untuk menolak Ardian sudah tak ada.
"Bismillah, Nena terima niat baik Mas Ardian dan keluarga," lirihku. Tak lama tatapanku beradu dengan lelaki yang kini resmi menjadi calon suamiku. Kutundukkan pandangan untuk menjaga hati ini.
Pembicaraan berlanjut pada rencana akad nikah. Kami sudah saling mengenal sehingga tak banyak informasi yang perlu saling digali.
Aku lebih menekankan pada penyelenggaraan walimah yang syar'i. Aku minta untuk tak disandingkan dalam prosesi akad. Cukup mempelai pria, wali, saksi, dan penghulu. Mungkin keluarga besar yang turut menyaksikan acara sakral itu. Aku menunggu di ruang terpisah hingga benar-benar sah menjadi istri.
Aku juga meminta tamu laki-laki dan wanita terpisah secara sempurna (infishol tam). Mereka semua setuju. Terakhir, aku juga menghendaki agar tak ada hiburan berbau maksiat dalam acara kami. Seluruh permintaan itu tak menjadi masalah bagi keluarga mereka.
"Kita adakan ceramah agama saja setelah ijab kabul. Bagaimana? Lebih sakral dan sarat makna," tawar Ardian.
"Dik Nena, ingin mengundang ustaz yang mana? Fatih Karim, Iwan Januar, atau Felix Siauw? Insyaallah, teman-teman kuliah Mas dulu bisa membantu untuk menghubungi beliau-beliau itu," lanjutnya.
Aku yang ditawari untung bisa menguasai diri hingga tak sampai melompat kegirangan mendengar nama-nama yang disebutkan itu.
"Yang mana saja. Bagus semua itu, Mas," jawabku gugup.
Bagaimana pula makhluk di depanku ini tahu bahwa aku adalah follower ustaz-ustaz yang ia sebutkan itu.
Ending
Komentar
Posting Komentar