Noda Pesimisme, Akankah Wakil Rakyat Bekerja Untuk Rakyat?

Fenomena yang ada jelas menjadi preseden buruk. Wakil rakyat yang seharusnya tercermin dalam sikap dan perilaku, ternyata justru tampak berlomba unjuk kelas. Kenyataan ini sungguh menggoreskan noda pesimisme bagi orang-orang yang meletakkan harapan besar kepada para anggota dewan. 

OPINI

Oleh Elfia Prihastuti, S.Pd.

Praktisi Pendidikan 


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Pesta demokrasi baru saja usai. Para anggota dewan sudah dilantik. Namun, aroma dinasti politik melekat pada anggota dewan yang kini mulai memasuki gedung senayan. Sebagian besar anggota DPR memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan sesama anggota dewan, pejabat publik maupun para elite politik. Fasilitas yang disediakan untuk para wakil rakyat ini juga luar biasa. Seolah duduk di kursi empuk dewan merupakan ajang berebut harta.


Sekitar 580 anggota DPR telah berhasil meraih kursi impiannya. Jerih payah menaklukkan suara rakyat tidak berjalan sia-sia. Mereka telah resmi dilantik menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa bakti periode 2024-2029. Sebuah harapan besar untuk para anggota dewan terpilih agar selalu mengutamakan kepentingan rakyat. DPR tidak boleh terbelenggu oleh kepentingan parpol, elite politik, dan keuntungan pribadi.


Namun, harapan tersebut ibarat api jauh dari panggang. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) merilis hasil survei yang mengindikasikan adanya dinasti politik. Setidaknya beragam hubungan keluarga dengan pejabat publik dan elite politik mewarnai 79 anggota dewan. Hubungan suami-istri, ayah dan anak, ibu dengan anak, dan lainnya. (tirto.id, 2/10/2024)


Hal lain yang patut disoroti adalah berbagai fasilitas yang menyertai saat menjadi anggota dewan, sungguh luar biasa. Fasilitas hunian misalnya. Anggota DPR RI periode 2024-2029, tidak mendapat fasilitas perumahan. Sebagai gantinya mereka akan mendapat tunjangan berkisar Rp30 juta sampai Rp50 juta per bulan. Sementara dana tunjangan tersebut akan diberikan pada 580 anggota dewan. Tentu bisa dibayangkan besaran dana yang harus dikeluarkan hanya untuk tunjangan hunian. Belum lagi tunjangan-tunjangan lainya. (kumparan.com, 3/10/2024)


Noda Pesimisme 


Acara pelantikan anggota DPR RI periode 2024-2029 yang dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2024 setidaknya membuka mata kita.Ternyata anggota dewan yang dilantik bertabur para artis. Artis yang identik dengan segala keglamoran tentu hal ini banyak menelisik tanya di setiap benak. Mampukah mereka bersanding dengan rakyat? Bekerja sebagai wakil rakyat tentu jauh berbeda dengan bekerja sebagai pelawak atau aktor. Menjadi anggota dewan merupakan dunia nyata, bukan candaan atau drama yang endingnya sudah bisa ditentukan.


Berbagai fakta lain, sebagian dari mereka juga banyak yang terlibat dalam politik dinasti. Sebut saja Ahmad Dani dan Mulan Jameela yang memiliki hubungan suami isteri, Farel dan Vena Melinda hubungan ibu anak dan lainnya. Menurut pengamat politik Dedi Kurnia Syah, bahwa politik dinasti adalah sebuah masalah. Akhirnya mereka bekerja bukan karena kapasitas. 


Ironisnya lagi, sebelum dilantik, 580 anggota DPR RI sudah diinapkan di hotel bintang lima, yakni hotel Ayana, Fenon hingga Sangrila. Mengutamakan fasilitas sebelum bekerja jelas mengindikasikan bahwa kinerja DPR tidak akan jauh-jauh dari bancaan uang negara. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Bagaimana nasib aspirasi rakyat di masa depan?


Fenomena yang ada jelas menjadi preseden buruk. Wakil rakyat yang seharusnya tercermin dalam sikap dan perilaku, ternyata justru tampak berlomba unjuk kelas. Kenyataan ini sungguh menggoreskan noda pesimisme bagi orang-orang yang meletakkan harapan besar kepada para anggota dewan. Mampukah mereka bekerja untuk kepentingan rakyat?


Politik Transaksional


Sistem politik demokrasi yang bersanding dengan sistem ekonomi kapitalis melahirkan politik transaksional. Jargon "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", nyata-nyata hanya sebuah jargon yang tidak berefek terhadap penerapan sistem demokrasi itu sendiri.


Politik transaksional inilah yang menumbuhsuburkan para pemimpin koruptif. Sedangkan bentuk politik transaksional tidak hanya terjadi jual beli suara antara kontestan dengan pemilih, tetapi juga terjadi antar kontestan dan juga antara kontestan dan partai politik.


Pada tahap berikutnya, DPR yang mempunyai hak membuat undang-undang akhirnya banjir pesanan hukum. Hukum menjadi barang komoditi yang bisa diperjualbelikan. Tak heran jika para anggota dewan bekerja demi mengejar fasilitas, tunjangan, dan kenyamanan lainnya.


Kalaupun mereka membuat Undang-undang untuk rakyat, tentu UU yang dihasilkan adalah UU sekuler, yang jelas-jelas menyelisihi rakyat yang mayoritas muslim. Tentu pemimpin atau wakil rakyat yang amanah sulit bahkan tidak mungkin lahir dari sistem rusak ini. Inilah saatnya kita berpaling dari aturan buatan manusia yang telah nyata kerusakannya. Kembali pada sistem yang dibuat oleh Al-Khalik, Sang Pencipta manusia.


Majelis Umat


Dalam sistem Islam terdapat struktur yang bernama Majelis Umat atau Majelis Syura. Majelis umat bukanlah badan legislatif. Sebab fungsi legislatif atau pembuatan undang-undang telah dilakukan oleh Allah Swt. Yang menurunkan syariat Islam melalui Rasulullah saw. Yang hingga saat ini terdokumentasi secara rapi dalam bentuk Al-Qur'an dan Al-hadis. Dengan demikian sistem Islam tidak memerlukan lembaga legislatif lagi. 


Fungsi Majelis Umat memberikan masukan atau pendapat terhadap Khalifah. Di samping itu Majelis Umat mempunyai beberapa wewenang. 


Pertama, Majelis Umat menjadi tempat Khalifah bermusyawarah. Jadi Majelis Umat berwenang memberikan saran-saran untuk perkara-perkara tertentu, seperti urusan hukum, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Saran dan pendapat Majelis Umat bersifat mengikat kebijakan Khalifah.


Sedangkan untuk perkara-perkara politik luar negeri, keuangan, dan angkatan bersenjata Khalifah tidak wajib berpegang pada saran dan pendapat majelis ini. Majelis Umat juga berhak melakukan muhasabah terhadap seluruh tindakan negara atau Khalifah. Kalau ada perselisihan pendapat dalam hal ini, kedua lembaga itu merujuk kepada pendapat mahkamah mazalim.


Kedua, Majelis Umat bisa menunjukkan ketidaksukaannya kepada salah satu wali atau gubernur dan Khalifah. Hal ini terikat dengan pendapat majelis sehingga gubernur tersebut akan diberhentikan. 


Ketiga, para anggota Majelis Umat yang muslim mempunyai wewenang khusus, yakni mencalonkan kandidat Khalifah untuk dipilih oleh rakyat dalam pemilu. Dengan demikian walaupun Majelis Umat bukanlah badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan demokrasi akan tetapi fungsinya sangat penting dalam penyelenggaraan negara. 


Anggota Majelis Umat harus dipilih oleh rakyat. Anggota Majelis umat tidak ditentukan oleh parpol. Mereka dicalonkan dan dipilih rakyat. Mereka bisa saja merupakan anggota suatu parpol bisa juga bukan. Yang jelas tidak ada parpol yang menjadi kontestan dalam pemilu. Yang ada hanya tokoh atau pribadi. Jadi fungsi parpol menjadi mesin kader pembentuk tokoh yang akan mengisi tempat di anggota Majelis Umat menjadi wali, khalifah, ataupun jabatan lainnya.


Jika kita cermati, majelis umat dalam Islam begitu terstruktur. Mereka bekerja benar-benar untuk rakyat. Upaya mengurusi urusan rakyat begitu kuat melekat dalam anggota-anggota Majelis Umat. Demikian pula dengan upaya untuk mengoreksi penguasa. Ini semua terjadi karena landasan yang digunakan adalah amar ma'ruf nahi mungkar. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dalam konteks penerapan Islam secara kafah.


Wallahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan