Pernikahan di Persimpangan Jalan
Aku masih tak percaya jika akhirnya kita harus menyerah mengarungi samudra pernikahan di tengah derasnya badai yang kini menerpa.
CERPEN
Oleh Eni Suswandari
Pendidik Generasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Tidak adakah ruang dan waktu untuk kita bisa berbicara sejenak saja? Sebelum akhirnya harus pergi dan melangkah sendiri-sendiri dengan keputusan masing-masing yang kemudian disepakati bersama. Haruskah perpisahan adalah jalan yang ditempuh dengan cara saling diam dan mengabaikan? Apa tak bisa berpisah itu menyisakan kesepakatan sebaik saat berjumpa?
Jika memang perpisahan sudah tidak bisa dihindari, mari saling mengikhlaskan dan melepas dengan doa di penghujung kata. Setidaknya, meski tak bisa lagi menepati janji setia untuk selalu bersama hingga maut memisahkan, tak harus berakhir dengan saling menyakiti. Meski mustahil tak ada luka. Paling tidak kesan baik bisa kita persembahkan untuk kebaikan hubungan kekeluargaan yang sebelumnya telah terjalin lama.
Seberat ini Bang, harus mengakhiri mahligai suci yang telah kita lalui dengan kata perpisahan. Namun, untuk bertahan dengan keadaan sekarang juga, rasanya jauh lebih berat. Tak mudah mengambil keputusan sebesar ini. Penuh dilema rasanya. Aku masih tak percaya jika akhirnya kita harus menyerah mengarungi samudra pernikahan di tengah derasnya badai yang kini menerpa.
Dulu, saat kita sama-sama lemah, kita bisa bertahan sebab nyatanya kita bisa saling menguatkan. Saat kau lemah ada aku yang menguatkan. Pun sebaliknya, ketika aku akan menyerah, ada engkau yang terus menggenggam tangan ini untuk melaju lagi.
Ibarat bunga, pucuk-pucuk yang selama ini kita rawat agar menghasilkan bunga indah yang mewarnai pernikahan ini, harus pupus seketika ini juga. Tak mudah bertahan sampai titik ini. Aku yakin kau masih ingat seluruhnya.
Lima tahun pernikahan yang penuh dengan duri dan batu terjal telah membuat kita menjadi sosok yang akhirnya merasakan manisnya madu perjuangan. Namun, harus tandas sekali teguk dan berakhir pahit yang menyiksa.
Betapa kuatnya kita dulu menjalani hari-hari penuh luka di awal pernikahan kita. Baru beberapa bulan merasakan indahnya bulan madu. Di mana dunia serasa hanya milik berdua, tiba-tiba dikejutkan dengan badai PHK yang dengan nyata memajang nama kita sebagai karyawan yang dipulangkan. Runtuh kebahagiaan kita saat itu. Kita berdua. Iya, dua-duanya di-PHK.
"Astaghfirullah, innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun." Aku mengatupkan kedua tanganku menutup muka kala itu. Tak percaya rasanya. Mendung seketika membayangi tatapan mata ini yang kian menit kian pudar. Kulihat engkau membeku. Tanganmu mendekap pundakku, tapi aku sadar betul engkau juga limbung saat itu. Alhamdulillah, kita masih bisa saling menasihati. Mengeluarkan kata-kata penyemangat hingga kita bisa benar-benar ikhlas menjalani semua.
Berjuang mencari kerja dari titik nol bukan hal mudah di ibu kota. Pengalaman yang minim, relasi yang terbatas, dan lagi kondisi ekonomi negara yang terus memburuk menambah deretan hambatan untuk bisa segera mendapatkan lapangan kerja baru. Belum lagi berita-berita politik yang kadang menghantui. Katanya banyaknya investor asing di negeri ini menjadikan tenaga kerja asing juga berbondong-bondong diangkut dari luar negeri. Tentang semuanya kadang aku tidak terlalu membaca berita dengan seksama. Hanya kabar di beranda kadang tiba-tiba menampilkan hal itu.
Meski yang kutahu, negeriku ini negeri yang kaya raya luar biasa. Di beberapa sumber berita ditulis bahwa emasnya saja masuk urutan ke-8 di dunia. Negeri ini juga menjadi penghasil sawit nomor 1 di dunia. Ikan tangkapnya nomor 2 di dunia. Indonesia juga tercatat sebagai negara eksportir gas alam cair terbesar dunia, tepatnya pada posisi 10 besar. Meski bergeser setiap tahun, tapi tak jauh-jauh dari posisi itu.
Sayangnya, di tengah kekayaan yang melimpah itu, utang Indonesia kepada Bank Dunia telah mencapai ribuan trilyun. Aku lupa tepatnya berapa. Angka penganggurannya sangat tinggi, meski dalam berita katanya terus berkurang. Kemiskinan kian meluas. Angka stunting juga tinggi. Kejahatan makin merajalela.
Ah, tapi sudahlah, aku tidak sedang membahas persoalan negeri ini. Aku sedang membahas masalah pernikahan kita, Bang Raga. Kita pernah bisa melewati kondisi sesulit itu. Pasca PHK, hampir setahun kita lontang-lantung mencari kerja sana-sini. Mengandalkan uang pesangon dan uang tabungan sisa pernikahan yang makin hari makin menipis, membuat kita terkadang rela sehari makan hanya dua kali. Itupun dengan sayur atau sambal saja. Lauk paling sering adalah kerupuk. Ini bukan sehari dua hari, tapi berbulan lamanya. Bahkan, tiba saatnya hari raya, kita menghadapi dilema. Tak berani pulang karena takut ditanya perihal kerja. Selain itu, kita juga tak punya cukup uang belanja untuk THR keluarga. Hingga pada akhirnya kita nekat berkendara roda dua tepat di malam hari raya demi bertemu kedua orang tua. Itupun hanya berani pulang ke kampung halamanku, karena kau malu pada keluarga besarmu. Sementara kedua orang tuaku lebih banyak diam dan tidak banyak pertanyaan ini itu.
Selang beberapa waktu, aku yang lebih dulu dapat kerja. Menjadi pengelola dapur asrama putri di sebuah boarding school menjadikan keadaan ekonomi kita sedikit lebih baik dari hari sebelumnya. Gaji yang kuperoleh bisa utuh karena sering untuk makan sehari-hari bisa membawa pulang makanan dari asrama yang memang selalu lebih setiap harinya. Bahkan kadang lauk yang kubawa pulang sore hari masih cukup untuk makan hingga keesokan pagi. Sesekali cukup hingga makan siang juga. Kamu Bang, belum mendapat kerja kala itu. Hanya saja keiklasanku berjuang bersama tak pernah membuatku mempermasalahkan hal itu. Kulihat engkau tetap berjuang menarik ojek, mengangkut barang, kerja serabutan apa saja kau jalani. Melihat kesungguhanmu saja sudah membuatku bangga dan selalu bersyukur. Malam hari engkau akan memijit pundakku atau kakiku sebelum tidur.
“Sini, Abang pijit. Kamu pasti capek. Maafkan Abang, belum bisa dapat kerja baru, ya?” ungkapmu menyejukkan hatiku. Padahal seharusnya istri yang memijit suami demi meredakan lelahnya. Tapi begitulah engkau meratukan aku.
Tak berhenti di sini, ujian datang lagi saat kita melihat teman-teman kita yang menikah bahkan belum lama, sudah dikaruniai berita kehamilan. Sedangkan kita masih belum juga. Ada-ada saja nasihat yang sering kita terima, padahal kita tak meminta. Ada saja dugaan orang-orang yang akhirnya menggangu juga ketenangan kita. Padahal sejak awal kita tak pernah mempermasalahkan, sebab sama-sama menyadari bahwa setiap hamba jatah rezekinya berbeda-beda. Kita juga merasa bahwa kita baik-baik saja, hanya memang belum waktunya saja Allah anugerahkan buah hati untuk kita. Tapi komentar sana-sini pada akhirnya mampu menggoyahkan ketenangan kita. Untung saja tak berlalu lama, aku dinyatakan hamil. Tepat saat itu juga engkau mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan triplek yang baru saja mulai beroperasi.
Betapa kebahagiaan hari ke hari Allah berikan untuk mengganti kemelaratan yang telah kita lewati di tahun-tahun awal rumah tangga kita. Kita makin semangat bekerja, meski aku sedikit lebih hati-hati terutama di trimester awal kehamilan kala itu. Bahkan semua kerjaan rumah rela kau gantikan demi menjagaku dan calon anak kita. Engkau benar-benar memanjakanku, bahkan sebenarnya melarangku untuk bekerja lagi. Namun, karena aku merasa sehat, bekerja di dapur umum juga tidak sendiri, hanya masak biasa di asrama, kuputuskan untuk tetap bekerja.
Siapa sangka, tanpa sengaja saat pulang kerja, aku terpeleset di jalan sebab ada tumpahan es di trotoar yang tak kusadari. Aku jatuh. Tak hanya itu, kejadian yang sepele ini menyebabkan aku keguguran. Janin ini belum kuat bertahan saat aku jatuh terduduk sore itu. Akhirnya, kita harus kehilangan buah cinta pertama kita.
Kita begitu bersedih, tapi ingatkah bagaimana sikapmu saat itu? Begitu menenangkan, ketika jiwaku saja ikut runtuh. Nasihat baikmu membuat aku kembali bersemangat dan pasrah menerima qadha-Nya. Terimakasih, Bang. Untuk saat itu.
"Kita, meminta lagi kepada Allah, agar tak membiarkan hari-hari kita sepi, Sayang. Jangan terus menyalahkan diri, semua ini adalah kecelakaan. Tidak pernah kita ingini. Jangan takut berharap kepada Allah yang Maha Pengasih. Jangan lelah meminta pada Dia Yang Maha Kaya. Jangan khawatir ditolak oleh Dia Yang Maha Pemberi." Bisikmu saat itu. Seketika membangkitkan kekuatanku yang benar-benar padam.
Sejak itu, karirmu makin baik. Perusahaan tempatmu bekerja juga makin maju. Sebagai orang yang termasuk perintis, posisimu di perusahaan makin tinggi. Tak hanya kebutuhan sehari-hari, kini tabungan untuk persiapan membeli tanah dan membuat rumah minimalis impian kita sudah benar-benar terkumpul. Kita bahkan telah survei beberapa lokasi yang cocok. Tinggal mantapkan hati mau memilih yang mana. Bahagia sekali rasanya. Sakitnya perjuangan mulai menemukan titip harapan.
Tapi kata pepatah, makin tinggi pohon, makin kencang angin yang menerpa. Mungkin demikian juga dengan pernikahan ini. Di tengah harapan yang makin menemukan jalan terangnya, ujian itu datang lagi. Dia, wanita yang pernah mengisi masa lalumu, kini justru menjadi cobaan besar untuk cinta kita. Dia yang dulu meninggalkanmu karena harus patuh dengan perjodohan kedua orang tuanya kini datang sebagai mantan terindah. Anehnya, mengapa engkau menyambutnya bukan sebagai bagian masa lalu, tapi justru bagian dari masa depan. Yang turut kuratapi, orang tuamu juga masih mendambakan dia setelah peristiwa masa lalu yang mengecewakan mereka. Karena dia dari keluarga berada mungkin, jadi kata maaf itu mudah sekali dia dapatkan. Restu dari ibumu juga mudah sekali ia kantongi.
Ada-ada saja alasan yang menguatkan. Pernikahan kita yang telah lima tahun lamanya juga belum menunjukkan tanda-tanda akan mendapatkan generasi penerusnya, dia mau kok menjadi yang kedua, Raga pasti bisa berlaku adil, ah banyak sekali pembelaan keluargamu, Mas.
Aku sebenarnya berusaha untuk berpikir jernih. Toh dalam agama juga tidak ada larangan poligami. Tapi melihat sikapmu yang kini berubah 180° membuatku berpikir seribu kali. Sungguhkah aku akan mampu menjalani hari-hari dalam bangunan poligami yang belum apa-apa saja sudah terasa tidak adilnya? Kamu sudah berubah, padahal nyata bahwa hubungan kalian belum ada kata sah. Diajak berdiskusi engkau marah. Aku diam engkau protes. Saat bincang yang kau kedepankan emosi, seakan aku menuduhmu yang tidak-tidak. Mau meminta mediasi kepada keluargamu, sudah jelas mereka meminta agar aku mengizinkan engkau menikahi dia. Mau meminta saran keluargaku, mana tega aku melihat reaksi Bapak dan Ibu. Harusnya kita buat komitmen bersama, Bang. Bagaimana sebaiknya. Jika aku belum sanggup melihat engkau menikah lagi, harusnya aku bagaimana? Jika aku siap menerima untuk dimadu, bagaimana janjimu untuk berbuat adil pada kami. Harusnya kita bicarakan, Bang. Harusnya beri kesempatan untuk kita bicara bersama.
Seperti dulu, jalan penuh onak dan duri juga bisa kita lalui karena kita saling bergandengan. Meski pelan asal sampai tujuan. Kini, aku yang harus berjuang sendiri. Aku harus menerka-nerka sendiri. Aku ingin menyelamatkan pernikahan ini, tapi engkau memilih pergi. Sekuat apapun aku berusaha bertahan, kalau hanya sendiri pasti lelah juga, Bang.
Bang, jika berjuang sejauh ini lantas sebaiknya kisah kita usai saja katamu, aku juga sudah rela. Mimpi-mimpi kita kemudian harus terkubur di ibu kota, aku tak mengapa. Setiap air mata, canda, tawa, luka, yang pernah kita lalui harus dikemas dalam kenangan, akan aku lakukan. Tapi, jika harus begitu adanya, mari bicara dari hati ke hati. Jangan saling diam, lantas terus menyakiti inci demi inci.
“Apa maumu sebenarnya Ningrum?” bentakmu saat kuminta untuk duduk membahas masalah ini.
“Bang, aku hanya ingin menyelamatkan pernikahan ini, Bang. Sudah cukup jauh kita melangkah, jangan sampai kita buntu dan ingin berhenti.” Bujukku, barangkali menjadi pertimbangannya. Kuungkit lagi semua kenangan kami. Dari yang manis hingga yang pahit, agar membuat ia terkenang dan sadar. Tapi semua nihil. Tak tergoyahkan keinginannya untuk menikahi mantan kekasihnya 7 tahun silam itu.
“Hanya ada dua pilihan. Pernikahan kita selamat jika kamu bersedia menerima poligami ini atau berakhir karena kau tak menerima dia,” tegasnya. Menyudutkan sekali pilihan dari Bang Raga. Dia yang tergoda, tapi tali kendali keberlangsungan hubungan ini, seakan aku yang menentukan. Lanjut, risikonya padaku. Berakhir, salahnya ada di pihakku.
Kejam sekali dia. Setelah segala yang kami lewati. Bisa-bisanya hatinya beku tertuju pada satu wanita. Dia kan bagian dari masa lalu. Mengapa juga harus merampas masa depan kita.
Setelah itu Bang Raga pergi entah ke mana. Tak bisa dihubungi lagi. Telponku diabaikan. Pesanku tak dibalas. Bagaimana bisa ada simpul pembicaraan ini jika dia memilih pergi. Bagaimana aku bisa menerima poligami yang ia tawarkan jika belum apa-apa sudah terpapar ketidakadilan.
Tak tahu benang kusut ini akan kuurai dari mana. Yang pasti, aku belum siap berbagi bahagia dengan orang ketiga.
Ending
Komentar
Posting Komentar