Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?

 


DPR yang seharusnya berperan sebagai penyampai aspirasi rakyat sekaligus pelayan masyarakat, faktanya disibukkan konflik kepentingan satu sama lain 

Oleh Riani Andriyantih, A.Md.Kom. 

Aktivis Muslimah


Muslimahkaffahmedia.eu.org-"Untukmu yang duduk sambil diskusi

Untukmu yang biasa bersafari

Di sana di gedung DPR

Wakil rakyat kumpulan orang hebat

Bukan kumpulan teman-teman dekat

Apalagi sanak famili

Di hati dan lidahmu kami berharap

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan".


Lirik lagu yang di nyanyikan oleh Iwan Fals tersebut seolah menggambarkan akan harapan masyarakat pada para wakil rakyat, yakni anggota DPR dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Namun, ada rasa pesimis ketika melihat temuan hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang mengungkap sedikitnya 79 dari total 580 anggota DPR yang terpilih periode 2024-2029 terindikasi dinasti politik. Dengan kondisi relasi kekerabatan yang beragam seperti suami-istri, anak, keponakan dan lain sebagainya. (tirto.id, 2/10/2024)


Melihat realitas dalam sistem demokrasi hari ini, anggota DPR yang seharusnya berperan sebagai penyampai aspirasi rakyat sekaligus pelayan masyarakat, faktanya disibukkan konflik kepentingan satu sama lain dalam pelaksanaannya. Mirisnya, banyak wajah-wajah yang familiar di layar kaca turut duduk di parlemen bermodalkan popularitas. Tidak dimungkiri, gaji dan tunjangan yang dinilai cukup fantastis telah menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Sebutlah, tunjangan rumah yang akan berikan kepada setiap anggotanya dengan anggaran sebesar Rp30 juta sampai Rp 50 juta per bulannya sebagai ganti fasilitas rumah dinas. (kumparan.com, 3/10/2024)


DPR sebagai check and balance pun kian dipertanyakan. Sebab, setelah proses kontestasi pesta demokrasi, tampak kubu oposisi makin mesra dengan kubu koalisi. Bahkan dapat dikatakan tidak ada lagi oposisi yang dapat menjadi kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang lahir nantinya.


Makin tampak bahwa para wakil rakyat ini bekerja hanya demi memuluskan kepentingan pribadi, kelompok, serta semua keinginan para koleganya. Inilah wajah asli politik dalam sistem demokrasi. Tidak ada kawan dan lawan sejati yang ada hanya kepentingan abadi.


Mahalnya harga yang harus dikeluarkan saat kampanye masa pemilihan, tidak dimungkiri memunculkan politik balas budi kepada para oligarki yang sudah membantu pembiayaan masa kampanye. Sehingga dipastikan kebijakan yang lahir sesuai pesanan para pengusungnya.


Di sisi lain, tidak sedikit di antara calon anggota DPR yang mencalonkan diri bukan karena kecerdasan dan kemampuan yang menjadi standar utama dalam syarat pencalonan anggota DPR. Sebab, telah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang terpilih justru karena kekayaan dan popularitas sekalipun bukan orang yang kompeten di bidangnya. 


Terlebih, ada hal yang sangat menggiurkan yang menjadikan politik dinasti di negeri ini begitu menggurita. Mereka yang pernah menduduki satu jabatan tertentu jelas enggan untuk kehilangan previlege-nya jika sudah tidak menjabat lagi. Maka dilakukanlah politik transaksional dengan mengajak para keluarga dan kolega untuk melanggengkan keberadaannya sehingga dipastikan keuntungan dan kenyamanan berputar hanya pada golongannya. Sungguh ironis!


Slogan “dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat” seolah hanya pemanis bibir. Tanpa pernah terbukti dalam praktik pelaksanaannya. Jika sudah demikian, lantas siapa yang akan membela kepentingan rakyat? Rakyat lagi dan lagi yang menjadi korban tidak didengar aspirasinya, tidak diperhatikan kebutuhan pokoknya, dan terabaikan tanpa pernah mampu untuk melawan.


Sungguh kontras Jika kita melihat bagaimana mekanisme dalam sistem Islam. Dalam naungan sistem Islam, ada Majelis Umat yang menjadi wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi, keluhan, dan pengaduan rakyat. Majelis ini mengoreksi penguasa semata-mata demi kemaslahatan umat. Mereka dipilih oleh rakyat sebagai representasi umat.


Majelis Umat hanya berperan sebagai mediator untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keumatan kepada seorang kepala negara, bukan sebagai pembuat aturan. Di sinilah letak perbedaan antara fungsi Majelis Umat dan DPR dalam sistem demokrasi yang mana selain sebagai penyampai aspirasi rakyat, DPR juga membuat undang-undang berdasarkan akal manusia yang lemah dan terbatas demi kepentingan oligarki kapital. 


Sebab, dalam paradigma Islam yang berhak membuat aturan adalah hanya As-Syar'i, yaitu Allah Azza wa Jalla Zat yang Maha Sempurna. Kedaulatan tertinggi berada pada hukum syarak, karena Allah Swt. bersifat Al-Khalik (Sang Pencipta) sekaligus Al-Mudabbir (Sang Pengatur). Sudah selayaknya kita sebagai makhluk yang diciptakan dengan sifat lemah, terbatas, dan serba kurang tunduk pada aturan Allah yang Maha Sempurna.


Sesungguhnya hukum dan peraturan yang bukan berasal dari Allah Swt. hanya mengikuti hawa nafsu, syarat akan kepentingan, serta menghitung untung dan rugi. Semua itu niscaya hanya akan membawa kesengsaraan dan kesempitan.


Sebagaimana Allah Swt. berfirman, 


أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ


"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS. Al-Maidah [5]: 50).


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan