Agar Listrik Menyala, Peran Siapa?



 Dalam mengelola dan memfasilitasi rakyat akan kebutuhan listrik secara merata ke seluruh pelosok wilayah, peran negara sangat penting. 

OPINI 


Oleh Ummu Nadiatulhaq 

Aktivis Muslimah 



Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Pertanyaan panelis dalam debat Pilkada Jabar 2024, Sabtu (23/11/2024) merujuk pada program Jabar Caang (terang), yang meski sudah gencar disosialisasikan, tetapi hingga kini masih ada 22.000 KK belum teraliri listrik. (Beritasatu.com, 23/11/2024)


Pertanyaan ini jelas membutuhkan jawaban yang mendasar, agar bisa terurai masalah lainnya yang sering muncul. Tidak hanya dipertanyakan saat ada Pilkada atau pemilihan pemimpin lainnya.


Asal Energi Listrik 


Listrik di era modern merupakan kebutuhan penting yang sudah umum dan jelas harus dipenuhi oleh negara. Penggunaan listrik sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Listrik bukanlah sumber daya alam langsung, tetapi merupakan energi sekunder yang dihasilkan dari berbagai sumber daya primer. Dalam konteks sumber daya, listrik dikategorikan berdasarkan asal energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik:


Pertama; Listrik dapat dihasilkan dari sumber daya alam terbarukan, yaitu sumber daya yang tidak habis karena dapat diperbaharui oleh alam, seperti: Tenaga Surya (Solar Energy), Tenaga Angin (Wind Energy), Tenaga Air (Hydro power), Tenaga Panas Bumi (Geothermal Energy), Biomassa yang menggunakan bahan organik, seperti limbah pertanian atau kayu.


Kedua; Listrik juga dapat dihasilkan dari sumber daya alam terbatas dan tidak bisa diperbaharui, seperti: Batu Bara, Minyak dan Gas Alam, Tenaga Nuklir.


Listrik dalam Sistem Kapitalis 


Dalam mengelola dan memfasilitasi rakyat akan kebutuhan listrik secara merata ke seluruh pelosok wilayah, peran negara sangat penting. Namun, hal ini tidak terwujud karena adanya liberalisasi tata kelola listrik pada sumber energi primer dan layanan listrik, yang berorientasi mendapatkan keuntungan. Akibatnya penyediaan listrik di pelosok daerah pedesaan yang jauh dari jangkauan fasilitas umum, tidak terlalu diperhatikan karena mahalnya biaya. Penyediaan hajat hidup ini dilakukan oleh korporasi, bukan oleh negara, sehingga harga listrik menjadi mahal. Negara menjadi lepas tangan dalam menjamin pemenuhan kebutuhan penting rakyatnya. Bahkan Negara saat ini memalak rakyat melalui tata kelola listrik yang kapitalistik.



Listrik dalam Islam 


Listrik, sebagai salah satu kebutuhan umum yang vital dalam kehidupan modern, termasuk ke dalam kategori kebutuhan umum (mashalih 'ammah) yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam Islam, kepemilikan umum harus dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan listrik, seyogyanya dapat dikembalikan dalam bentuk listrik gratis atau murah (mudah dijangkau). Islam melarang menyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Negaralah yang bertanggung jawab memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, dengan harga listrik murah bahkan gratis, serta layanan merata sampai pelosok. Dalam mengelola layanan listrik ini, negara menyediakan sarana prasarana terbaik sehingga memudahkan rakyat dalam mengaksesnya.


Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Imam adalah pengurus dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwa pemimpin atau negara bertanggung jawab atas kebutuhan dasar rakyat, termasuk listrik sebagai bagian dari sarana kehidupan yang penting.


Listrik juga merupakan hak rakyat, dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya penting seperti energi (dalam konteks modern, listrik) adalah milik bersama dan harus dikelola untuk kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.


Islam menekankan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya, termasuk listrik. Negara wajib memastikan bahwa semua lapisan masyarakat, terutama yang miskin dan kurang mampu, memiliki akses yang adil terhadap listrik.


Islam melarang praktik kezaliman, termasuk monopoli atau privatisasi sumber daya publik yang menyebabkan kesulitan bagi masyarakat dalam mengakses kebutuhan dasar seperti listrik.


Kapan Listrik Boleh Dikomersialkan?


Islam mengizinkan perdagangan atau komersialisasi jika dilakukan dengan syarat berikut:


Pertama; Tidak Melanggar Kemaslahatan Umum


Listrik tidak boleh dijadikan alat untuk mencari keuntungan yang berlebihan sehingga masyarakat tidak mampu mengaksesnya. Dalam Al-Qur'an disebutkan:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil ....” (QS. Al-Baqarah: 188)

Mematok harga listrik yang sangat tinggi atau memberlakukan tarif tidak adil termasuk tindakan yang dilarang.


Kedua; Berorientasi pada Pelayanan, Bukan Keuntungan Maksimal


Jika listrik dikelola secara komersial, tujuannya harus untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, bukan semata-mata untuk keuntungan. Dalam hal ini, komersialisasi harus dibatasi dan diawasi oleh negara agar tetap sejalan dengan kebutuhan rakyat.


Ketiga; Memastikan Keadilan dan Akses Merata


Komersialisasi listrik boleh dilakukan dengan catatan negara tetap memastikan akses yang adil, terutama untuk masyarakat miskin. Dalam Islam, keadilan adalah prinsip utama:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan ....” (QS. An-Nahl: 90)

Komersialisasi tidak boleh menciptakan ketimpangan sosial atau membebani rakyat kecil.


Keempat; Tidak Ada Praktik Eksploitasi atau Monopoli


Komersialisasi yang memonopoli listrik dan mengakibatkan rakyat terpaksa membayar dengan harga tinggi dianggap sebagai bentuk kezaliman. Islam melarang monopoli yang merugikan:

“Barang siapa melakukan monopoli, maka ia telah berbuat dosa.” (HR. Muslim)


Peran Negara dalam Mengelola Listrik


Kewajiban Utama Negara: Idealnya, listrik sebagai kebutuhan dasar harus disediakan oleh negara dengan tarif yang terjangkau atau bahkan gratis bagi rakyat yang kurang mampu.


Pengawasan terhadap Komersialisasi: Jika negara menyerahkan sebagian pengelolaan listrik kepada pihak swasta, harus ada pengawasan ketat untuk memastikan kepentingan rakyat tetap diutamakan.


Masalah yang Timbul dari Komersialisasi


Jika komersialisasi listrik tidak sesuai dengan prinsip Islam, beberapa masalah berikut dapat muncul:


Kesenjangan Akses: Orang miskin mungkin tidak mampu membayar listrik yang mahal.


Ketidakadilan Sosial: Komersialisasi yang tidak terkontrol dapat menciptakan ketimpangan.


Eksploitasi Sumber Daya Publik: Keuntungan pribadi dari sumber daya milik umum bisa dianggap melanggar hak masyarakat.


Dalam pandangan Islam, listrik adalah kebutuhan umum yang pada dasarnya harus dikelola untuk kemaslahatan bersama. Komersialisasi listrik diperbolehkan jika: Tidak menzalimi masyarakat, tidak menyebabkan monopoli, dan tetap mengutamakan kepentingan rakyat, terutama yang kurang mampu.


Negara memegang tanggung jawab utama untuk memastikan akses listrik merata dan terjangkau, serta mengawasi setiap bentuk komersialisasi agar tetap sesuai dengan syariat Islam.


Wallahu alam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan