Nasib Buruh dalam Demokrasi
Sistem outsourcing yang diterapkan membuat buruh tidak mempunyai kepastian jangka panjang dalam bekerja.
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Hingga hari ini, buruh di seluruh Indonesia menanti keputusan pemerintah, yaitu kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan kenaikan upah minimum kota (UMK) sebanyak 10%. Selain itu, buruh juga menuntut pencabutan klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.
Menurut Bob Hasan, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dengan permintaan kenaikan upah sebanyak 10% itu akan mengancam pertumbuhan ekonomi negeri ini. Selain menambah biaya operasional, naiknya gaji akan berpengaruh pada kenaikan suatu barang. Hal ini akan berdampak pada stagflasi, yaitu harga barang naik, tetapi kemampuan/daya beli turun. (cnbcindonedia.com, 25-10-2024)
Jelas kenyataan tersebut mengancam pertumbuhan ekonomi di negeri ini. Apalagi Presiden Prabowo akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi di angka 8%, kenaikan upah buruh tersebut justru menjadi kendala. Bahkan, kenaikan upah tersebut akan mengancam perusahaan, pabrik, dan lainnya gulung tikar.
Namun, bagaimana dengan nasib kaum buruh? Setelah Covid-19, kanaikan UMK dan UMP hanya berkisar 1 hingga 3%. Hal ini tidak dapat menutupi biaya hidup yang kian hari kian mahal, seperti pendidikan, kesehatan, harga kebutuhan pangan, dan tempat tinggal.
Belum lagi di awal tahun 2025, pemerintah akan menaikkan pajak pertambahan nilai sebanyak 12%. Kebijakan ini jelas menyakiti buruh ditambah UU Cipta Kerja yang sebagian besar memuliakan kapitalis. Sistem outsourcing yang diterapkan membuat buruh tidak mempunyai kepastian jangka panjang dalam bekerja. Sebab, perusahaan memiliki hak terhadap buruh, kapan buruh dihentikan atau dipertahankan. Ketika buruh dihentikan, mereka juga tidak berhak menuntut pesangon. Buruh juga tidak memiliki jaminan sosial sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Kenapa hal ini disetujui pemerintah? Hal ini karena pemerintah bertujuan memajukan negeri ini. Salah satunya para investor datang ke Indonesia.
Realitas ini tak lepas dari penerapan kebijakan yang salah, yaitu kapitalisme demokrasi. Dalam kapitalisme, tujuan utama adalah mencari untung sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan modal sedikit-dikitnya, salah satunya dengan menekan gaji buruh.
Akankah buruh sejahtera? Tidak! Faktanya, hampir setiap tahun buruh menuntut kenaikan upah kepada pemerintah. Nyatanya pemerintah menetapkan berbagai UU yang memihak kapitalis.
Berbeda halnya ketika Islam diterapkan dalam institusi negara. Islam akan menempatkan kedudukan pemerintah sebagai pelayan, bukan regulator. Sebagaimana yang terjadi saat ini, pemerintah menetapkan UU dan mengawasi kebebasan individu.
Dalam Islam, kebijakan diputuskan berlandaskan keimanan, bukan kepentingan. Tujuannya untuk melayani rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Allah Swt. telah berjanji dalam firman-Nya,
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-Araf: 96)
Hadis Rasulullah saw. juga menjelaskan, negara wajib memenuhi segala kebutuhan rakyatnya,
"Imam adalah penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya."
Begitu juga dalam masalah buruh. Gaji pekerja atau buruh diberikan sesuai akad berdasarkan keahliannya. Sementara itu, majikan dalam memberikan upah pun tidak boleh menunda dan memotong sekehendak hatinya. Andaikan majikan mengalami kerugian, ia tetap memberikan upah sesuai akad di awal. Negara tidak ikut campur dalam memutuskan pemberian upah pekerja. Jika terjadi perselisihan antara majikan dan pekerja, hal itu dikembalikan kepada mereka sesuai kesepakatan awal.
Kebijakan seperti ini hanya akan terwujud jika negara menerapkan Islam dalam bingkai Daulah Islamiah.
Wallahualam bissawab.
.
Komentar
Posting Komentar