Pajak Naik, Rakyat pun Panik
Kebijakan kenaikan pajak ini jelas membuat rakyat panik. Bagaimana tidak panik, kondisi ekonomi yang sekarang saja telah membuat rakyat memutar otak agar tetap bisa bertahan hidup.
OPINI
Oleh Arda Sya'roni
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org-“Naik, naik ke puncak gunung. Tinggi, tinggi sekali...”
Naik ke puncak gunung untuk sekedar healing melepas penat tentu sangat menyenangkan, apalagi bila dilakukan dengan keluarga di saat liburan sekolah dan menjelang akhir tahun begini sudah pasti seru. Layak, bila daerah puncak gunung menjadi lokasi wisata yang ramai dikunjungi. Namun, bila yang naik ke puncak gunung adalah pajak yang dipungut dari jerih payah rakyat, tentu lain ceritanya. Lirik lagu "Naik Naik ke Puncak Gunung" ini mungkin sangat tepat mendeskripsikan kenaikan pajak di awal tahun 2025 ini. Seperti halnya lirik dalam lagu tersebut, pajak naik laksana mendaki ke puncak gunung, tinggi sekali. Sungguh, sebuah kado tahun baru yang tak diharapkan dan faktanya kenaikan pajak ini justru rutin dihadiahkan di setiap tahunnya.
Dilansir dari beritasatu.com tertanggal 16/12/2024, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartanto, menyebutkan bahwa kenaikan pajak dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 ini adalah untuk mendukung program makan bergizi gratis yang menjadi program prioritas presiden Prabowo. Dengan kenaikan pajak ini diharapkan bisa meningkatkan pendapatan negara untuk mendukung tak hanya program makan siang bergizi gratis, melainkan juga mendukung program lainnya semisal infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
Kebijakan kenaikan pajak ini jelas membuat rakyat panik. Bagaimana tidak panik, kondisi ekonomi yang sekarang saja telah membuat rakyat memutar otak agar tetap bisa bertahan hidup.
Diberitakan oleh beritasatu.com, 20/12/2024, aksi damai digelar di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, yang menentang rencana kenaikan pajak PPN 12 persen. Peserta aksi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, akademisi, hingga kelompok pencinta budaya Jepang (Wibu) dan Korea (K-popers). Tak tanggung-tanggung sekitar lebih dari 113.000 orang menandatangani petisi tolak kebijakan kenaikan pajak ini dan diserahkan saat aksi damai tersebut berlangsung. Petisi ini pun sudah diterima oleh Sekretariat Negara (Setneg).
Namun, meskipun petisi telah diterima, kenaikan PPN tetap diberlakukan. Pemerintah berdalih memberlakukan batasan barang-barang yang terkena PPN. Selain itu pemerintah juga memberikan bantuan sosial dan subsidi listrik sebagai kompensasi agar tidak memberatkan rakyat. Bak serigala berbulu domba, bersikap manis laksana teman, tetapi sejatinya menikam dari belakang.
Ini adalah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter. Pemerintah merasa cukup sudah memberikan bansos, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat karena sudah pasti kenaikan pajak ini membawa efek domino yang berimbas pada banyak hal.
Wajar jika protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN diabaikan, karena pajak merupakan satu-satunya sumber pendapatan negara.
Begitulah karakter dari sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, solusi yang diambil adalah kebijakan tambal sulam, dimana hanya bersifat menutup satu masalah, tetapi membuka peluang adanya masalah di sisi yang lain.
Dari sini jelas, tampak perbedaan antara kapitalisme dan Islam dalam mengurus rakyatnya. Bila dalam kapitalisme penguasa hanyalah sebagai regulator bagi korporat, sehingga kebijakan yang diambil pun hanyalah solusi kebijakan tambal sulam, tidak menyentuh akar permasalahannya. Sementara Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in dan junnah. Islam menetapkan bagaimana profil penguasa dalam Islam dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Penguasa dalam Islam akan memberikan solusi yang langsung menyentuh akar permasalahan sebab semua hal disandarkan pada syariat Allah. Penguasa juga memiliki rasa takut pada Allah yang begitu besar apabila kebutuhan rakyat tidak terpenuhi dengan layak. Hal ini karena ketakwaan penguasa yang begitu tinggi sehingga sadar betul akan pertanggungjawaban akhirat yang akan ditanggungnya.
Dengan demikian penguasa dalam Islam akan dengan sepenuh hati mengurus rakyatnya, memenuhi segala kebutuhannya, mewujudkan kesejahteraan rakyatnya dan tidak akan menyulitkan hidup rakyat melalui kebijaksanaan yang diambil.
Selain itu dalam Islam pajak bukan merupakan sumber pendapatan, karena negara dalam Islam mempunyai sumber pendapatan dari banyak pintu, yaitu anfal dan ghanimah, kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum berupa kekayaan alam, zakat, dan yang lainnya. Oleh sebab itu tidak ada pungutan pajak dalam Islam. Pajak hanya akan ditarik bila kas negara kosong, itupun hanya diperuntukkan bagi warga yang kaya.
Sebuah hadis menyebutkan, “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka". [HR. Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7].
Wallahualam bissawab
Komentar
Posting Komentar