Doa Seorang Pengemis

 



CERPEN


Oleh Juhana Rue

Penulis dan Penikmat Sastra


Langit malam ini tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan bak berlian. Hembusan angin malam yang dingin turut memeriahkan suasana stren kali yang remang-remang. Ya, geliat malam yang sama.

Hiruk pikuk suara para pencari kenikmatan sesaat bergaung hingga ke seberang. Ada yang menari, ada yang menyanyi. Ada pula yang meracau karena terbuai minuman beralkohol. Tak terhitung berapa kali terjadi adu mulut atau baku hantam. Susah pula menghitung jumlah pasangan haram yang saling memadu cinta di bawah bayang belukar yang tak tersentuh cahaya. Namun yang pasti, hawa kebebasan amat terasa. Tak ada batasan norma. Hanya luapan hasrat membara untuk sejenak melupakan pilu dan derita hidup di dunia.

Mak Tun menatap keramaian itu dari pintu gubuknya sambil sesekali memainkan susur di bibir keriputnya. Cuh. Ludah merah meronanya membentuk lukisan abstrak di tanah. Andai ada kategori baru aliran lukisan, mungkin bercak ludah merah itu akan bernilai artistik. Dia bakal terkenal.

"Mak, kok belum tidur?" 

Mak Tun menoleh. Menatap sosok ramping berparas ayu di sampingnya. Dia Suketi. Nama kerennya Zetty. Seorang gadis belia yang bertekad terjun ke lembah hitam. 

"Belum ngantuk, Ti. Kamu sendiri nggak ngobyek? Jam segini kok belum dandan. Sakit?"

"Ya, Mak. Masuk angin atau mau pilek kayaknya. Rasanya meriang. Moga-moga gak lama. Bisa tongpes kantongku kalau begini terus."

Suketi manyun. Sambil merapatkan jaketnya, dia mendekati Mak Tun. Mak Tun menggeser badannya. Memberi sedikit ruang agar Suketi bisa duduk di sebelahnya.

"Jangan ngomong begitu. Itu tandanya badanmu butuh istirahat. Kalau kamu paksakan terus ngobyek, bakal cepet jadi rongsokan."

"Iya, sih. Tapi aku kan juga butuh makan tiap hari. Butuh beli baju, lipstik atau sepatu bagus. Bagaimana aku bisa beli itu semua kalau nggak ngobyek? Lagian nih, Mak. Kalau aku nggak tampil cantik, gak bakal laku. Hii...amit amit!"

Suketi bergidik sambil menggoyang-goyangkan tangannya. 

"Kowe ki wis ayu, Ti. Gak perlu makeup banyak-banyak. Pake baju dan sepatu sederhana saja, cantikmu luar biasa. Sebaiknya, duitmu ditabung buat modal usaha. Ben gak kerja koyok ngene ki."

Suketi menatap Mak Tun dengan muram.

"Aku sebenarnya ya pingin begitu, Mak. Tapi, golek kerjo ki yo ra gampang. Saingannya banyak. Abot maneh. Banyak sarjananya lho, Mak. Bayangno, Mak. Orang-orang pinter itu ngantri jadi kasir, sopir, pelayan restoran bahkan pembantu rumah tangga. Lha terus..tamatan SD koyok aku kebagian kerjo apa, Mak?"

Sesaat ada hening di antara mereka. Entah apa yang mereka berdua pikirkan, yang jelas mereka tampak tak terusik dengan kegaduhan di sekitarnya.

"Mak?"

"Hm."

"Hari ini Mak dapet berapa?"

"Seperti biasanya, 30 ribu. Lumayan. Bisa buat beli beras dan sedikit lauk."

"Seumur Mak ini harusnya kumpul sama anak cucu. Gak perlu kerja berat begini. Harusnya Mak ini ada yang melayani dan merawat. Biar kesehatan tetep terjaga, biar tetep cantik. Lihat nih, Mak. Bulu mata Mak tebal dan panjang. Mata Mak bagus. Coklat dan jernih. Hidung Mak mancung. Daaan bibir Mak itu bentuknya bagus lho. Pasti dulu Mak cantik sekali."

Mak Tun hanya diam. Ada luka yang kembali menganga dan berdarah setiap kali teringat masa lalunya. 

"Mak? Kok malah melamun? Memangnya Mak gak punya anak sampai bisa begini? Jadi pengemis di usia setua ini."

"Anak? Punya, Ti. Satu. Mungkin ini sudah jadi takdir Mak. Menjadi pengemis tua sebatang kara."

"Trus, anak Mak kemana?"

"Sudah, Ti. Gak usah kamu tanya itu. Aku wis pasrah. Ini mungkin juga peringatan buatku karena salah ndidik anak. Aku ga tahu di mana anakku sekarang, bagaimana keadaannya, apa dia masih peduli pada ibunya. Mboh, Ti. Malah mumet aku. Yang penting, aku masih bisa cari uang buat mencukupi kebutuhanku meski hanya bisa dengan cara mengemis. Tenaga Mak wis ra kuat kalau kerja yang berat-berat. Kowe dhewe, piye? Kok bisa kerja beginian? Memangnya orang tuamu ga tau?"

"Oalah Mak..Mak. Hidup cuma sekali jangan dipakai bersedih. Nikmati saja. Lepaskan semua keinginan. Lepaskan semua kesedihan. Mumpung aku masih muda, ya lakukan saja apa yang bikin hati senang. Ngikuti larangan ini itu bikin capek. Keluargaku ki melarat, Mak. Adikku banyak. Kalau gak ngobyek seperti ini, kapaaan aku bisa merasakan makanan enak, baju bagus, tamasya. Ga bakal kelakon. Kalau di desa, kerja banting tulang tapi hasilnya cuma cukup buat makan."

"Kamu ga takut kena penyakit?"

"Takut? Ha..ha..ha.. Kenapa harus takut? Penyakit itu kan ada obatnya. Bisa dicegah juga. Buat apa kita diperiksa tiap bulan? Buat apa pula dokter-dokter itu sekolah tinggi dan dibayar mahal tapi gak bisa nyembuhkan?"

"Katanya, penyakitnya mematikan lho. Apa kamu ga takut mati kena penyakit itu?"

"Mati itu urusan nanti, Mak."

"Kalau soal dosa?"

"Dosa? Kita itu kan wayang. Cuma melakukan apa kata dalang. Mosok cuma melakukan sesuai takdire kok dosa."

Mak Tun hanya bisa menghela napas. Penjelasan Suketi betul-betul sulit dia pahami. Karena semasa masih mengaji dan sekolah madrasah dulu, tak ada satupun ustad yang mengajarkan bahwa pekerjaan yang dilakukan Suketi sekarang itu halal. Malah dosa besar. 

Lagipula, Islam itu mengajarkan hal-hal yang baik. Masak perbuatan kotor begitu tidak dapat dosa. Padahal bisa kok dibedakan kapan manusia bisa memilih cara hidupnya dan kapan manusia tidak bisa memilih.

Meski masih ingin menasihati Suketi panjang lebar, tapi Mak Tun tak bisa berbuat banyak. Suketi bukan anaknya. Dia punya hak untuk melakukan apa yang dia inginkan. Dosa tak ada dalam kamus hidup gadis belia itu. Yang dia inginkan hanya bersenang-senang.

Dia seperti anakku, batin Mak Tun. Anak semata wayangnya itu entah dimana rimbanya kini. Dia pergi setelah Mak Tun jatuh miskin dan sakit-sakitan. Anak itu tak bisa menerima kenyataan hidup bahwa hidupnya telah berubah seratus delapan puluh derajat. Kehidupan mewahnya telah berakhir. Dia tak bisa lagi menikmati makanan enak, baju bagus, wisata mewah dan segala kehidupan glamour lainnya. Dia menganggap penyakit ibunya yang menjadi sebab perubahan itu. Dia tak siap untuk mengubah semuanya. Karena itulah, dia memutuskan pergi. Meninggalkan kemiskinan dan ibunya yang sedang sakit.

"Andai waktu bisa kuputar balik, aku ingin memulainya dari nol,' batin Mak Tun. "Menanamkan budi pekerti dan segala aturan agama. Mendampinginya setiap saat. Menyaksikan setiap fase kehidupannya dengan penuh suka cita. Andai dulu kulakukan semua itu, mungkin kini aku akan bersamanya. Menghabiskan sisa umur dalam kehangatan keluarga.'

Tapi nasi telah menjadi bubur. Sosialita jelita bernama Zaitun Jamilah itu, kini menjelma menjadi seorang pengemis. Menjalani kehidupan nelangsa yang dulu hanya dibacanya di majalah atau surat kabar. Berkawan dengan debu dan kotoran sepanjang hari. Wajah cantiknya tak pernah lagi |tersentuh pulasan makeup. Baju kebesarannya hanya kain usang dan lusuh. Tubuh sintalnya kini kurus kering. 

Malam kian merayap. Hawa dingin makin menusuk tulang. Mak Tun mengajak Suketi untuk masuk dan tidur di gubuknya. Suketi menurut. Mereka segera membersihkan gubuk itu agar nyaman dipakai tempat istirahat. Dua perempuan beda generasi itupun merebahkan tubuh sambil berpelukan seakan ingin berbagi kesedihan dan kekuatan baru untuk menghadapi hari esok.

           *************************

Pagi telah menjelang. Udara sejuk menyeruak masuk ke gubuk-gubuk kecil di pinggir sungai itu. Para penghuninya mulai terlihat sibuk. Mandi, mencuci baju atau sekadar menguap lebar-lebar di depan gubuk menjadi pemandangan biasa. Tak ada lagi hingar bingar musik dangdut. Tak ada lagi suara genit perempuan atau sumpah serapah para pemabuk dan penjudi. Kemaksiatan yang meraja setiap malam seakan telah hilang tak berbekas.

Mak Tun telah rapi pagi ini. Bersama beberapa pengemis lainnya, dia akan menumpang kendaraan umum menuju sebuah lapangan terbuka. Menurut kabar yang dia dengar, hari ini akan ada keramaian di sana. "Semoga rezekiku hari ini banyak,' doanya.

Lapangan yang menjadi tujuan Mak Tun dan teman-temannya memang sering ramai. Berbagai jenis acara sering digelar di sana. Kadang ada pertunjukan musik, demonstrasi, upacara, kemah atau pengajian. 

Seperti hari ini. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi saat Mak Tun dan teman-temannya sampai di lapangan itu. Di sana telah banyak orang. Ada penjual balon, mainan anak, makanan dan minuman serta pengemis seperti dirinya. Tampak juga puluhan orang hilir mudik. Tua, muda, besar, kecil tumpah ruah di sana. Tukang parkir tampak ceria. Terlihat jelas senyum lebarnya saat mobil dan motor silih berganti menghampirinya. 

"Sepertinya acara belum mulai,' batin Mak Tun. Ia melihat orang hilir mudik di atas panggung sederhana sambil membawa berbagai peralatan. Sedangkan di atas rerumputan, telah banyak pengunjung duduk beralas koran atau tikar plastik. Tanpa membuang waktu lagi, Mak Tun menuju kerumunan itu. Sambil memegang sebuah kaleng biskuit, dia menghampiri mereka satu persatu. Kasihan Pak, Bu dan terima kasih adalah kata-kata yang sering diucapkannya setiap kali lembaran dua atau lima ribuan masuk ke kalengnya. 

Matahari makin tinggi. Sinarnya yang terik terasa membakar kulit. Mak Tun merasa kepanasan. Dia memutuskan berteduh di bawah sebuah pohon besar. Tangannya sibuk mengipas-ngipas tubuhnya yang berkeringat dengan selendang lusuh yang bertengger di pundaknya. Mata tuanya menatap lautan manusia dengan payung terkembang beraneka warna di hadapannya. "Mengapa mereka tetap duduk di sana,' batinnya heran. Panas matahari yang menyengat seakan tak mereka rasakan. Apa yang membuat mereka bertahan di sana?

Mak Tun mengalihkan pandangannya ke panggung. Ke panggung itulah mata para pengunjung terarah. Di atas panggung, ada beberapa orang duduk di kursi. Salah seorang diantaranya sedang berdiri memberikan ceramah. Mak Tun mencoba menyimaknya.

"Hadirin sekalian. Kita berkumpul di sini untuk merenungkan dan ikut memikirkan nasib saudara-saudara kita yang sedang menderita. Bukan hanya penderitaan fisik yang mereka rasakan, tetapi juga penderitaan mental yang tak kunjung usai."

Mereka rela kepanasan karena memikirkan nasib orang lain? Mak Tun keheranan. Di saat makin banyak orang yang hanya memikirkan diri sendiri, orang-orang ini justru sibuk memikirkan nasib orang lain.

"Kita yang hadir di sini masih bisa tertawa lepas, berbaju bagus dan menikmati makanan lezat. Rumah dan kendaraan kita masih mampu membuat kita nyaman, tetapi cobalah tengok saudara-saudara di sekitar kita. Tengok juga saudara kita di negeri-negeri seberang. Banyak di antara mereka yang menangis dan menjerit berkepanjangan karena kehormatannya DINODAI. Harta dan hak hidupnya DIRENGGUT PAKSA. Masa depannya DIBUNUH TAK BERSISA. Mereka MENJERIT! Mereka memohon belas kasih kita untuk melepaskan semua penderitaan itu."

Air mata Mak Tun meleleh deras. Kata demi kata penceramah itu menelusup jauh ke lubuk hatinya. "Orang baik itu ternyata masih banyak,' batinnya tergugu. 

"Tapi coba jawab pertanyaan saya. Siapakah di antara kita yang hadir di sini ataupun orang-orang kaya dimana saja, yang sanggup menolong mereka? SIAPA?! Kita pasti merasa iba dengan mereka. Kita juga ingin menolong mereka. Namun, tak satu pun dari kita yang sanggup benar-benar mengembalikan kehormatan dan menjamin masa depan mereka. TIDAK ADA!!"

Mak Tun terpana. Tenggorokannya tercekat. 

"Di sini, di negeri ini, bukan hanya rakyat jelata dan orang miskin yang menangis, orang-orang kaya yang lurus hatinya pun menderita. Mereka semua tak kuasa menahan sesak di dada saat keluarganya menjadi korban keadaan. Fitnah, intimidasi, penipuan dan segala macam kejahatan siap merenggut kebahagiaannya. Alim ulama dibantai. Mereka dipenjara dan dianggap teroris kelas wahid hanya karena berdakwah. Bahkan, para pendakwah ini dianggap lebih hina daripada pelaku tindak kriminal atau para separatis."

Mak Tun menutup wajah dengan selendang lusuhnya. Dia menangis sesenggukan. "Mereka benar,' batinnya. Orang kaya dan miskin di negeri ini sama-sama menderita.

"Lalu siapa yang salah? Penguasakah? Memang tak bisa dipungkiri bahwa penguasa berkewajiban melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Namun, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa mereka manusia biasa. Mereka juga punya keluarga yang harus dijaga dan dipenuhi kebutuhannya. Jadi, jika ada kesalahan atau kelalaian dalam mengurusi rakyat tentu itu manusiawi. Namun, yang sesungguhnya membuat kita menderita adalah sistem yang diterapkan di sini. Sistem yang hanya menguntungkan dan menyejahterakan satu pihak. Sistem yang tak memperdulikan penderitaan yang lain. Inilah biang kerok menjamurnya segala kejahatan dan penderitaan di atas bumi ini. Sistem inilah yang harus kita cabut, buang dan musnahkan selamanya dan kita ganti dengan aturan dari Illahi Rabbi. Mari kita saling bahu membahu, untuk memahamkan masyarakat bahwa hanya aturan Illahi saja yang mampu membahagiakan kita di dunia dan akhirat.Dari An-Nu'man bin Basyir RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Perumpamaan kaum mukmin dalam saling cinta, saling mengasihani, dan belas kasih mereka bagaikan satu jasad. Apabila satu anggotanya sakit maka seluruh tubuh akan merasakan tidak bisa tidur dan demam." (HR Muslim)

Mak Tun menyeka air matanya. Serasa ada embun yang menyejukkan jiwanya. Kekuatan dan harapan baru mulai bertunas subur di hatinya. Selamat berjuang, Anak Muda. Orang tua miskin sepertiku ini hanya bisa berdoa menitipkan mimpi agar cita-citamu segera terwujud. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan