Drama Pajak, Rakyat Tetap yang Jadi Korbannya



 Pajak sangat membebani masyarakat yang saat ini sudah kesulitan, konsumsi mereka menurun.

OPINI 

Oleh Yuli Ummu Raihan 

Pegiat Literasi 


Muslimahkaffahmedia.eu.org,OPINI_Drama pajak di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Yang masih jadi perbincangan adalah tentang kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang banyak menuai kritik dan penolakan dari masyarakat. Pemerintah berdalih menaikkan pajak mulai 1 Januari 2025 adalah amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).


Fakta Kenaikan PPN


Ternyata kebijakan menaikkan PPN ini telah diinisiasi pada era pemerintahan Jokowi yang awalnya disebut dengan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kemudian RUU KUP ini dikirim ke DPR untuk dibahas dan Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 diteken pada 22 Juni 2021.


Kemudian dibentuk Panitia Kerja (panjang) untuk membahas RUU secara resmi. Butuh sekitar tiga bulan sampai akhirnya disahkan dan disetujui oleh delapan fraksi partai di DPR di antaranya PDIP, Gerinda, Golkar, PAN, Demokrat, Nasdem, PKB dan PPP. Hanya PKS yang menolak.


Pada 29 Oktober 2021, Jokowi menerbitkan UU HPP dan mengeklaim UU ini dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung pemilihan ekonomi yang lebih cepat.


Kenaikan ini mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan karena berpotensi mencekik masyarakat dan menambah beban penderitaan rakyat. Masyarakat ramai-ramai menandatangani petisi berisi penolakan terhadap kenaikan PPN ini.


Petisi yang berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" per Senin 23-12-2024 telah ditandatangani oleh 171.532 orang. Petisi yang tayang di situs change.org ini telah ada sejak 19 November 2024 dan ditargetkan sampai 200 ribu tanda tangan. (CNNIndonesia.com, 26-12-2024)


Banyaknya penolakan dari masyarakat membuat pemerintah mengubah materi/isi pajak ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyebut bahwa pemerintah telah mengatur bahan kebutuhan pokok yang mendapatkan fasilitas bebas PPN melalui Perpres Nomor 59 Tahun 2020.


Di antaranya beras, daging (ayam ras, sapi), ikan (bandeng, cakalang, tongkol, tuna, kembung/ bayar/gembolo/aso-aso), telur ayam ras, sayuran, buah-buahan, susu, garam, gula, dan minyak goreng (tertentu), serta cabai dan bawang merah.


Sementara jenis jasa yang mendapatkan fasilitas bebas PPN sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2024 yaitu jasa pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, angkutan umum, keuangan, dan jasa persewaan rumah susun sederhana. Sementara ada barang-barang strategis tertentu yang dikenai PPN sebesar 11 persen dan sisa 1 persen ditanggung pemerintah seperti Minyakita, tepung terigu, dan gula industri.


Untuk meredam aksi protes dampak kenaikan PPN, pemerintah menyiapkan paket kebijakan ekonomi yaitu diskon pajak dan insentif. Stimulus ekonomi diberikan kepada enam sektor produktif seperti rumah tangga yang mendapatkan diskon listrik hingga 50 persen.


Sektor pekerja juga akan mendapatkan akses jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi mereka yang terkena PHK. Sektor UMKM diberikan perpanjangan periode pemanfaatan pajak penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet hingga 2025. Sementara pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta diberikan insentif PPh. Insentif juga diberikan pada sektor mobil listrik dan hybrid. Sektor perumahan juga diberikan PPN STP pembelian rumah.


Sudah menjadi rahasia umum bahwa pajak dan utang adalah dua sumber utama pemasukan negeri ini. Pajak sangat membebani masyarakat yang saat ini sudah kesulitan, konsumsi mereka menurun. Akibatnya, omzet pelaku usaha juga turun drastis sehingga akan berdampak pada penerimaan pajak.


Kebijakan zalim ini menguatkan fakta bahwa kedaulatan rakyat yang selalu diagung-agungkan hanya sebuah konsep rusak dan tidak ada kebenarannya. Banyak UU yang dibuat justru bertolak belakang dengan aspirasi rakyat.


Pajak jadi jalan ninja untuk mendapatkan kucuran dana guna membiayai program-program populis yang terlanjur dijanjikan. Mulai dari program MBG, pemeriksaan kesehatan gratis, pembangunan sarana kesehatan, renovasi sekolah, lumbung pangan, dan lainnya.


Semua program ini memang bagus dan dibutuhkan rakyat, hanya saja membebankan pada rakyat melalui kenaikan pajak. Hal ini tentu menegaskan bahwa pemerintah telah gagal mengurus rakyat.


Bukannya berpikir strategis untuk menarik sumber pendapatan lain seperti potensi SDA yang melimpah, pemerintah malah terus memalak rakyat atas nama pajak. Berhemat dengan mengurangi fasilitas mewah dan tunjangan para pejabat. Menyita harta para koruptor, mengelola SDA yang melimpah sehingga hasilnya bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. 


Mirisnya di saat rakyat kecil terus dipalak dengan berbagai pajak, pajak penghasilan (PPh) badan usaha diturunkan menjadi 22% dari sebelumnya 25%. Bahkan ada wacana yang mengatakan akan diturunkan menjadi 20% yang akhirnya dibatalkan. (CNBCIndonesia.com, 25-3-2022)


Di sini ketidakadilan sangat terlihat jelas. Semua ini akibat penerapan sistem kapitalis yang menuhankan akal dan kebebasan. Akibatnya, lahirlah gagasan kedaulatan di tangan rakyat dan ide vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) yang menjadikan manusia bebas membuat aturan sendiri. Tidak peduli halal haram. Agama dipisahkan dari kehidupan sehingga manusia hidup dengan aturannya sendiri. 


Pajak dalam Islam


Dalam Islam ada pungutan yang mirip pajak, tapi berbeda dalam aplikasinya. Pungutan ini disebut dengan dharibah. Dharibah dipungut saat kondisi kas negara (Baitulmal) kosong, sementara ada kewajiban yang harus dipenuhi yang sifatnya mendesak dan bisa menimbulkan mudarat jika tidak segera dipenuhi. 


Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan membahayakan." (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)


Dharibah juga hanya ditarik dari orang kaya (yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya) dan sifatnya sementara (hanya pada saat dibutuhkan). Setelah masalah teratasi, maka dharibah tidak dipungut lagi.


Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 bahwa, "Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil." 


Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa dilarang segala bentuk kezaliman dan perampasan harta oleh siapa pun termasuk penguasa. 


Negara bertanggung jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya. Islam mempunyai sistem ekonomi yang mengatur tata cara kepemilikan, cara pengembangan kepemilikan, dan lainnya. 


Islam membagi 3 jenis kepemilikan yaitu individu, umum, dan negara. Untuk membiayai segala kebutuhan rakyat dan negara Islam telah merinci sumber pendapatan negara, di antaranya ada fai, kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Pajak atau dharibah adalah sumber pendapatan terakhir, bukan sumber utama seperti hari ini. 


Muhamad Ishak seorang ekonom muslim pada tahun 2024 pernah merinci potensi kekayaan alam Indonesia. Dari komponen minyak mentah, gas alam, batu bara, emas, tembaga, nikel, hutan, dan laut bisa diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (melebihi APBN yang hanya Rp3.000 triliun). 


Namun sayangnya, potensi besar ini tidak bisa kita rasakan manfaatnya sehingga pajak terus digenjot dan utang semakin menggunung. Akan tetapi, dampaknya bagi kesejahteraan rakyat masih sangat minum. 


Selama Islam diterapkan, belum pernah negara menarik pajak karena sumber pendapatan lain melimpah. Bahkan saking sejahteranya ada suatu masa tidak ditemukan seorang pun yang berhak menerima zakat (mustahik). 


Semua ini tentu saja bisa terwujud karena Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan oleh sebuah institusi bernama Khilafah. Institusi yang telah lama diruntuhkan sehingga kehidupan kita terus dipenuhi masalah demi masalah.


Jangan tertipu dengan slogan orang bijak bayar pajak. Seharusnya kita taat syariat agar hidup berkah dan selamat. Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan