Pajak, Pungutan yang Tak Bijak
Jika pajak menimbulkan efek buruk dan tidak menyejahterakan, mengapa kita tidak beralih pada sistem lain yang berkeadilan?
Oleh Ersa Rachmawati, S. E.
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak adalah instrumen penting dalam pendapatan negara. Bahkan pajak menjadi pendapatan utama dalam APBN. Secara filosofis negara memungut pajak dari rakyat untuk dikembalikan lagi pada kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas dan itu dianggap sebagai sebuah kebijaksanaan, sesuai tagline "Orang Bijak Taat Pajak"
Dengan anggapan seperti itu negara merasa wajar jika memberlakukan pajak pada rakyatnya, bahkan dalam rupa yang beraneka macam. Apa yang dianggap wajar nyatanya tidaklah semanis itu, pajak telah menggerus pendapatan rakyat hingga menimbulkan protes karena beban yang harus ditanggung. Hal ini pun sama artinya rakyat membiayai sendiri kehidupannya.
Akhir 2024 muncul berbagai penolakan atas kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan diterapkan pada 1 Januari 2025. Penolakan muncul dari berbagai elemen masyarakat baik melalui media sosial maupun aksi-aksi demonstrasi. Seperti aksi yang dilakukan oleh BEM Seluruh Indonesia di istana negara Jakarta pada 27 Desember 2024. Juga aksi sejumlah anak muda dari K-popers hingga Wibu pada 19 Desember di Jalan Medan Merdeka Barat (Tempo.Co.29/12/2024)
Pemerintah pun berusaha meredam protes dengan memberikan pembatasan barang yang terkena kenaikan pajak dan berbagai subsidi untuk menutupi dampak inflasi. Misalnya dengan memberikan diskon listrik selama dua bulan. Dua bulan? Apakah kenaikan PPN hanya berlangsung selama dua bulan? Jelas hal itu hanya sekadar pemanis bibir pelipur lara sementara, selanjutnya kembali sengsara.
Jika kita analisa dampak pemberlakuan pajak maka kita dapati:
1. Pajak adalah pungutan yang mengurangi pendapatan rakyat, sudah pasti berpengaruh pada kualitas kehidupan rakyat terutama rakyat miskin.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan menambah harga barang, semakin panjang proses produksi sebuah barang semakin banyak PPN yang terkandung didalamnya.
3. Pajak yang dipungut dari rakyat banyak yang tidak dinikmati secara nyata oleh rakyat, misalnya untuk menggaji pejabat negara secara fantastis, fasilitas yang tak banyak bersentuhan dengan rakyat kecil seperti bandara dan jalan tol, belum lagi yang dikorupsi.
4. Pajak memperlebar ketimpangan ekonomi. Rakyat kaya masih bisa menjaga kualitas hidupnya, karena pendapatan yang masih mencukupi. Sementara rakyat miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akan menimbulkan rasa ketidakadilan dalam masyarakat dan memicu kecemburuan sosial.
Jika pajak menimbulkan efek buruk dan tidak menyejahterakan, mengapa kita tidak beralih pada sistem lain yang berkeadilan?
Andai kita berani jujur, di dunia ini ada sistem yang mampu menyejahterakan tanpa pajak, yaitu sistem Islam dengan penerapan ekonomi Islam di dalamnya. Dalam APBN negara khilafah tidak ditemukan pajak kecuali pada kondisi darurat saja. Pajak bukan pendapatan normal negara apalagi pendapatan utama.
Dalam kondisi normal negara dibangun tanpa pajak. Lalu, dari mana pendapatan negara diperoleh?
Secara garis besar pendapatan negara Khilafah terbagi pada 3 sektor:
1. Dari sektor kepemilikan individu: seperti shodaqoh, hibah, zakat.
2. Dari sektor kepemilikan umum, seperti: tambang, BBM, gas, kehutanan, hasil laut dan sebagainya.
3. Dari sektor kepemilikan negara, seperti: jizyah, kharaj, ghanimah, fa'i, dan usyur.
Dalam konteks Indonesia, pendapatan dari sektor kepemilikan umum saja sudah surplus untuk APBN. Dengan syarat, SDA khususnya yang memiliki deposit besar dikelola oleh negara, tidak diserahkan pada swasta baik lokal apalagi asing.
Dengan dikelola oleh negara secara profesional dan tanpa korupsi tentunya pendapatan yang masuk ke kas negara akan berkali lipat jika dibandingkan dengan pengelolaan swasta kemudian dipungut pajaknya.
Lalu bagaimana dengan pajak? Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa pajak hanya boleh dipungut pada kondisi darurat, itu pun dengan berbagai syarat:
1.Hanya dipungut jika kas negara kosong.
2. Hanya dipungut dari laki-laki muslim kaya.
3. Tidak dipungut dari warga negara kafir dzimmy.
4. Sebesar jumlah yang diperlukan saja.
5. Tidak boleh bersifat permanen atau hanya bersifat temporal.
Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka haram hukumnya memungut pajak.
Kembalilah Pada Sistem Islam.
Sistem Islam adalah sistem Ilahiyah, diakui atau tidak, itu adalah sistem terbaik. Kini dunia terkungkung dalam sistem kapitalis, padahal sistem ini telah nyata menimbulkan kecacatan di sana sini namun tetap diterapkan. Tak heran, memang selama masih ada orang-orang yang mengambil keuntungan dari penerapannya, siapa lagi kalau bukan pada kapitalis. Mereka menguasai sebagian besar kekayaan di bumi, sementara sebagian kecil lainnya diperebutkan oleh banyak orang.
Para kapitalis itu menguasai banyak SDA dan menyisakan sedikit pajak sebagai penggantinya. Sistem ini memfasilitasi kerakusan manusia yang tak pernah puas walau memiliki gunung emas.
Adapun sistem Islam adalah sistem berkeadilan, sistem yang tidak membiarkan harta hanya berputar pada segelintir orang saja. Sistem yang meminimalisir kesenjangan ekonomi dengan jaminan sistem pendistribusian harta secara adil. Dari paparan ini kiranya jelas bahwa kita mampu membangun negara tanpa pajak. Sejahtera didapat, berkah pun mendekat karena ketaatan yang melekat.
Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar