Program MBG, Proyek Populis Menguntungkan Siapa?



Proyek pengadaan program makan bergizi gratis hanyalah kebijakan populis semata

OPINI 



Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian dari program prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran baru saja berlangsung kurang lebih dua pekan. Badan Gizi Nasional (BGN) yang ditunjuk sebagai koordinator pelaksana menyatakan program ini akan dilaksanakan serentak di 26 provinsi.


Kebijakan yang dibuat untuk mengatasi masalah stunting ini menetapkan target penerima yaitu anak-anak dan remaja, mulai tingkat pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah. Selain itu anak balita, ibu hamil, dan menyusui juga menjadi sasaran program MBG. Antusiasme masyarakat sangat baik terutama anak-anak sekolah, sebab mereka dapat menghemat uang jajan sehingga bisa menabung.


Dikutip dari Bisnis.com, proyek ini akan menyasar sebanyak 82,9 juta penerima selama 5 tahun ke depan, dan dilakukan secara bertahap yaitu 40% pada 2025, kemudian tahun-tahun selanjutnya naik menjadi 80%, hingga mencapai 100% di 2029.


Proyek besar tentu saja membutuhkan dana fantastis. Pemerintah pusat sendiri menganggarkan Rp 71 triliun dari dana APBN tahun 2025 untuk menyukseskan program ini. Sedangkan pemerintah daerah akan menggunakan dana dari APBD, termasuk provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung. 


Dilansir dari Kompas.com tanggal 7/01/2025, Pemkab Bandung sendiri belum menggunakan dana APBD 2025 untuk program MBG dikarenakan tidak mengalokasikan anggarannya pada tahun ini. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Kabupaten Bandung, Marlan, mengatakan alasannya yaitu belum adanya juklak dan juknis terkait pelaksanaan program ini, sambil menunggu komposisi anggaran yang akan direncanakan pada APBD perubahan tahun 2025.


Sedianya pemerintah menetapkan komposisi biaya makan bergizi gratis ini sebesar Rp 25 ribu/orang untuk makanan lengkap berupa nasi, lauk, sayur, buah, dan susu. Namun belum lagi program ini berjalan, harga tersebut dipangkas menjadi Rp 10 ribu per porsinya. Belum lagi kontroversi substitusi susu sapi menjadi susu ikan atau daun kelor. 


Jika menilik tujuan pemerintah mengadakan program MBG untuk memenuhi kebutuhan gizi balita, anak, remaja, dan ibu hamil, biaya sebesar Rp 10 ribu per porsi belumlah cukup untuk pengadaan makanan yang dimaksud. Terutama di kota-kota besar dengan biaya hidup tinggi dan harga pangan yang melambung tentu tidak masuk akal menyediakan makanan lengkap dengan biaya rendah. Belum lagi soal rasa dan menu makanan yang belum tentu disukai anak-anak akan menjadi persoalan tersendiri.


Dari fakta-fakta di atas tampak bahwa program makan bergizi gratis ini tidak direncanakan dengan matang oleh pemerintah. Mulai anggaran yang masih tidak jelas karena belum ada UU khusus yang mengatur kebijakan tersebut, hingga kebingungan penguasa dalam menentukan sumber dananya.


Di tingkat pusat, anggaran MBG akan masuk ke dalam belanja pemerintah pusat untuk pendidikan. Konsekuensinya akan memangkas komponen anggaran pendidikan lainnya, seperti  Program Indonesia Pintar (PIP), serta Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNS dan non PNS. Padahal semestinya program makan bergizi gratis yang  bertujuan untuk peningkatan gizi anak dan remaja masuk ke dalam komponen fungsi kesehatan, bukan pendidikan. 


Lebih mengherankan lagi adanya wacana penggunaan dana zakat untuk membiayainya. Padahal zakat adalah dana umat yang dalam syariat sudah ditentukan siapa saja penerimanya, bukan untuk mendanai program pemerintah apa pun itu bentuknya. Lagipula tidak semua anak-anak yang menikmati makanan bergizi gratis itu adalah mustahik zakat.


Proyek program pengadaan makan bergizi gratis ini pun bak membawa angin segar bagi pebisnis catering. Seolah-olah menyediakan banyak kesempatan kerja, padahal fakta di lapangan ada juga pengusaha jasa penyediaan makanan ini yang mengeluhkan soal modal, misalnya harus membiayai sendiri dulu belanja bahan makanan dan ongkos pengolahan, baru kemudian di rembes kepada pihak terkait.


Jelaslah terbaca di sini bahwa proyek pengadaan program makan bergizi gratis hanyalah kebijakan populis semata. Tanpa perencanaan yang matang dan hanya ikut-ikutan, meniru negara-negara maju seperti AS, Jepang, Swedia, Finlandia, Inggris, dan lain-lain.


Inilah yang terjadi bila negara dibangun dengan ideologi kapitalisme. Alih-alih memberi kemaslahatan pada rakyat, penguasa hanya menguntungkan para pebisnis besar dan oligarki. Karena proyek sebesar ini pasti membutuhkan modal banyak dan investasi pihak swasta yang niatnya mencari cuan. Pengusaha kecil tidak akan mampu memenangkan tender pekerjaan semacam ini sebab membutuhkan modal yang tidak sedikit.


Kapitalisme juga menjadikan pondasi perekonomian suatu negeri lemah, karena sumber utama pendapatannya adalah utang luar negeri dan pajak. Sistem ini selamanya tidak akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Yang terjadi justru rakyat semakin diperas dan miskin.


Berbeda halnya dengan sistem Islam. Pemimpinnya adalah sosok yang berperan sebagai raa'in dan junnah (pelayan serta pelindung) bagi rakyatnya. Maka apa pun yang menjadi kebutuhan umat adalah tanggung jawab negara untuk memenuhinya, termasuk pemenuhan gizi balita dan anak-anak.


Penguasa dalam Islam wajib memiliki ketakwaan dan keimanan yang kokoh juga kepatuhan terhadap syariat. Oleh karena itu mereka akan sungguh-sungguh dalam mengurus rakyatnya dan takut melanggar aturan Allah Swt..


Seperti firman Allah Swt. dalam surat An-Nisa ayat 9:


"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar."


Islam fokus kepada pembangunan generasi, bukan hanya mental dan ketakwaannya namun juga raga rakyatnya. Sebab itulah tidak akan terpintas dalam benak seorang khalifah membuat program tambal sulam seperti makan bergizi gratis. 


Mekanisme pemenuhan gizi anak pertama kali adalah tanggung jawab keluarganya. Negara bertugas memastikan seorang kepala keluarga memiliki pekerjaan yang layak sehingga mampu mencukupi nafkah orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Negara juga menjamin ketersediaan bahan kebutuhan pokok rakyat berupa pangan, sandang, dan papan dengan harga terjangkau.


Negara wajib memastikan tidak ada satupun rakyatnya yang kelaparan. Jika seorang kepala keluarga tidak mampu bekerja karena sakit atau cacat, maka tanggung jawab nafkah seorang anak jatuh kepada walinya ataupun keluarga lainnya yang mampu. Selanjutnya apabila semua penanggung nafkah tidak ada ataupun tidak mampu, maka negara akan mengambil alih tanggung jawab itu dengan mekanisme memberi bantuan dari baitulmal melalui pos zakat.


Selain itu negara Islam akan menciptakan ketahanan dan keamanan pangan, sehingga swasembada pangan akan terwujud dan meniadakan impor. Berikutnya khalifah akan menjaga rantai distribusi agar semua kebutuhan pokok rakyat dari kota hingga ke pelosok-pelosok kampung sampai dan diterima oleh penduduk.


Demikianlah pengaturan dalam sistem Islam yang begitu rapi dan terstruktur. Sehingga rakyat terjamin kebutuhannya dan terhindar dari masalah gizi buruk yang berakibat rendahnya kualitas hidup generasi. Namun semua itu akan terwujud bila Islam diterapkan menjadi aturan yang menyeluruh (kafah) dalam bingkai kehidupan.


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan