Rakyat Dipalak Atas Nama Pajak
Kenaikan pajak, menyebabkan rakyat seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.
OPINI
Oleh Rina Ummu Meta
Pegiat Literasi
MuslimahKaffahmefia.eu.org, OPINI-"Orang Bijak Taat Pajak"
Kalimat di atas mungkin sering kita lihat atau kita dengar. Konon slogan tersebut memiliki makna yang artinya jika warga negara taat dalam membayar pajak seperti PPh, PPN, PBB, dan lain sebagainya maka tergolong warga yang bijak. Slogan tersebut menjadi salah satu propaganda pemerintah dalam rangka menggiring opini rakyat untuk taat membayar pajak.
Diketahui bahwa APBN Indonesia sumber utamanya berasal dari pajak, yaitu lebih dari 85% berbagai pungutan pajak masuk ke APBN, sebagian besar dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur. Namun sungguh miris, untuk menikmati segala fasilitas tersebut kita masih harus membayar atau membeli. Beberapa jenis barang dan jasa terkena pajak, bahkan secara berkala mengalami kenaikan. Seperti PPN yang naik 12% di saat kondisi rakyat sedang tidak baik-baik saja, ini merupakan kado getir di awal tahun 2025.
Dikutip dari cnnindonesia.com 28/12/2024 bahwa tanggal 1 Januari pemerintah resmi menaikkan PPN dari 11% menjadi 12%. Tentu saja kebijakan ini menuai berbagai reaksi dan penolakan dari berbagai kalangan, masyarakat, mahasiswa dan buruh. Mereka melakukan penolakan kenaikan PPN dengan cara demonstrasi. Selain itu penolakan tersebut diperkuat dengan aksi penandatanganan petisi yang dilakukan oleh 197.753 orang.
Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan tarif PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa yang terkategori mewah saja, seperti: tuna, salmon, buah, daging dan beras premium, pendidikan bertaraf internasional, layanan kesehatan VIP dan lain sebagainya. Namun imbasnya tetap dirasakan seluruh kalangan.
Sejatinya kenaikan PPN semakin menambah beban rakyat saja. Apalagi diberlakukan pada saat kondisi ekonomi masyarakat sedang terpuruk. Angka kemiskinan dan pengangguran yang terus melonjak, badai PHK yang terus terjadi, ditambah adanya kenaikan pajak, menyebabkan rakyat seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Kenaikan PPN tentu akan memicu harga barang-barang dan jasa naik, sementara daya beli masyarakat akan terus merosot.
Itulah yang terjadi ketika negara mengadopsi sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini, pajak dijadikan sebagai salah satu sumber utama pemasukan negara. Padahal, negeri ini memiliki sumber daya alam yang melimpah dan tentunya bisa menjadi sumber pemasukan negara, jika negara mau mengelolanya dengan baik.
Namun sayangnya negara mengalihkan pengelolaan sumber daya alam kepada individu (privatisasi) dan swasta (swastanisasi). Hingga akhirnya sumber daya alam kita dikuasai oleh asing dan aseng. Maka hanya kelompok mereka saja yang dapat menikmati hasilnya. Sementara rakyat dipalak atas nama pajak, dengan besaran pungutan yang beragam, dari berbagai macam barang dan jasa.
Jika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka sejatinya rakyat membiayai sendiri kebutuhan hidupnya. Negara hanya berperan sebagai pengatur dan fasilitator saja, tapi rakyat harus tetap membeli sendiri. Negara tidak melaksanakan kewajibannya sebagai pengurus rakyat (raa'in), justru rakyat dibebani dengan berbagai pungutan pajak yang bersifat wajib, tanpa melihat kondisi rakyat. Hal ini tentu sangat menyengsarakan rakyat, terutama rakyat menengah ke bawah. Sebelum pajak naik pun harga barang dan jasa sudah mahal, apalagi setelah adanya kenaikan PPN ini.
Naiknya PPN tentu akan menimbulkan efek domino, yaitu menjadikan harga barang dan jasa ikut naik, bertambahnya pengeluaran keluarga, naiknya biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, hingga menurunnya aktifitas ekonomi dan lain sebagainya.
Mirisnya, meskipun kebijakan ini menuai reaksi penolakan tapi pemerintah tetap memberlakukan kenaikan PPN per 1 Januari 2025. Itulah watak sistem kapitalis, sistem buatan manusia yang mengedepankan sifat keserakahan penguasa dan pengusaha. Rakyat makin sulit, pejabat makin elit. Begitu jelas kesenjangan sosial di negeri ini.
Pungutan pajak merupakan bentuk kezaliman pemimpin kepada rakyatnya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ancaman bagi pemungut pajak adalah neraka, sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Tidak akan masuk surga pemungut Al Maks (orang yang mengambil pajak)." (HR. Abu Daud)
Berbeda dengan sistem Islam, sumber pemasukan utama negara bukan dari pajak, melainkan dari sumber daya alam yang dikelola sendiri oleh negara dan hasilnya sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan umat. Sumber pemasukan negara lainnya yaitu berasal dari zakat, ghanimah, fai, kharaj, jizyah. Sedangkan sumber pengeluaran dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas yang menunjang seluruh kebutuhan umat. Bukan hanya golongan tertentu saja, sehingga kesejahteraan dapat dirasakan secara merata oleh setiap individu.
Islam membolehkan adanya pungutan pajak asal sesuai dengan syariat. Dalam Islam pajak disebut dhoribah yang dipungut hanya saat kas negara atau baitulmal dalam keadaan kritis, yaitu saat kas negara benar-benar kosong. Sementara negara harus tetap memenuhi kebutuhan rakyatnya, maka negara akan mengambil pajak dari rakyat. Namun pajak/dhoribah ini hanya dibebankan kepada muslim yang kaya saja. Jika keadaan kas negara sudah stabil, maka dhoribah pun dihentikan.
Dalam Islam, pajak hanya sebagai alternatif terakhir untuk membiayai kebutuhan rakyatnya. Negara tidak membebankan dhoribah, kepada seluruh rakyat, karena hal itu merupakan kezaliman, dan Islam melarang segala bentuk kezaliman. Sebagai contoh pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau menjalankan kebijakan pajak dengan efisien dan transparan serta adanya pengawasan pajak. Umar melarang pejabat untuk memungut pajak di luar ketentuan syariat. Demikianlah syariat Islam dalam mengatur urusan pajak. Hanya dengan kembali menerapkan sistem Islam secara kafah, segala problematika umat dapat teratasi.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar