Bantuan dalam Sistem Kapitalisme
OPINI
Oleh Dias Paramita
Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang baru telah memutuskan suatu kebijakan terkait pemberhentian pasokan obat-obatan HIV, TBC, dan malaria ke negara-negara miskin. Pada 28 Januari 2025 dalam surat kontrak bersama mitra USAID (Badan Pembangunan Internasional AS), salah satunya Chemonics (perusahaan konsultan), pemberhentian juga termasuk di dalamnya seperti perlengkapan medis bayi baru lahir dan alat kontrasepsi. Keputusan tersebut dianggap sebagai ancaman besar terhadap kesehatan global. (garuda.tv, 29-1-2025)
Indonesia sebagai negara yang menyandang predikat kedua dengan kasus TBC terbanyak di dunia, sangat tergantung terhadap bantuan luar negeri, terutama impor obat-obatan. Hal ini menunjukan betapa rendahnya sistem kesehatan nasional yang tidak mampu memberikan jaminan kepada rakyatnya. Itulah sebabnya, kebijakan Donald dipandang merusak strategi eliminasi TBC di tahun 2030 sebagai tujuan SDGs. Keputusan instan yang diambil juga melunturkan nilai kemanusiaan dalam isu kesehatan. (stoptbindonesia.org, 30-1-2025)
Meskipun hingga saat ini belum terdapat keterangan resmi alasan di balik kebijakan tersebut, tetapi kemungkinan disebabkan oleh kerugian yang dialami Amerika pascalahapan si jago merah di wilayah Los Angeles. Alasan lainnya yaitu adanya strategi monopoli baru untuk menguasai ekonomi universal. Mengingat, Amerika merupakan salah satu negara adidaya yang memiliki ambisi besar untuk mengendalikan jagat raya.
Bantuan Pamrih dari Zionis
Faktanya, pemerintahan Amerika Serikat merupakan pendukung dan pembela Zionis Yahudi Laknatullah. Hal tersebut disebabkan karena asas kapitalisme dan ikatan kemanfaatan. Dukungan dan pembelaan tersebut diberikan secara penuh, bahkan menjadi kewajiban bagi pemimpin untuk dapat mengendalikan negara muslim yang dinilai menjadi ancaman besar terhadap kelangsungan kekuasaannya. Oleh karena itu, berharap pada bantuan Zionis kafir adalah hal yang haram bagi kaum muslim.
Dalam sistem kapitalisme, tidak ada bantuan kerjasama yang bernilai gratis. Komplotan negara Barat hanya menggunakan bantuan sebagai strategi ekonomi dan alat diplomasi. Bantuan obat-obatan yang telah diberikan adalah sebuah instrumen untuk menciptakan sebuah ketergantungan. Ketika bantuan tersebut dihentikan tiba-tiba, negara berkembang seperti Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhannya. Situasi semacam ini akan membuka peluang perusahaan farmasi di tingkat internasional untuk menjual produknya dengan harga tinggi. Kondisi ini cocok dengan teori ekonomi kapitalisme yang menyebutkan bahwa makin tinggi permintaan maka harga akan makin naik sehingga keuntungan makin besar. Dengan demikian, bantuan yang berkedok kepedulian justru aslinya adalah alat kontrol politik dan ekonomi.
Strategi Barat Memonopoli Ekonomi di Bidang Farmasi
Saat ini, perusahaan farmasi dunia didominasi oleh segelintir korporasi raksasa Barat yang memegang kendali produksi dan regulasi distribusi perdagangan obat-obatan. Melalui ketergantungan produk impor, Barat memastikan bahwa mereka telah menguasai pasar lokal sehingga akan sulit mengembangkan industri sendiri. Bahkan, beberapa tanaman yang berpotensi menjadi bahan baku obat (BBO) seperti bahan aromatik dan rempah banyak diekspor ke berbagai negara. Per tahun 2023, kurang lebih sekitar 289 ton BBO atau senilai 465 US$ dijual ke luar negeri (bps.go.id, 12-8-2024). Alih-alih mengolahnya sendiri, Indonesia justru akan membeli produk jadi dari mereka dengan harga yang tentunya lebih mahal.
Selain itu, kebijakan hak paten yang rumit juga menjadi alat bagi industri farmasi Barat untuk menekan industri lokal agar tetap berada dalam lingkaran ketergantungan, sekalipun dalam kondisi darurat. Bahkan, organisasi kesehatan internasional seperti WHO, dimanfaatkan untuk membuat regulasi yang hakikatnya hanya menjadi alat dalam mempertahankan kekuasaan di bidang farmasi.
Farmasi dalam Islam dan Langkah Menuju Kemandirian Kesehatan
Dalam sejarah ilmu pengobatan dan farmasi, pertama kali ditekuni oleh dunia Islam pada abad ke-8 Masehi dan lebih unggul dari Barat. Peradaban Islam pernah menjadi pusat kemajuan bidang kedokteran dan melahirkan ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Razi. Mereka berhasil mengembangkan sistem pengobatan berbasis sumber daya lokal tanpa ketergantungan pada pasokan luar negeri. Hal ini terjadi karena Islam memiliki konsep dalam industri obat, yaitu penerapan industri berat yang meliputi alat mesin dan bahan baku obat. Keberhasilan tersebut juga didorong atas asas larangan pengelolaan investasi asing dan pengoptimalan dalam mengelola kekayaan negara untuk menjalankan fungsi finansial. Selain itu, prinsip utama dalam Daulah Islam adalah terciptanya keadilan, yaitu meratanya pendistribusian obat-obatan tanpa melihat status ekonomi.
Negara dalam sistem Islam berkomitmen dan bertanggung jawab penuh atas pembangunan industri farmasi. Upaya realisasi tersebut tampak dalam berbagai aktivitas, seperti: mewajibkan secara mutlak anggaran industri bahan baku obat, penghasil obat, dan dana riset. Kemudian, hak paten diurus sendiri tanpa campur tangan pihak luar untuk menghindari praktik monopoli perdagangan obat.
Kemandirian farmasi bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan dan keharusan agar terbebas dari pusaran eksploitasi Barat. Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah strategis untuk mencapai kemandirian kesehatan farmasi. Investasi dalam riset pengembangan obat-obatan lokal harus diperbanyak. Selain itu, diperlukan upaya sinergis untuk meningkatkan kolaborasi antara lembaga pendidikan seperti universitas dan perusahaan farmasi lokal. Di samping itu, negara wajib menyediakan dan memberikan kemudahan rakyatnya dalam mengakses fasilitas pelatihan. Semua akan lebih mudah untuk diimplementasikan dalam sistem pemerintahan Islam.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar