Fenomena Banjir Terulang, Kapitalisme Biangnya?



 Banjir adalah salah satu bencana alam yang paling merusak lingkungan dan dapat merugikan ekonomi daerah maupun negara.

OPINI 

Oleh Rati Suharjo

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI -“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani)


Hadis Rasulullah saw. di atas menjelaskan kepada seluruh umat manusia bahwa jika zina dan riba merajalela di masyarakat, maka hal tersebut mengundang azab Allah Swt..


Lihatlah saat ini, betapa banyak bencana alam yang terjadi di negeri ini. Sejak tsunami pada 2004 hingga kini, bencana alam silih berganti menerjang negeri ini. Baik berupa tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, maupun banjir. Seperti kasus banjir, yang seolah telah menjadi ritual di musim penghujan. Di Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, Depok, Bogor, Bandung, dan kota-kota lainnya, banjir tak terhindarkan.


Kasus banjir terakhir di Bekasi merusak infrastruktur, pemukiman, dan harta benda.  Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Abdul Mu’ti, jumlah sekolah yang terdampak banjir di Bekasi meliputi 90 SD, tujuh SLB, sembilan SMA, lima SMK, dan tiga SMP, serta terdapat 114 gedung sekolah yang mengalami kerusakan. (beritasatu.com, 6/3/2025)


Peneliti ahli madya dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Yus Budiono, menyebut ada empat faktor yang menyebabkan banjir di Jabodetabek. Di antaranya adalah penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut, dan fenomena cuaca ekstrem. (tribunnews.com, 9/3/2025)


Banjir adalah salah satu bencana alam yang paling merusak lingkungan dan dapat merugikan ekonomi daerah maupun negara. Di antaranya: mengganggu perekonomian daerah, karena jalan terendam banjir atau terputus sehingga aktivitas ekonomi terganggu. Selain itu, banjir dapat merusak tanah pertanian, sehingga menyebabkan gagal panen.


Dengan adanya masalah tersebut, angka kriminalitas pun tinggi. Pasalnya, mereka melakukan kejahatan karena terdorong oleh lapar. Belum lagi muncul berbagai penyakit, seperti diare, gatal-gatal, dan berbagai macam penyakit lainnya.


Bukan hanya rakyat saja yang mengalami kerugian, negara juga mendapat ancaman. Pasalnya, setiap terjadi banjir, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi jebol.


Jika fenomena banjir terus terulang, maka bagaimana nasib bangsa ke depannya? Tentunya sulit untuk meraih Indonesia emas di tahun 2045. Sementara saat ini kondisi masyarakat banyak yang menganggur, kemiskinan semakin merajalela, dan hutang negara semakin tinggi.


Kendati demikian, pemerintah tidak tinggal diam dalam mengatasi banjir. Diantaranya  membangun waduk atau bendungan, melakukan penggalian hingga pengerukan sungai. Namun faktanya, pembangunan ini belum cukup mengatasi banjir. Pasalnya, alih fungsi hutan terus terjadi, diantaranya kasus hutan di Bogor yang telah beralih fungsi. Atas nama ramah lingkungan, telah hilang 65% hutan yang dialihfungsikan menjadi hotel, vila, rumah, dan perkembangan sektor wisata lainnya. (detik.com, 7/3/2025)


Hal ini jelas menyebabkan kerusakan lingkungan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Ar-Rum ayat 41 yang menjelaskan bahwa:


"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”


Sebenarnya hutan memiliki banyak manfaat bagi manusia. Selain menghasilkan oksigen (O2), hutan juga berfungsi untuk menahan air, dan akar pohonnya yang kuat mampu menahan tanah sehingga tanah longsor dapat dihindari.


Sayangnya, akibat penerapan kapitalisme, hutan di negeri ini terus beralih fungsi menjadi kebun sawit dan gedung-gedung. Padahal, jika merujuk pada Al-Qur'an dan hadis, hutan adalah milik umat manusia, baik muslim maupun non-muslim. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:


“Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu hutan, air, dan api.” (HR. Imam Abu Dawud, Imam Ahmad, dan Ibnu Majah)


Hutan adalah milik rakyat. Melalui negara, hutan dikelola dengan baik, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat melalui pelayanan kebutuhan primer, seperti pendidikan dan kesehatan juga untuk memfasilitasi sarana dan prasarana.


Dengan kebijakan pengelolaan tersebut, maka akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga kerja. Sehingga kesejahteraan rakyat benar-benar terwujud.


Namun, hal ini tidak akan terwujud dalam negara yang menerapkan kapitalisme. Sebab sistem ekonomi kapitalisme, memungkinkan negara memberi celah kepada korporasi untuk menguasai hutan dan akan memangkas peran negara dalam mengurus rakyat.


Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi banjir hanya akan terwujud jika negara ini menerapkan ekonomi Islam dalam bingkai negara Islam (daulah Islamiyah). Sehingga akan lahir penguasa yang ra'in (pengurus umat).


Kepemimpinan Islam sebagai pelindung akan terlihat dari arah kebijakan dalam mengurus rakyatnya. Dalam kasus yang berpotensi bencana, maka khalifah wajib berpegang pada ketentuan syariat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. 


“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)


Sayangnya, penguasa dalam demokrasi melahirkan penguasa yang sekuler. Tidak merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, akan tetapi mengambil undang-undang warisan Belanda yang mayoritas memuliakan korporasi, bukan memuliakan rakyat. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai undang-undang yang mayoritas memihak pada kapitalisme.


Padahal Rasulullah saw. telah menjelaskan dalam hadisnya:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Wallahu a'lam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan