Korupsi Menggurita, Bukti Kegagalan Kapitalisme



Islam memandang korupsi tidak hanya sebuah pelanggaran hukum, melainkan sebagai dosa besar sehingga harus mendapatkan keadilan menurut syariat. Sebelum praktik korupsi tersebut terjadi, sistem Islam memiliki langkah-langkah preventif untuk mencegahnya.

OPINI 


Oleh Eni Purwasih, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Aktivis Dakwah Siyasah


Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi di Indonesia bukan hal baru. Ibarat fenomena gunung es, hanya sebagian kecil terlihat di permukaan. Namun, di bawahnya masih banyak praktik korupsi yang dilakukan. Akibatnya tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi lebih dari itu dapat merusak moralitas masyarakat, menimbulkan kesenjangan sosial di antara individu serta ketidakadilan secara terstuktur.

Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sepanjang tahun 2024 telah menangani 93 kasus korupsi dengan 100 tersangka dan 50 di antaranya telah dilakukan eksekusi. Termasuk dugaan korupsi di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk yang telah merugikan negara hingga 300 Triliun. (Tempo.co.id, 02-01-2025)

Selanjutnya di tahun 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali mengungkap dugaan korupsi tata kelolah minyak mentah dan produk kilang oleh PT Pertamina yang menyebabkan negara mengalami kerugian mencapai Rp193,7 triliun. Abdul Qohar sebagai penyidik pada Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung menjelaskan telah menetapkan tujuh tersangka yang terlibat di dalamnya. (BeritaSatu.com, 25-02-2025)

Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi praktik korupsi mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga membentuk lembaga baru seperti Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri. Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri Jenderal Polisi menjanjikan sinergi antara Kortas Tipikor dan KPK dalam mengatasi persoalan ini. (Indozone.id, 08-01-2025) Apakah lembaga baru tersebut mampu mengatasi kasus korupsi yang sudah menggurita?


Sistem Kapitalisme Menumbuh Suburkan Korupsi

Sistem Kapitalisme pada dasarnya memberikan peluang terjadinya praktik korupsi secara sistemik, sebab memadukan politik berbasis suara mayoritas dengan mekanisme ekonomi yang didominasi oleh kepemilikan pribadi. Para politisi berlomba-lomba untuk meraih dukungan harus melalui “politik biaya tinggi” sehingga membutuhkan aliran dana besar. Di sisi lain, para oligarki memodali pemilihan wakil rakyat dan pejabat. Uang menjadi alat utama untuk membeli kekuasaan, kebijakan, dan loyalitas sehingga siapa pun yang menjabat sebagai pemimpin pasti akan tunduk pada para oligarki tersebut.

Bahkan dalam menerapkan aturan, pasti menguntungkan pemilik modal meskipun rakyat menjadi korbannya. Negara semakin lemah di hadapan oligarki.

Adapun pembentukan Kortas Tipikor merupakan gambaran nyata solusi tambal sulam dalam kapitalisme. Pembentukan Kortas Tipikor hanyalah upaya yang tidak menyentuh akar masalah korupsi secara sistemik. Hal ini karena fokus utama hanya pada sinergi antarlembaga. Namun, tidak menyentuh lemahnya sistem hukum, adanya politik transaksional, serta korupsi struktural. 

Alih-alih mengatasai masalah, alhasil hadirnya institusi ini justru membuka peluang terjadinya konflik kepentingan, memperpanjang birokrasi, serta menciptakan kebingungan masyarakat, tentang otoritas sebenarnya yang bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi. 


Pencegahan dan Solusi Korupsi Hanya Dengan Sistem Islam

Islam memandang korupsi tidak hanya sebuah pelanggaran hukum, melainkan sebagai dosa besar sehingga harus mendapatkan keadilan menurut syariat. Sebelum praktik korupsi tersebut terjadi, sistem Islam memiliki langkah-langkah preventif untuk mencegahnya di antaranya: 

Pertama, Islam akan memilih pemimpin yang amanah dan takut kepada Allah Swt. Pemimpin dipilih berdasarkan ketakwaan, kriteria keilmuan, dan integritasnya, bukan karena popularitas kepentingan politik atau dukungan finansial. Pemimpin adalah pelayan rakyat (khadimul ummah), bukan pencari keuntungan pribadi. Sebagai contoh Khalifah Umar bin Khattab, dikenal dengan perilakunya yang memadamkan lampu istana jika pembicaraannya menyangkut urusan pribadi, untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara. 

Kedua, Islam akan menerapkan sistem ekonomi yang adil dan tidak mengutamakan kepemilikan pribadi atas sumber daya alam. Hal ini dikarenakan sumber daya alam seperti tambang, hutan, dan energi adalah milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Islam juga akan memberikan gaji yang layak kepada pejabat dan pegawai negara, untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga mereka tidak tergoda melakukan korupsi. Dalam sebuah riwayat, Khalifah Umar menetapkan gaji besar bagi pejabat negara agar mereka fokus melayani rakyat dan tidak tergoda melakukan kecurangan.

Ketiga, Islam akan melakukan pengawasan ketat dengan membentuk lembaga pengawasan yang disebut hisbah. Tujuannya untuk memonitor perilaku individu dan memastikan tidak ada pelanggaran hukum, termasuk dalam penggunaan harta publik. Lembaga ini bekerja secara independen dari khalifah untuk menghindari konflik kepentingan. 

Keempat, adanya penegakan hukum yang tegas. Dalam Islam, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, tanpa ada ruang untuk "plea bargain" (negosiasi). Pelaku korupsi dihukum dengan sanksi yang tegas, seperti hukuman takzir. Hukuman atas korupsi disesuaikan dengan tingkat kejahatan dan kerugiannya. Jika pelaku terbukti mencuri harta negara atau milik umum, hukum potong tangan dapat diberlakukan, sebagaimana firman Allah:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (TQS. Al-Maidah: 38)

Jika korupsi telah terjadi, maka Islam mengambil langkah kuratif yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Misalnya dalam konteks korupsi yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, maka hukuman yang dapat diberikan harus sesuai ijtihad hakim (qadhi). Hukuman yang tegas dan keras ini bertujuan memberikan efek jera sekaligus menjaga integritas sistem sosial, seperti penjara, pengembalian harta curian, atau bahkan hukuman mati untuk kasus besar yang merugikan masyarakat luas.


Keadilan Tanpa Pandang Bulu dalam Sistem Islam

Dalam sistem Islam, hukum berlaku sama untuk semua orang, tanpa membedakan status sosial, kekayaan, atau kekuasaan. Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah karena mereka, jika orang mulia mencuri, mereka membiarkannya. Tetapi jika orang lemah mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya dengan kembali kepada sistem Islam maka masalah korupsi dapat diberantas hingga ke akarnya sehingga seluruh rakyat akan merasakan keadilan dan kesejahteraan yang hakiki.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan