Menggadaikan Negara pada Taipan, Bagaimana Nasib Rakyat?

 


Di tengah dominasi taipan, suara rakyat kerap dibungkam. Aksi protes warga Rempang dan petani Kendeng diabaikan, bahkan dikriminalisasi. 

OPINI 

Oleh Nur Saleha, S.Pd.

(Pendidik dan Pemerhati Remaja)



Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI Belakangan, Istana Negara ramai dikunjungi tamu istimewa, yaitu para taipan. Presiden Prabowo Subianto mengundang mereka untuk berdiskusi tentang pengelolaan aset negara dan investasi. Namun, di tengah janji pembangunan dan kesejahteraan, rakyat justru bertanya, mengapa yang diajak bicara hanya pemilik modal, bukan rakyat kecil yang butuh keadilan? (Tempo.co, 08-03-2025)


Pertemuan ini menimbulkan kekhawatiran, sebab para taipan yang diundang kerap terlibat dalam konflik lahan seperti kasus Rempang, proyek PIK2, atau pembangunan IKN. Rakyat pun curiga, apakah negara sedang "digadaikan" pada segelintir orang kaya?   


Negara Diperbudak Taipan


Fakta di lapangan menunjukkan, kolaborasi penguasa dan taipan sering merugikan rakyat. Di Rempang, ribuan warga terancam kehilangan tanah demi proyek industri. Di PIK2, nelayan tradisional tersingkir oleh reklamasi. Di IKN, pembangunan megah justru mengabaikan hak masyarakat adat. (Kontan.co.id, 09-03-2025)


Inilah buah sistem kapitalis sekuler, penguasa dan pemodal bersekongkol, sementara rakyat hanya jadi penonton. Dana negara yang semestinya untuk publik, malah dikelola oleh Badan Pengelola Investasi (seperti Danantara) yang dikendalikan para taipan  eksekutif. Alhasil, kebijakan tidak lagi berpihak pada rakyat, tetapi  pada keuntungan segelintir elite.


Mengapa masalah ini terus berulang? Jawabannya ada pada sistem sekularisme kapitalisme yang mengizinkan penguasa dan taipan menguasai kebijakan. Dalam demokrasi, uang berbicara lebih keras daripada suara rakyat. Tak heran, 70% alokasi APBN 2024 justru untuk membayar utang dan proyek infrastruktur "prestisius", sementara anggaran kesehatan dan pendidikan dipotong.(Kompas.tv, 7-03-2025)


Inilah yang membedakan sistem Islam dengan kapitalisme. Dalam Islam, pemimpin wajib tunduk pada syariat, bukan pada pemodal. Kebijakan ekonomi harus transparan dan diawasi oleh majelis umat. Tidak ada ruang untuk korupsi atau kebijakan yang mengorbankan rakyat.


Tidak hanya taipan lokal, Indonesia juga terjebak dalam jerat utang luar negeri. Hingga 2023, utang pemerintah mencapai Rp8.000 triliun, dengan pembayaran bunga yang menggerus anggaran sosial (BI, 2023). Ironisnya, alih-alih mengurangi utang, pemerintah justru mengundang investor asing untuk menguasai sektor strategis seperti energi dan pertambangan.  


Hal ini bertolak belakang dengan prinsip Khilafah. Dalam sejarah Islam, khalifah tidak pernah menggadaikan kedaulatan untuk utang. Ketika Romawi memaksa khalifah membayar upeti, beliau menjawab, "Kami lebih memilih mati daripada menyerahkan kedaulatan."



Islam Negara Pelindung, Bukan Makelar Kekuasaan


Bagaimana sebenarnya solusi untuk menghentikan lingkaran setan ini? Islam menawarkan sistem kepemimpinan yang berbeda. Dalam Khilafah, pemimpin bukanlah "makelar" yang menjual negara ke taipan. Sebaliknya, ia bertugas sebagai ain (mata) dan junnah (perisai) yang melindungi rakyat dari segala bentuk ketidakadilan.  


Sejarah membuktikan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menolak memberi hak istimewa pada keluarga dan pengusaha. Bahkan, ia mengembalikan tanah yang dikuasai elite kepada rakyat. Khalifah Umar bin Khattab juga memastikan tidak ada satu pun rakyatnya yang kelaparan, meski harus berpuasa jika ada yang lapar. Inilah prinsip kepemimpinan Islam, keadilan di atas segalanya.


Selain itu, sistem ekonomi Islam dalam Khilafah juga melarang praktik monopoli dan eksploitasi sumber daya oleh swasta. Hutan, tambang, dan aset strategis dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat. Hasilnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik.  


Contoh nyata terjadi di masa Khalifah Harun al-Rasyid. Kekayaan minyak Irak kala itu digunakan untuk membiayai rumah sakit, perpustakaan, dan bantuan tunai bagi rakyat miskin. Bandingkan dengan Indonesia, meski kaya sumber daya, tetapi 26,36 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2023).  


Kesadaran Umat Kunci Perubahan


Di tengah dominasi taipan, suara rakyat kerap dibungkam. Aksi protes warga Rempang dan petani Kendeng diabaikan, bahkan dikriminalisasi. Media pun cenderung memihak pemilik modal. Laporan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 2023 menyebut, 65% pemberitaan proyek strategis hanya mengutip narasi pemerintah dan pengusaha, tanpa melibatkan masyarakat terdampak.  


Dalam Khilafah, penguasa wajib mendengar keluhan rakyat secara langsung. Khalifah Umar bin Khattab kerap blusukan ke pasar untuk memastikan tidak ada kecurangan. Jika ada pejabat lalai, ia tidak segan mencopotnya.  


Pertanyaannya, mau sampai kapan kita diam? Jika sistem kapitalisme terus dipertahankan, negara akan makin tergadai. Rakyat hanya jadi korban kebijakan yang tidak pro rakyat kecil.  Islam menawarkan solusi nyata, tetapi perubahan hanya mungkin terjadi jika umat bersatu menuntut penerapan syariat secara kafah. Sebagaimana sabda Rasulullah:


"Siapa saja yang tidak peduli dengan urusan umat Islam, maka ia bukan bagian dari mereka." (HR. Hakim)


Khatimah


Negara ini terlalu berharga untuk dijual ke taipan. Saatnya kita belajar dari sejarah, kejayaan hanya akan terwujud jika sistem Ilahi menjadi dasar bernegara. Khilafah bukan sekadar mimpi, tetapi kebutuhan mendesak. Sebagai umat Islam, kita wajib memperjuangkannya. Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan menyadarkan masyarakat bahwa hanya Islam yang mampu menjawab semua persoalan.


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan