SUATU MALAM DI WATU TOA
CERPEN
Oleh Andi Nursalam
Pendidik Generasi
“Cepat, cepat, cepat. Matahari sebentar lagi akan terbenam!” teriak seorang pemuda dengan ikat kepala yang terbuat dari daun kelapa. Teriakannya mampu didengarkan oleh saudara-saudari, beberapa sepupu maupun tetangganya. Sambil memberi komando dia pun dengan lincahnya mengikat batang-batang padi yang baru saja dipanen. Batang-batang padi masih terhampar banyak menunggu diikat menjadi siwesse (satu ikat). Semuanya pun mempercepat dan melipatgandakan tenaganya dengan harapan selesai sebelum gelap datang.
Sejauh mata memandang hanyalah hamparan sawah yang hampir semuanya usai panen. Matahari senja di ufuk barat tampak tinggal sepenggalah ketika di kejauhan tampak dua titik yang bergerak perlahan menuju ke arah mereka.
“Pabbangkung, Pabbangkung!” Seorang bocah berteriak sekuat tenaga. Penduduk desa yang sedang sibuk dengan padinya, kini mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk si bocah. Kedua titik yang bergerak tadi semakin dekat dan benar, mereka adalah Pabbangkung yang mengendarai kuda menuju ke arah mereka.
Pabbangkung adalah pasukan yang bekerja sama dengan tentara pro pemerintah. Bangkung artinya parang. Pabbangkung adalah orang yang dipersenjatai dengan parang. Panjang parang bisa mencapai sedepa orang dewasa. Pabbangkung boleh menggunakan parangnya di dalam menjalankan tugas, termasuk mencelakai bahkan membunuh orang-orang yang dicurigai bekerjasama dengan Gurilla.
Gurilla adalah pasukan yang berniat mendirikan negara Islam di Indonesia, khususnya di Soppeng, Sulawesi Selatan. Gurilla adalah pasukan yang komandannya adalah Kaem. Kaem dulunya adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia. Namun setelah negara ini merdeka, Kaem layaknya sudah tidak diperlukan lagi buah pikiran dan tenaganya. Dengan kekecewaan yang amat dalam, akhirnya Kaem kembali ke daerahnya, yaitu Sulawesi Selatan. Kaem lalu membentuk pasukan yang kemudian disebut Gurilla. Gurilla ini bertebaran di mana-mana di seluruh Sulawesi Selatan. Sepak terjang Gurilla sama bengisnya dengan Pabbangkung.
Suasana desa seketika senyap dan mencekam. Lari juga percuma. Pabbangkung pasti akan dapat menemukan mereka yang bersembunyi di bawah batu sekalipun dan yang dicarinya adalah orang-orang pengikut Gurilla.
“Hei, kalian semua, keluar! Tidak ada yang tinggal di dalam rumah!” teriak Pabbangkung berkuda coklat.
“Berbaris!” lanjutnya sambil memilin bulu lebat di bawah hidungnya.
Pemuda dengan ikat kepala dari daun kelapa yang tadi memberi komando agar cepat-cepat mengikat batang padi, ikut juga di dalam barisan. Celakanya, Pabbangkung berkuda putih tiba-tiba melihatnya. Ada tatapan benci di kedua mata pemuda itu. Pabbangkung berkuda putih langsung menarik sarung yang melilit pinggang si pemuda.
“Hei, kamu, siapa namamu?”
“La Paggaru, Tuan.”
“Ikut saya!” hardiknya sambil menepuk punggung kuda tepat di belakangnya, isyarat agar La Paggaru duduk di belakangnya. Namun, La Paggaru, sambil mengatupkan kedua tangan di dada memohon.
“Tuan, saya tahu apa yang Tuan cari,” kilahnya. La Paggaru pun membisikkan sesuatu di kuping Pabbangkung berkuda putih. Terlihat Pabbangkung berkuda putih mengangguk-angguk. La Paggaru lalu masuk ke gubuknya. Kedua Pabbangkung tetap menunggu di luar.
Sambil berjalan masuk, La Paggaru teringat pesan almarhum ayahandanya, “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan barangsiapa terbunuh karena membela dirinya maka ia syahid, dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan agamanya maka ia syahid, dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka ia syahid.” (HR. Abu Daud dan al-Tirmizi).
Pesan itu kini terngiang hebat di telinganya. Ya … ia harus mempertahankan diri, keluarga dan harta-bendanya. Maka La Paggaru berjanji pada dirinya sendiri, apapun akan ia lakukan untuk membela kehormatannya.
Mata kedua Pabbangkung tetap awas melihat penduduk yang berbaris.
“Tidak ada yang boleh bergerak!” teriak Pabbangkung berkuda putih lantang sambil mengacung-acungkan parang yang menyilaukan mata. Seluruh penduduk bergidik. Suasana begitu mencekam. Ditambah pula si raja siang sudah mulai tertelan di kegelapan malam. La Paggaru belum juga muncul.
“La Panggaru! La Panggaru! Keluar kau atau kubakar seluruh kampung ini!”
Pabbangkung berkuda coklat mulai menebas batang-batang padi yang tadi belum rampung diikat. “Srett … srett … srett….” Sesekali terdengar bunyi gemerincing parang beradu dengan batu.
“Bisa-bisanya kamu menipu kami, monyet kecil!” aum Pabbangkung berkuda putih. “Kau rasakan akibatnya, ya!”
Tiba-tiba terlihat sebuah titik api dari tangan salah satu Pabbangkung. Titik api itu kemudian meluncur ke atap rumah yang dimasuki La Paggaru. Apipun berkobar, melalap rumah-rumah penduduk.
Di tengah hiruk-pikuk kebakaran, kedua Pabbangkung memacu kudanya menyisir rumah-rumah yang sedang terbakar. Suara derap kaki kuda dan gemuruh api yang sedang berkobar bagaikan musik pengantar kematian.
Tiba-tiba kuda putih tersungkur ke tanah yang menyebabkan Pabbangkung ikut pula terpental nyaris masuk ke dalam kobaran api. Dengan sigap Pabbangkung menarik tali kekang kudanya dan ternyata si kuda putih masih mampu berdiri. Ia memberi isyarat ke Pabbangkung berkuda coklat untuk meninggalkan kampung yang mereka bumi-hanguskan. Tidak cukup sampai di situ, Pabbangkung juga menculik ibu dan seorang adik lelaki La Paggaru.
Saudara-saudara dan keluarga La Paggaru sangat sedih namun mereka tak mampu berbuat banyak. Penduduk desa pun hanya bisa menangisi harta bendanya berupa rumah beratap daun rumbia, berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah.
Sedangkan La Paggaru tidak diketahui rimbanya hingga beberapa tahun kemudian.
***
LATAR Tahun 1950, Desa Watu, Marioriwawo, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Komentar
Posting Komentar