Palestina dan Urgensi Tegaknya Kepemimpinan Islam
Kondisi umat Islam saat ini sangat jauh dari hal tersebut. Dunia Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara, menjadikan bangsa yang lemah dan bergantung pada kekuatan asing. Tidak ada satu pun institusi negara yang mampu bertindak sebagai pelindung umat.
OPINI
Oleh Novi Kristiawati
IRT, ventriloquist
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Tragedi kemanusiaan di Palestina terus berlanjut tanpa henti. Agresi militer yang dilakukan oleh entitas Zionis Israel sejak Oktober 2023 telah menelan korban jiwa dalam jumlah yang sangat besar. Hingga awal April 2025, lebih dari 50.669 warga Palestina di Gaza telah syahid, sepertiganya adalah anak-anak, dan lebih dari 87.000 lainnya terluka. Serangan pada 5 April 2025 saja menewaskan sedikitnya 60 orang dalam waktu 24 jam, dan melukai 162 lainnya. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.(Euro-Med Human Rights Monitor, 06/04/2025)
Kerusakan infrastruktur pun luar biasa. Menurut laporan bersama Bank Dunia dan PBB, hingga Januari 2024, kerugian akibat kerusakan mencapai 18,5 miliar dolar AS, mencakup bangunan tempat tinggal, sekolah, rumah sakit, masjid, fasilitas air bersih dan listrik. Pada Maret 2025, lebih dari 220 bangunan di Gaza terancam runtuh, mengancam keselamatan ribuan warga yang masih bertahan di wilayah padat penduduk. Kondisi ini makin diperburuk dengan pemutusan pasokan listrik oleh Israel, menyebabkan satu-satunya pembangkit listrik di Gaza lumpuh, menghambat distribusi air dan layanan kesehatan yang sangat vital. (World Bank Group, 02/04/2025)
Penderitaan rakyat Palestina bukan sekadar akibat konflik. Ini adalah penjajahan. Sejak 1948, entitas Israel berdiri di atas tanah rampasan dengan dukungan negara-negara besar, menggusur penduduk asli, membantai, memenjarakan, dan mengusir mereka dari tanah kelahiran mereka sendiri. Proyek kolonial ini berjalan sistematis dan terstruktur, mengandalkan kekuatan militer, propaganda media, serta diplomasi internasional yang bias dan berpihak.
Yang menyedihkan, dunia Islam tampak lemah tak berdaya. Pemerintah negara Muslim hanya mampu mengecam atau mengirim bantuan kemanusiaan, tanpa keberanian mengambil langkah militer untuk membela saudara seiman. Bahkan, sebagian penguasa justru terlibat dalam normalisasi hubungan dengan penjajah Zionis, menjual kehormatan umat demi keuntungan politik atau ekonomi sesaat.
Pertanyaannya, sampai kapan umat Islam akan terus berada dalam kondisi seperti ini? Sampai kapan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina hanya disambut doa dan donasi tanpa ada langkah nyata untuk menghentikan kezalimannya dari akarnya?
Kita harus belajar dari sejarah. Palestina pernah dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 637 M tanpa pertumpahan darah, melalui negosiasi damai dan penuh kehormatan. Pada tahun 1187 M, Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Baitul Maqdis dari pasukan salib setelah Perang Hittin. Keduanya bukan sekadar pemimpin militer, tetapi pemimpin Islam yang tunduk pada syariat, memimpin dengan keimanan dan keberanian, serta didukung kekuatan negara yang bersatu.
Kondisi umat Islam saat ini sangat jauh dari hal tersebut. Dunia Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara, menjadikan bangsa yang lemah dan bergantung pada kekuatan asing. Tidak ada satu pun institusi negara yang mampu bertindak sebagai pelindung umat. Padahal, Islam mewajibkan adanya seorang pemimpin (khalifah) yang akan mempersatukan umat, menerapkan syariat Islam secara kaffah, serta membela darah dan kehormatan kaum Muslim.
Tegaknya kembali Khilafah Islamiyah bukan utopia. Ini adalah kewajiban syar’i yang telah ditinggalkan umat selama lebih dari satu abad. Rasulullah saw. telah mencontohkan bagaimana perjuangan menegakkan negara Islam dilakukan dengan dakwah dan pembinaan umat secara ideologis. Perjuangan ini bukan dengan jalan kekerasan, tetapi dengan membentuk kesadaran kolektif umat bahwa hanya Islam satu-satunya solusi atas seluruh problematika yang ada di dunia ini, termasuk pembebasan Palestina.
Khilafah akan memiliki wewenang politik, militer, dan ekonomi untuk menghadapi musuh-musuh Islam secara efektif. Dengan kekuatan satu komando, seluruh potensi kaum Muslim dapat diarahkan untuk membebaskan negeri-negeri yang terjajah, termasuk Palestina. Pasukan akan digerakkan bukan demi kepentingan nasionalisme sempit, tapi demi menolong saudara seiman dan membebaskan Baitul Maqdis sebagai tanah suci ketiga umat Islam.
Allah Swt. berfirman, “Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, wanita-wanita, dan anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” (QS. An-Nisa: 75)
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa membela kaum Muslim yang tertindas adalah kewajiban. Bukan sekadar dengan demonstrasi atau donasi, tetapi dengan kekuatan politik dan militer yang terorganisir di bawah kepemimpinan Islam.
Kini saatnya umat Islam bangkit dan bersatu. Kita tak boleh terus menerus tertipu dengan solusi tambal sulam seperti dua negara, perdamaian semu, atau bantuan kemanusiaan yang tidak menyelesaikan akar masalah. Saatnya kita sadari bahwa penjajahan hanya bisa dihapuskan dengan kekuatan ideologi yang benar dan sistem pemerintahan yang berpihak kepada umat, bukan kepada penjajah.
Palestina menunggu. Baitul Maqdis memanggil. Umat Islam harus kembali bersatu di bawah panji Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah, dengan institusi negara Islam yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Waallahualam bissawab
Komentar
Posting Komentar