Tidak Cukup Fatwa, Palestina Membutuhkan Jihad secara Nyata
Fatwa memiliki kekuatan moral dan spiritual serta bisa membangkitkan semangat solidaritas umat, tetapi jika hanya berhenti pada fatwa, hal ini tidak cukup untuk memerdekakan Palestina.
OPINI
Oleh Anita Humayroh
Tenaga Pendidik
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI _Ulama internasional akhirnya menyerukan jihad untuk merespon situasi Gaza dan gagalnya semua ikhtiar umat menolong kaum muslimin di sana (demo, boikot, bantuan logistik, dll). Jatuhnya banyak korban jiwa dari masyarakat sipil, tak terkecuali anak-anak, adalah akibat dari masifnya serangan udara terhadap penduduk yang terus menerus terjadi di Jalur Gaza. Serangan ini membuat umat Islam dunia geram dan mengecam penjajahan tentara zionis laknat tersebut.
Keluarnya fatwa ini, di kalangan umat Islam menjadi respon besar seluruh umat muslim dunia yang dihembuskan oleh IUMS (International Union of Muslim Scholars), di mana banyak mahasiswa dari kalangan reputasi tinggi sebagai pendukung seruan ini. Fatwa ini juga ditujukan kepada seluruh negara muslim untuk bersegera melakukan intervensi, baik intervensi militer, ekonomi, dan politik agar Israel menghentikan genosida yang telah dilakukannya selama lebih dari 1 tahun. Kekejian ini telah melanggar hak asasi manusia serta prinsip-prinsip kemanusiaan baik dalam hukum agama maupun hukum sosial dunia. (Merdeka.com, 05-04-2025)
Fatwa atau seruan ini merupakan hasil penggalian hukum dari otoritas keagamaan, dan seruan tersebut hanyalah bersifat anjuran atau panduan spiritual semata. Memang, fatwa memiliki kekuatan moral dan spiritual serta bisa membangkitkan semangat solidaritas umat, tetapi jika hanya berhenti pada fatwa, hal ini tidak cukup untuk memerdekakan Palestina. Sebuah fatwa yang diserukan tanpa adanya tindakan konkret, ibarat seruan tanpa gerakan—tidak akan mengubah kondisi nyata di lapangan.
Langkah-langkah strategis dan terukur sangat dibutuhkan dalam upaya kemerdekaan masyarakat Palestina. Seperti adanya tekanan diplomatik dari berbagai belahan dunia serta dukungan politik internasional. Juga wajib adanya pemutusan hubungan ekonomi para penjajah dengan kaum muslim, serta mobilisasi bantuan kemanusiaan yang harus dilakukan secara signifikan.
Selain itu, persatuan di antara negara-negara muslim dan keterlibatan aktif penguasanya dalam forum global harus senantiasa dilakukan dan tidak hanya fokus sekadar aksi menyeru dan mengecam yang tidak memiliki kekuatan mengikat. Setidaknya hal tersebut merupakan upaya penyadaran mata dunia yang saat ini tersandera kepentingan politik.
Seperti pepatah yang mengatakan "Tong Kosong Nyaring Bunyinya." Inilah gambaran nyata kondisi negara muslim saat ini. Seruan atau pesan moral apapun yang dianjurkan tanpa adanya sebuah aturan mengikat yang mewajibkan seluruh kaum muslim bergerak, takkan memberikan hasil yang maksimal, padahal bantuan berupa kekuatan militer (pasukan dan senjatanya) ada di tangan para penguasa. Namun, mereka sibuk dengan seruan dan kecaman semata.
Seruan dan kecaman yang mereka lontarkan tak diimbangi dengan adanya satupun tindakan nyata dengan mengirimkan pasukan beserta persenjataan lengkap sebagai bagian dari pertanggungjawaban umat Islam dalam menjaga bumi Syam, tanah suci para nabi, tanah Palestina.
Apa kendala dibalik bungkamnya penguasa muslim saat ini? Pada faktanya, jauh sebelum kaum zionis Israel menjajah negeri Palestina dan membumihanguskan tanah suci umat Islam tersebut, Sultan Abdul Hamid II, sebagai khalifah pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah saat itu pernah menolak dan mengusir seorang Yahudi dari kalangan zionis modern bernama Theodore Herzl yang meminta izin kepadanya untuk membeli tanah Palestina dengan harga fantastis. Herzl menawarkan uang dalam jumlah yang sangat besar kepada khalifah. Penolakan ini menjadi simbol kuat betapa keteguhan pemimpin atau khalifah dalam menjaga tanah suci Palestina, tanah suci umat Islam.
Begitu pun ketika pada abad ke-16, Kesultanan Aceh mengirim utusan ke Kekhilafahan Utsmaniyah meminta bantuan melawan penjajahan Portugis. Sultan Salim II menanggapi permintaan ini dengan mengirimkan kapal, senjata, ahli militer, bahkan teknisi artileri ke Aceh. Bantuan ini memperkuat posisi militer Aceh dalam melawan Portugis dan memperkuat hubungan Aceh-Istanbul.
Tidak sampai di situ, Kekhilafahan Islam juga memberikan perlindungan terhadap muslim Andalusia. Setelah jatuhnya Granada tahun 1492, muslim di Spanyol mengalami penganiayaan hebat oleh pasukan Kristen. Di masa Sultan Beyezid II, beliau mengirim armada untuk menyelamatkan muslim dan Yahudi yang melarikan diri dari inquisisi Spanyol dan memungkinkan mereka di wilayah Utsmaniyah seperti Istanbul dan Thessaloniki.
Masih banyak contoh aksi nyata yang dilakukan oleh jejak Kekhilafahan Islam dalam berbagai bentuk baik pertahanan maupun perlawanan terhadap penjajahan didalam tubuh umat muslim. Itulah aksi nyata sesungguhnya, yakni jihad. Upaya membebaskan penjajahan yang dilakukan oleh pasukan zionis Israel hanya dapat dilakukan dengan jihad. Hal ini membutuhkan komando dari seorang pemimpin di seluruh dunia. Terlebih jihad defensif yang sudah dilakukan oleh kaum muslimin di Palestina selama ini, membuat mereka merasa berjuang sendiri dan menanti kebangkitan umat muslim di seluruh dunia untuk berjihad bersama dalam menjaga tanah umat Islam.
Dengan demikian, menghadirkan kepemimpinan seperti ini seharusnya menjadi agenda utama umat Islam, khususnya gerakan-gerakan dakwah yang konsen ingin menolong muslim Gaza- Palestina. Kepemimpinan yang disebut sebagai khilafah hanya bisa tegak atas dukungan mayoritas umat sebagai buah dari proses penyadaran ideologis yang dilakukan oleh gerakan Islam yang tulus dan lurus berjuang semata demi Islam.
Sebab, umat adalah pemilik hakiki kekuasaan. Di tangan merekalah penguasa yang ada harus bertindak sebagai junnah atau perisai umat. Para pemimpin muslim harus tunduk melakukan apapun yang umat inginkan atau menyerahkan tampuk kekuasaan kepada yang lain, jika penguasa tersebut berbeda dengan apa yang menjadi harapan dan keinginan umat.
Hidup dan matinya umat, bergantung pada kepengurusan dalam penegakkan sistem di dalamnya. Kepengurusan ini tidak hanya terkait genosida yang terjadi di Palestina, tetapi juga bagaimana seorang khalifah dalam sistem daulah menjaga kemerdekaan setiap wilayah yang ada di bawah tampuk kekuasaannya. Maka menjadikan umat Islam untuk terlibat di dalamnya serta memperjuangkan kemerdekaan Palestina adalah sebuah kewajiban. Semoga kepemimpinan Islam yang diharapkan menjadi perisai umat segera terwujud sehingga tanah suci umat Islam kembali suci di bawah institusi hakiki.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar