Fenomena Pembegalan, Apakah Sebab dan Akibatnya?


OPINI

Di dalam Islam, hukuman yang diberlakukan pada para pelaku kriminalitas adalah hukuman yang memberikan efek jera bagi pelakunya dan mencegah munculnya pelaku baru. 

Oleh Nur Syamsiah Tahir 

Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK 


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Jika ada sebab, pasti ada akibatnya. Begitu pula dengan adanya akibat pasti karena ada sebabnya alias pemicunya. 

Demikian halnya dengan beberapa fakta pembegalan di kawasan Probolinggo. 


Fenomena Teror Begal


Sebagaimana diberitakan oleh detikjatim.com pada 22 April 2025 lalu, bahwa lagi-lagi pembegalan terjadi di Kabupaten Probolinggo. Kali ini terjadi di Desa Brani Wetan, Kecamatan Maron, Jawa Timur, pada Minggu (20/4/25) malam.


Adapun pelakunya berjumlah dua orang. Mereka berhasil membawa kabur sepeda motor milik Sri M (35) warga setempat. Sri dibegal saat hendak pulang ke rumahnya sepulang kerja.


Tidak hanya kali itu saja pembegalan terjadi di wilayah Probolinggo. Kasus seperti ini mulai marak terjadi sejak berakhirnya bulan Ramadan. Tepatnya sebulan yang lalu, ditandai dengan aksi heroik Aipda Andik Muhyeni yang berhasil menembak pelaku pencurian sepeda motor di wilayah Gending, tidak jauh dari Pabrik Sasa.


Namun, keberhasilan tersebut ternyata bukan mengurangi aksi kriminalitas tersebut akan tetapi justru peristiwa serupa terjadi berulang. Menurut pantauan warga Probolinggo, setidaknya ada delapan kasus pembegalan terjadi pasca kejadian heroik tersebut, bahkan jumlah percobaan yang gagal diprediksi jauh lebih banyak. 


Peristiwa teror begal semacam ini tak hanya mengancam pengendara motor yang pulang malam. Akan tetapi juga menjadi momok bagi warga secara umum, terutama pengendara motor yang sendirian dan memakai perhiasan.


Fenomena ini menjadi semakin mengkhawatirkan khususnya di wilayah Probolinggo saat memasuki musim pernikahan. Sudah menjadi budaya "tonjokan", "pecut", dan bentuk utang-piutang dalam tradisi hajatan telah lama mengakar di Probolinggo. 


Faktor Pemicu


Tentu saja budaya ini bisa menjerumuskan masyarakat pada jurang kemiskinan. Di satu sisi, tradisi utang pernikahan ini sangat membebani masyarakat kelas bawah, terutama di wilayah selatan (pegunungan). Nominal yang dikeluarkan untuk "tonjokan" bisa berkisar Rp100.000–Rp300.000 bagi masyarakat biasa, tetapi bagi kalangan tertentu nominalnya bisa mencapai Rp1.000.000 hingga Rp15.000.000 per acara. Jumlah yang mungkin tak terasa bagi kalangan menengah ke atas, tapi menjadi beban berat bagi petani dan buruh harian. 


Di sisi lain, petani dan buruh harian dengan penghasilan yang minim atau bahkan bagi pekerja serabutan bisa dipastikan akan menjadi beban yang berat. Alih-alih bisa menutup hutang sebelumnya yang terjadi justru banyak yang mencari hutangan lagi demi menutup kebutuhan yang membudaya tersebut.


Tak heran bila pembegalan meningkat di musim pernikahan. Tekanan sosial dan kebutuhan dana besar membuat sebagian orang memilih jalan pintas yang keliru demi mempertahankan eksistensi sosial. 


Faktor utama yang tak kalah pentingnya adalah masalah keimanan. Masyarakat Probolinggo memang terkenal dengan mayoritas muslimnya bahkan banyak pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Namun ternyata kondisi tersebut bukan jaminan masyarakat menjauh dari kriminalitas. 


Pola Hidup Sekuler Kapitalistik


Adanya faktor pemicu di atas amat mungkin terjadi karena pola kehidupan yang dijalankan masyarakat adalah pola kehidupan yang sekuler kapitalis. Dalam kesehariannya, kebebasan menjadi unsur penting dalam perilaku masyarakat, yang penting sesuai keinginan, penting bisa dibeli, penting bisa dipilih, dan hal lainnya yang mengandung kebebasan pasti akan diupayakan. Semua itu, tanpa melihat lagi sesuai dengan pedoman hidup dalam agamanya atau tidak.


Demikian pula hal-hal yang mendatangkan manfaat, baik secara fisik maupun nonfisik juga akan diusahakan. Semua itu juga tanpa menengok lagi pada aturan hidup dalam agamanya. Pada akhirnya, banyak terjadi kriminalitas termasuk pembegalan kala masyarakat terimpit oleh kebutuhan yang mendesak, yang berhubungan dengan eksistensi sosialnya.


Hukuman yang Berlaku 


Terkait sanksi atau hukum yang diberlakukan bagi para pelaku kriminalitas, termasuk para pembegal maka kita bisa melihat hukuman atau sanksi yang diberikan merupakan hasil atau produk manusia. Hal ini terjadi karena landasan yang dipakai adalah sekuler kapitalis. Sehingga produk hukumnya pun dibuat berdasarkan asas manfaat. 


Seperti peristiwa penembakan pada pelaku kriminalitas di atas. Hal itu tidak membuat jera para pelaku. Sebab, meski menderita sakit akibat penembakan, faktanya pelaku juga diobati dan diupayakan sembuh sehingga proses persidangan bisa dilanjutkan. 


Selanjutnya saat persidangan maupun saat keputusan ditetapkan oleh hakim, maka pelaku kriminalitas yang berada di penjara justru akan merasakan kenyamanan. Mengapa tidak? Ya, karena mereka hanya sekadar makan tidur gratis. Kalau pun ada pembinaan itu tidak banyak pengaruhnya, justru para narapidana itu saling menimba ilmu dan teknik dari narapidana lainnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan adanya fasilitas yang berbeda yang disediakan sipir penjara juga kian terbongkar. 


Dengan demikian, hukuman atau sanksi yang diterima para pelaku kriminalitas sama sekali tidak memberikan pengaruh kebaikan, yang ada justru menambah beban negara dan melahirkan pelaku kriminalitas yang lebih profesional.


Islam Memberi Solusi Atas Pembegalan


Berbeda dengan penyelesaian yang diberikan dalam sudut pandang Islam. Di dalam Islam, hukuman yang diberlakukan pada para pelaku kriminalitas adalah hukuman yang memberikan efek jera bagi pelakunya dan mencegah munculnya pelaku baru. Hukuman berfungsi sebagai jawazir. Selain itu, hukuman yang dikenakan pada pelaku kriminalitas berfungsi sebagai jawabir, yakni akan menggugurkan dosa bagi pelakunya. Dengan demikian suasana kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan akan terwujud dalam masyarakat tersebut karena Islam benar-benar menutup peluang sekecil apapun terhadap tindakan kriminalitas.


Terhadap masyarakat pun Islam melalui penguasanya akan memberikan pelayanan yang sebenarnya, karena di dalam Islam penguasa atau pemimpin itu adalah raa'in atau junnah. Sebagaimana yang tertuang dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda: "kullukum raa'in, wa kullukum mas'ulun 'an ra'iyatihim" (setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpin). Jadi, merekalah penjaga kehidupan masyarakat. Merekalah yang menjadi tameng bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka pula yang akan melayani urusan umat, sehingga umat benar-benar terjamin kesejahteraan, keamanan, kesehatan, pendidikan dan yang lainnya sampai tataran individu.


Kenyataan ini bukanlah sekadar cerita dongeng semata tetapi telah terwujud selama 14 abad ketika Islam tegak tidak hanya sekadar sebagai agama tetapi Islam tegak dalam bentuk Negara Islam. Model pemerintahan secara Islam ini bahkan diterapkan di 2/3 wilayah dunia. Oleh karena itu, kita tentu ingin hidup tenang, tenteram, dan sejahtera serta meraih posisi sebagai umat yang jaya sebagaimana kejayaan umat Islam terdahulu. Untuk itu marilah kita ikut serta memperjuangkan penerapan model pemerintahan yang telah digariskan oleh Allah Swt. dan Rasulullah saw.


Wallahu alam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan