Standar Ganda Ekonomi Kapitalisme Melahirkan Ketimpangan


 

Adanya perbedaan standar ini tentu menimbulkan ketidakjelasan dan kebingungan di tengah-tengah masyarakat

OPINI

Oleh Aisyah Abdullah 

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu org, OPINI-"Bumi Pertiwi" adalah julukan yang biasa disematkan kepada negara Indonesia. Melambangkan tanah air yang subur dan melimpah sumber daya alamnya. Realitasnya saat ini, kekayaan alam yang melimpah tersebut hanya segelintir orang yang dapat menikmatinya. Sebagian besar masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan.


Merujuk kepada laporan Marco Poverty Outlook, data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki perbedaan yang besar. Bank Dunia mencatat sebanyak 60,3 persen atau 171,8 juta jiwa masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Indonesia per September 2024 hanya sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. (Tempo.co, 04/05/2025)


Berdasarkan fakta tersebut, terdapat perbedaan standar pengukuran antara Bank Dunia dan BPS. Perbedaan standar tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa terkategori tidak miskin secara nasional tetapi masuk golongan miskin ekstrim secara universal. Perbedaan ini kemudian masih menyisakan pertanyaan. Mengapa bisa terjadi perbedaan.


Adanya perbedaan standar ini tentu menimbulkan ketidakjelasan dan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, tidak ada patokan yang jelas. Terlepas dari standar tersebut, titik poin yang harus jadi perhatian adalah masalah kemiskinan di negeri ini. Masalah kemiskinan ini masih menjadi “PR” besar yang belum diatasi oleh pemangku kebijakan.


Akar Persoalan 


Sesungguhnya kemiskinan di Indonesia tak boleh dianggap sepele. Persoalan kemiskinan ini tak cukup hanya disikapi dengan melihat angka yang mengalami penurunan ataukah cenderung mengalami kenaikan. Akan tetapi, harus diikuti dengan tata cara mengatasi persoalan mendasarnya. 


Jika kita menelusuri lebih jeli perbedaan standar kemiskinan ini, pada dasarnya bukanlah sekedar soal perhitungan statistik belaka. Akan tetapi, mencerminkan suatu persoalan besar yang sistematis dan gagal diselesaikan. Perbedaan pada kedua sisi dalam penentuan garis kemiskinan tidak dapat dinafikan oleh negara-negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalis. Mereka mengklaim negaranya masuk kategori berkembang. Padahal, mayoritas rakyatnya memang tetap berada dalam kemiskinan. Termasuk bumi pertiwi tercinta.


Oleh karena itu, penerapan sistem ekonomi kapitalis sejak awal memang menciptakan ambigu. Terutama dalam tata kelola ekonomi dan tata sosial. Ekonomi Kapitalisme berbasis ribawi memang lebih banyak bertumpuh pada sistem nonreal, seperti bursa saham dan pasar saham yang sudah pasti rawan spekulasi dan mudah berubah. 


Pada titik inilah sistem ekonomi menjadi tidak stabil. Padahal, berbicara persoalan kemiskinan dalam skema sistem ekonomi kapitalis, skema data kemiskinan acap kali dapat dimainkan. Sehingga, data dan angka dapat dikendalikan alias mudah berubah tergantung kepentingan. 


Ekonomi kapitalisme cenderung menciptakan kesenjangan karena menitikberatkan pada penimbunan modal oleh segelintir kaum elite. Para pemodal dengan kekuatan uang yang ia miliki dengan mudah mengendalikan pasar. Alhasil, sudah tentu mereka dengan muda memonopoli pasar. Dengan demikian, secara otomatis keuntungan dan pemasukan keuangan akan mengalir ke kantong-kantong mereka. 


Di sisi lain, masyarakat yang tak punya modal, secara otomatis tak punya daya untuk bersaing dengan para pemilik pemodal. Akibatnya, terciptalah kesenjangan yang menganga. Rakyat kesulitan mendapatkan pemasukan dan masih tetap berada dalam garis kemiskinan. Selain itu, rakyat sulit berkembang sementara pengusaha besar makin kaya raya.


Di samping itu, negara gagal mengatasi persoalan ketimpangan tersebut. Malah lebih berpihak kepada kepentingan para korporasi. Hal itu terlihat pada pemberian akses izin dengan sangat mudah. Sementara itu, untuk menutupi kegalalan pemerintah sering kali mengakalinya dengan memanipulasi data. Mereka mengungkap bahwa angka kemiskinan masih dalam batas kewajaran. Termasuk lebih menggunakan data BPS ketimbang menggunakan data Bank Dunia. 


Untuk menutupi hal itu, standar kemiskinan disusun dengan sangat rapi agar seolah-olah menurun. Sehingga, dengan begitu rakyat menganggap pemerintah sukses "mengurangi angka kemiskinan". Padahal, semua itu hanyalah pembohongan publik untuk menutupi kesenjangan. Bahkan digunakan untuk menarik investasi mendapatkan pinjaman luar negeri atau menjaga harga diri dihadapan pasar internasional. 


Padahal kenyataannya, rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan tetap menghadapi beban hidup yang makin berat. Meskipun pendapatan mereka sedikit meningkat, tetap saja untuk mendapatkan kebutuhan pokok masih sulit terjangkau. Sebab, harga-harga kebutuhan hidup juga mengalami kenaikan.


Demikianlah kenyataan pahit kehidupan rakyat yang hidup di bawah naungan sistem kapitalis. Negara dalam sistem ini tidak hadir sebagai penanggung jawab langsung atas kebutuhan rakyat. Sebaliknya, negara hadir sebagai pemandu pasar dan pertumbuhan ekonomi semata. Akibatnya, ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin makin menganga.


Cara Islam Menumpas Kemiskinan 


Dalam pandangan Islam, pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu adalah tanggung jawab penuh negara. Tidak diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Rasulullah bersabda, "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).


Oleh karena itu, negara bertugas untuk memastikan bahwa setiap warga negaranya mendapatkan sandang, pangan, dan papan secara layak. Adapun jika individu tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya melalui hasil kerja kerasnya sendiri, maka tanggung jawab beralih kepada keluarga terdekat, masyarakat, dan negara. 


Negara dalam sistem Islam tidak akan membiarkan satu orang pun kelaparan atau hidup di bawah garis kemiskinan. Sebab, negara memiliki sistem distribusi kekayaan yang adil bagi seluruh rakyatnya. Kekayaan alam dalam sistem ini pun seperti tambang, hutan, air, dan energi adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki individu maupun negara.

 

Sabda Rasulullah, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api (energi)." (HR. Abu Daud)


Artinya, negara tidak boleh menyerahkan sumber-sumber vital ini kepada swasta atau asing. Sebaliknya, negara harus mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Dengan demikian, seluruh kebutuhan masyarakat akan terjamin keberlangsungan hidupnya. Kebutuhan kolektif umat juga akan diberikan oleh negara secara cuma-cuma. Seperti pembiayaan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kebutuhan dasar, dan lainnya. Semuanya itu diberikan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan umat yang menjadi tanggung jawab negara.


Negara Islam pun menjadikan zakat sebagai pilar penting dalam mengatasi masalah kemiskinan. Pembagiannya pun didistribusikan langsung kepada delapan asnaf, salah satunya fakir dan miskin. Negara Islam juga memiliki pos pemasukan dari fa'i, kharaj, jizyah, dan kepemilikan umum. Semuanya dikelola oleh negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat.


Demikianlah, negara dalam sistem Islam memandang rakyat sebagai amanah yang wajib dijaga, dilindungi, dan disejahterakan. Sistem ini telah terbukti dalam sejarah kegemilangan Islam kurang lebih 13 abad (1300 tahun) memimpin dunia. Kegemilangan yang berhasil menyelesaikan persoalan kemiskinan dan menyejahterakan rakyat seperti pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Sang Khalifah mampu menghapus kemiskinan. Sampai-sampai tidak ada lagi rakyat yang berhak menerima zakat karena kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik dan merata.


Oleh sebab itu, sudah saatnya kita mencampakkan sistem batil buah dari pemikiran manusia ini. Sistem kapitalis yang tidak mampu menyejahterakan rakyat. Sudah saatnya kembali kepada sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah.

Wallahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan