Fenomena Bunuh Diri, Kegagalan Kapitalisme Atasi Kesehatan Mental
OPINI
Kesadaran untuk selalu menyandarkan hidup hanya kepada Allah Swt. semata menjadi arah pandang setiap muslim. Dengan demikian, mental kuat akan selalu menyertai dalam keadaan lapang maupun sempit.
Oleh Elfia Prihastuti, S.pd.
Praktisi Pendidikan
Muslimahkaffahmedia.eu.org_Mendung tengah menggelayut di sebagian langit ibu pertiwi. Bumi yang terkenal gemah ripah lohjinawi dan zamrut khatulistiwa, sudah selayaknya mampu memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi penduduknya. Terlebih dengan penduduk yang mayoritas muslim, mereka memiliki langkah-langkah yang kokoh dalam mengarungi kehidupan.
Namun, fakta menunjukkan betapa banyak hati yang rapuh diterpa badai masalah sehingga menghantarkan pada keputusasaan. Seperti yang terjadi pada dua bocah berusia 3 tahun dan 6 tahun ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di Pantai Sigandu, Desa Depok, Kecamatan Kandeman, Batang. Diduga kedua kakak beradik ini diajak ibunya bunuh diri. Namun, naas ternyata niat sang ibu yang ingin mengakhiri hidup harus berakhir pilu. Nyawa ibu tetap melekat di jasadnya, sedangkan kedua putrinya benar-benar tak tertolong. (detikjateng.com, 03-08-2025)
Ada pula seorang pria warga Jalan Malus, Kelurahan Petanang, Kota Lubuklinggau, setelah bertengkar hebat dengan istrinya nekat menusuk perutnya sendiri. Aksi ini dipicu oleh penolakan istrinya yang diajak pulang tetapi justru meminta cerai. Akhirnya, dilarikan ke Rumah Sakit Ar Bunda dan menjalani operasi karena mengalami luka yang Serius. (Okezone.com, 04-08-2025)
Rentetan kasus bunuh diri memang cukup heboh mengisi laman-laman media massa akhir-akhir ini. Sebelumnya di Kampus Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Makasar, seorang dosen ditemukan tergantung tubuhnya di pohon halaman kampus. Seorang mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta melompat ke Sungai Bengawan Solo. Tak kalah miris, bunuh diri juga ada yang dilakukan oleh pelajar SD.
Fenomena Bunuh Diri
Angka bunuh diri yang cukup tinggi memang tak dapat dinafikkan. Hal ini tergambar dalam data yang dihimpun oleh World Health Organization (WHO), tercatat sebanyak 720 000 jiwa di setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri. Sementara, Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas), menyatakan bahwa kasus bunuh diri mengalami peningkatan pesat, bahkan hingga mencapai 60%.
Sebanyak 887 jiwa melayang karena bunuh diri di tahun 2022. Jumlah ini terus meningkat hingga mencapai 1.288 jiwa pada tahun 2023. Pada tahun 2024 angka kasus bunuh diri pada bulan Januari-oktober berhasil menyentuh angka 1.023.
Cara yang digunakan untuk mengakhiri nyawa di Indonesia secara umum berbentuk gantung diri, minum racun, melompat dari ketinggian, dan menggunakan benda tajam. Bunuh diri juga menjadi penyumbang terbesar penyebab kematian.
Seorang ahli muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Inovasi Nasional (BRIN), Yurika Fauzia Wardhani mengungkap hasil penelitiannya, bahwa pelaku bunuh diri didominasi oleh kaum muda atau usia produktif. Biasanya karena tekanan akademik, harapan yang tak mampu dicapai, emosi, masalah keluarga, perundungan, serta kurangnya dukungan dari orang sekitar menjadi faktor penyebabnya.
Kegagalan Sistemik
Angka bunuh diri yang cukup fantastis, merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan. Sejatinya, muara dari nyawa yang melayang akibat bunuh diri adalah masalah yang menghimpit. Di sisi lain, penyanggah untuk survive dalam menghadapi masalah tidak cukup kokoh. Padahal masalah akan selalu ditemui oleh siapa saja yang hidup di dunia.
Secara psikologi mengakhiri hidup merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Pemicu yang sering ditemui dalam aktivitas bunuh diri ialah, tekanan ekonomi, perundungan, kesepian, pengangguran dan dampak media sosial. Sementara keluarga sebagai tempat bersandar sering kali rapuh sehingga tak ada lagi benteng pelindung yang mengokohkan dalam setiap datangnya badai masalah. Masyarakat di sekitar pun bersifat individualis dengan tingkat kepedulian yang tipis.
Semua itu tidak dapat dilepaskan dari arah pandang tentang kehidupan. Semua arah seolah buntu, dan krisis solusi. Sangat wajar kondisi mental manusia menjadi karut-marut. Keadaan seperti ini terbentuk dari sistem yang menafikkan Sang Pencipta. Semuanya diukur dengan menggunakan akal. Padahal, standar tersebut penuh kelemahan dan keterbatasan.
Sebenarnya ada solusi yang bersifat tidak terbatas dan pasti menyelesaikan setiap permasalahan secara tuntas. Itulah standar agama. Namun, hal ini justru dijauhkan dengan sistem sekuler. Penerapan sistem sekuler membuat manusia memandang kehidupan dari sudut duniawi semata. Oleh karena itu, keluarga yang rapuh, nihilnya solidaritas di lingkungan masyarakat, merupakan buah dari penerapan sekularisme.
Sekularisme juga membentuk para penguasa yang lalai dan abai terhadap rakyat. Apa yang dilakukan pemimpin seolah tanpa beban pertanggungjawaban. Seharusnya jaminan kesejahteraan yang menjadi hak setiap individu rakyat, diwujudkan oleh penguasa sebagai kewajibannya dalam mengemban amanah kepemimpinan. Alih-alih berupaya mewujudkan hal itu, yang ada justru makin membuat rakyat tertekan dan terhimpit. Pajak yang makin beragam, penganggguran, sulitnya lapangan pekerjaan, serta harga kebutuhan yang terus melambung, merupakan secuil di antara masalah yang bejibun. Jika negara tak kunjung menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kesetaraan ini, maka akan terus menghadapi lonjakan kasus bunuh diri.
Meski demikian pemerintah juga berupaya dalam mengatasi permasalahan bunuh diri. Seperti pencegahan dan penanganan masalah kesehatan jiwa termasuk masalah bunuh diri, yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa. Juga setiap tanggal 18 November ditetapkan sebagai Hari Korban Bunuh Diri Internasional. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait perilaku bunuh diri.
Ada pula peluncuran Gerakan Nasional Pencegahan Bunuh Diri (GNPB) di tahun 2022. Tujuannya juga sebagai pencegahan bunuh diri sekaligus memperkuat koordinasi antar lembaga terkait. Namun, berbagai upaya ini pun gagal menangani kesehatan mental masyarakat. Angka bunuh diri masih saja meningkat tajam.
Islam Menjaga Kesehatan Mental
Ideologi Islam secara individu mendidik setiap muslim menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa. Manifestasi atas hal itu akan membentuk mental pekerja keras, optimis, sabar, dan tawakal. Tidak ada kamus putus asa terlebih bunuh diri. Sebab, Islam melarang untuk melakukan aktivitas tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa' ayat 29,
ولا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْم
Artinya: "... Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."
Kesadaran untuk selalu menyandarkan hidup hanya kepada Allah Swt. semata menjadi arah pandang setiap muslim. Dengan demikian, mental kuat akan selalu menyertai dalam keadaan lapang maupun sempit.
Dalam masyarakat Islam budaya kepedulian kepada sesama sangat tinggi. Pada akhirnya masyarakat akan menjadi support system bagi kesehatan mental setiap individu masyarakat. Budaya saling menolong akan terkondisikan dengan sendirinya. Individu yang depresi akibat mengalami persoalan ekonomi tidak akan dibiarkan. Masyarakat di sekitar akan ringan tangan saling membantu dan menguatkan. Sebab begitulah Islam mengajarkan.
Masyarakat juga jauh dari budaya toxic, flexing, dan bullying. Sebab, dalam sabda Rasulullah saw. mengajarkan, bahwa seorang muslim yang baik adalah apabila yang aman dari gangguan dari lisan dan tangannya.
Di sisi lain, negara dalam Islam adalah periayah (pengurus) bagi rakyatnya baik fisik maupun mental. Negara menjamin kesejahteraan dengan terpenuhinya kebutuhan secara ekonomi. Negara juga memberi perhatian terhadap kesehatan mental melalui lingkungan kerja, dunia pendidikan, dan lingkungan keluarga. Tidak akan ditemui seorang yang gila kerja (workaholik) atau mati karena kelelahan bekerja seperti terjadi di negara-negara Barat.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar