Kemiskinan dalam Kapitalisme, Islam Wujudkan Kesejahteraan


OPINI

Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yaitu sandang, pangan, dan papan. 


Oleh Isti Khomah

Ibu Rumah Tangga


Muslimahkaffahmedia.eu.org_Kemiskinan bukan sekadar persoalan angka atau statistik. Ia adalah wajah nyata dari ketimpangan sistemik yang lahir dari sebuah aturan main yang cacat sejak akar yaitu kapitalisme. Dalam sistem ini, kesejahteraan diklaim milik bersama, tapi kenyataannya hanya segelintir yang menikmati hasilnya. Sementara mayoritas tertatih-tatih mengejar standar hidup yang ditentukan oleh pasar dan kepentingan korporat.


Kapitalisme menjanjikan kemajuan, tapi meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan. Ia membentuk dunia di mana ukuran sukses adalah akumulasi materi, bukan keadilan. Di tengah semua ini, Islam hadir bukan hanya sebagai agama, tapi sebagai sistem hidup yang sempurna, yang tidak hanya mengatur ibadah, tapi juga ekonomi, distribusi kekayaan, politik dan jaminan hidup bagi seluruh umat.


Badan Pusat Statistik (BPS) kembali menyampaikan kabar baik pada Maret 2025. Angka kemiskinan nasional dikatakan mengalami penurunan, bahkan kemiskinan ekstrem menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. 


Tapi di balik grafik yang terlihat indah itu, kenyataan di lapangan justru menunjukkan luka sosial yang kian dalam. Seperti yang dilansir dari bbc.com 25/7/2025, BPS menyebut ada kenaikan angka kemiskinan di wilayah perkotaan, meski secara keseluruhan jumlah penduduk miskin menurun. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengungkap kenaikan itu dipengaruhi oleh jumlah pengangguran dan kenaikan harga pangan.


Di sejumlah wilayah, laporan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bermunculan. Lapangan kerja semakin menyempit, harga kebutuhan pokok makin tidak terkendali, dan jutaan rakyat berjuang untuk sekadar bisa makan. Salah satu kunci dari permainan statistik ini terletak pada definisi kemiskinan itu sendiri. BPS mengubah garis kemiskinan nasional menjadi sekitar Rp20.305 per hari. Ini setara dengan USD 2,15, yang mengacu pada Purchasing Power Parity (PPP) 2017 sebagai standar internasional kemiskinan ekstrem.


Bayangkan, seseorang dianggap tidak miskin ekstrem jika ia bisa menghidupi diri sendiri dengan Rp20.000 per hari. Artinya, jika hari ini kamu makan tempe, nasi, dan segelas air putih lalu pulang ke kontrakan, kamu dianggap sudah keluar dari kemiskinan ekstrem. Padahal, itu bahkan belum cukup untuk ongkos transportasi, beli pulsa, bayar listrik dan sebagainya. Inilah wajah asli dari sistem yang lebih mementingkan citra statistik ketimbang penderitaan riil rakyat.


Dalam sistem kapitalis, progres ekonomi diukur dengan angka, bukan dengan keadilan dan kenyataan di lapangan. Selama grafik naik, laporan terlihat positif, dan investor tetap nyaman, maka realitas rakyat kecil bisa diabaikan. Ini yang disebut kemajuan semu, di mana angka kemiskinan tampak menurun karena standar garis kemiskinannya diturunkan. Yang diurus bukan lagi rakyat, tapi data. Yang dijaga bukan keseimbangan sosial, tapi kenyamanan investasi. 


Kapitalisme tidak hanya membiarkan ketimpangan, ia menciptakan dan memelihara jurang sosial. Kekayaan terus menumpuk pada segelintir elite, sementara mayoritas rakyat menghadapi pendidikan yang makin mahal, lapangan kerja yang sempit, layanan kesehatan yang eksklusif dan hanya bisa diakses orang kaya. 


Ketika angka pertumbuhan ekonomi naik, pemerintah tersenyum puas. Padahal, di saat yang sama, harga kebutuhan pokok tetap melonjak, lapangan kerja tidak kunjung tersedia, dan daya beli masyarakat terus tergerus. 


Negara pun seolah lupa, bahwa di balik grafik dan laporan ekonomi, ada jutaan nyawa yang sedang berjuang bertahan hidup. Kesejahteraan rakyat hari ini seolah direduksi menjadi urusan persentase kemiskinan, angka inflasi, dan indeks pembangunan. Ketika angka-angka itu berhasil dipoles turun, maka klaim keberhasilan diumumkan ke publik, meski realitasnya jauh dari sejahtera.


Berbagai solusi yang diajukan tidak pernah menjangkau akar permasalahan yang sesungguhnya. Program bantuan sosial (bansos), pelatihan kerja, atau insentif usaha kecil hanya tambalan sementara. Mereka seolah melupakan bahwa sumber utama kesenjangan sosial adalah sistem ekonomi itu sendiri yakni kapitalisme.


Segala hal termasuk kebutuhan dasar manusia diubah menjadi komoditas yang hanya bisa diakses bila seseorang memiliki uang. Dalam sistem ini, pendidikan menjadi bisnis, kesehatan jadi ladang profit, pangan dan energi dikendalikan korporasi. Akibatnya, jurang kaya-miskin terus melebar. 


Kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite, sementara mayoritas rakyat dibiarkan berjuang dalam sistem yang tidak berpihak. Kemiskinan bukan terjadi karena malas, tapi karena akses terhadap sumber daya dipagari oleh mekanisme pasar.


Berbeda dari kapitalisme, Islam memandang kemiskinan sebagai problem struktural yang harus ditangani oleh negara. Negara tidak sekadar hadir sebagai pengelola statistik atau fasilitator pasar bebas seperti dalam sistem kapitalis. Negara berperan penuh dan aktif sebagai pelindung dan penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Ini bukan sekadar janji, tapi menjadi prinsip dasar dalam struktur pemerintahan Islam. 


Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yaitu sandang, pangan, dan papan. Tidak ada BPJS yang mempersulit. Tidak ada rakyat yang dibiarkan lapar karena tidak layak dibantu secara administratif. Pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas sebagai hak dasar warga. 


Kepemilikan umum seperti tambang, air, dan energi dikelola negara untuk kepentingan umat, tidak boleh dimiliki oleh individu atau korporasi, baik lokal maupun asing. Dengan pengelolaan yang baik, rakyat akan merasakan manfaat langsung dari kekayaan alam seperti tarif listrik murah, bahan bakar murah, pembangunan infrastruktur yang merata, dan subsidi kebutuhan pokok yang berkelanjutan.


Berbeda dari sistem saat ini yang mengukur kemiskinan dengan angka buatan lembaga internasional seperti PPP (Purchasing Power Parity), sistem Khilafah menggunakan tolak ukur syar’i dan riil, apakah setiap individu telah terpenuhi kebutuhan pokoknya dengan layak dan bermartabat atau belum. Islam hadir bukan sekadar beribadah saja, tapi hadir dengan solusi menyeluruh yang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya secara nyata.


Khilafah bukan sistem utopis yang menggantungkan hidup rakyat pada retorika atau statistik. Ia adalah sistem yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai kewajiban syar’i negara, bukan sekadar target pembangunan ekonomi. Dalam Khilafah, tidak ada rakyat yang ditinggalkan karena tidak produktif secara ekonomi. Tidak ada yang terpinggirkan karena dianggap tidak efisien oleh logika pasar. Negara hadir sebagai pengurus dan pelindung umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw. 

"Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)


Wallahua'lam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan