Lindungi Anak dari Ancaman Digital



 Ketika agama dianggap “urusan pribadi”, maka tak ada pegangan saat anak sendirian menghadapi dunia digital. 

OPINI

Oleh Iry Susanti., SKm

Aktivis Muslimah


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Pada era digital yang serba cepat ini, anak-anak tumbuh di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa. Internet menawarkan dunia tanpa batas, sumber informasi, hiburan, dan interaksi sosial. Namun, di balik segala manfaat itu, tersimpan ancaman serius yang kerap kali tidak disadari oleh orang tua maupun masyarakat luas.


Cyberbullying menjadi salah satu bentuk kekerasan baru yang tak kasat mata. Berbeda dengan perundungan fisik, cyberbullying menyelinap diam-diam ke dalam ruang pribadi anak lewat gawai mereka. Sadar atau tidak beragam komentar jahat di media sosial, pesan menghina di grup chat, eksploitasi saat online atau penyebaran rumor secara daring dapat melukai mental hingga trauma pada anak yang membekas lama. Muncul banyak penyakit mental seperti kecemasan, depresi, dan perasaan terisolasi.


Tak kalah mengerikan, eksploitasi seksual secara online kini semakin marak. Para predator digital berkamuflase menjadi teman sebaya, membangun kepercayaan, lalu memanipulasi anak untuk mengirim foto atau video pribadi. Banyak kasus yang berujung pada pemerasan atau bahkan pertemuan fisik yang berbahaya.


Selain itu, phishing atau pencurian data pribadi juga mengincar anak-anak yang belum memahami risiko membagikan informasi di dunia maya. Sekilas tampak seperti game atau kuis seru, tetapi ternyata hanya kedok untuk mendapatkan akses informasi sensitif mereka.


Ibarat gunung es, banyak anak terpapar konten tidak pantas seperti ujaran kebencian, kekerasan, bahkan pornografi. Ini bisa terjadi karena minimnya pengawasan, kurangnya filter, atau karena rasa ingin tahu mereka yang alami tapi tidak diarahkan dengan bijak.


Ironisnya, ancaman ini tumbuh subur karena dua akar masalah besar, yaitu rendahnya literasi digital, dan kemahnya iman akibat sistem pendidikan sekuler.

1. Literasi Digital Bukan Sekadar Bisa Main HP

Banyak orang tua dan guru berpikir bahwa anak-anak "pintar teknologi" karena bisa main TikTok, YouTube, atau game online. Padahal, literasi digital bukan soal kecakapan teknis, tapi soal kesadaran etis dan pemahaman risiko. Anak-anak perlu tahu mana konten yang merusak, mana yang layak diklik, bagaimana menjaga data pribadi, dan bagaimana menggunakan media untuk kebaikan.


Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Banyak anak menjadi korban penipuan digital, konsumsi konten kekerasan, dan candu media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran tentang moral dan tanggung jawab digital masih sangat minim.


2. Pendidikan Sekuler Tak Membangun Akhlak

Di sinilah masalah yang lebih dalam, di mana sistem pendidikan kita dirancang berdasarkan paradigma sekuler, yaitu memisahkan ilmu dengan iman. Anak-anak diajari matematika, sains, dan teknologi, tetapi tidak dibekali iman dan takwa sebagai pondasi berpikir dan bertindak.


Maka jangan heran jika anak pintar secara akademik, tapi lemah dalam menghadapi godaan dunia maya. Mereka cerdas secara kognitif, tapi kosong secara spiritual. Mereka tahu cara main internet, tapi tak punya filter iman untuk membedakan benar dan salah.


Ketika agama dianggap “urusan pribadi”, maka tak ada pegangan saat anak sendirian menghadapi dunia digital. Jangankan menolak konten haram, mereka bahkan tidak lagi tahu mana yang halal dan mana yang haram.


Pendidikan Berbasis Aqidah dan Peran Keluarga


Sudah saatnya kita menyadari bahwa internet bukan musuh, tapi harus disikapi dengan kekuatan iman dan ilmu. Solusinya bukan hanya pengawasan, tapi penanaman iman sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah. Fungsi pendidikan adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa, tidak sekadar mesin penghafal kurikulum, apalagi mesin penghantar cuan


Keluarga pun tak bisa lagi lepas tangan. Keluarga, utamanya orang tua harus menjalankan tupoksinya sebagai pelindung, madrasah ula, sekaligus teladan dalam menggunakan teknologi terbaru. Jangan hanya sibuk menuntut anak saleh, sementara layar di rumah dipenuhi tontonan duniawi tanpa kendali.


Peran Negara


Islam tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat. Dalam sistem Islam, pengembangan teknologi digital bukan hanya soal kemajuan, tapi juga soal tanggung jawab syar’i. Islam memberi arah, bahwa teknologi harus digunakan untuk menjaga kehormatan manusia, menyebarkan ilmu, dan membangun peradaban yang berlandaskan akidah Islam. Allah Swt. berfirman:


وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ۝٧٧

Artinya: “Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”


Maka negara dalam Islam akan melakukan kebijakan sebagai berikut:

1. Menyusun regulasi tegas yang melarang dan menutup akses terhadap konten haram seperti pornografi, perjudian, dan pemikiran menyimpang.

2. Mengembangkan teknologi digital sendiri, dengan SDM yang berkualitas dan ideologi Islam yang menjadi landasan setiap inovasi.

3. Membangun infrastruktur komunikasi dan informasi yang mandiri dari dominasi negara kafir penjajah.

Di bawah Khilafah, dunia siber bukan tempat liar tanpa batas, tapi menjadi ruang aman, syar’i, dan bermanfaat, baik untuk anak-anak, keluarga, maupun masyarakat luas.


Kedaulatan Digital Butuh Kedaulatan Politik


Seruan untuk literasi digital atau parenting digital memang penting, tapi tidak cukup. Selama negara masih tunduk pada sistem kapitalis global, maka ruang siber akan tetap dikuasai oleh segelintir korporasi asing. Maka, kedaulatan digital tak akan pernah terwujud tanpa kedaulatan politik.

Di sinilah pentingnya menegakkan Khilafah Islamiyah, sistem pemerintahan yang menjadikan syariat sebagai sumber hukum, termasuk dalam mengatur informasi dan teknologi. Sebab hanya dengan sistem ini, negara benar-benar akan menjalankan perannya sebagai penjaga umat—bukan hanya dalam dunia nyata, tapi juga dalam dunia digital.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan