Pemblokiran Rekening: Cermin Wajah Buram Kapitalisme Sekuler

 


Pemblokiran rekening warga biasa bisa dilakukan sepihak tanpa proses pengadilan, hanya karena alasan administratif.


OPINI

Oleh Kokom Kodariyah

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI -Pemblokiran rekening warga oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tanpa proses hukum menuai kritik tajam. Anggota DPR Melchias Marcus Mekeng menyebut tindakan ini melanggar hak pribadi dan tidak berdasar hukum yang sah. (Republika.co.id, 31/7/2025)


Sementara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti lemahnya perlindungan konsumen dan menuntut transparansi dari negara. YLKI meminta PPATK untuk lebih berhati-hati dan selektif saat memblokir rekening konsumen. YLKI menyarankan agar PPATK mengirimkan pemberitahuan terlebih dahulu kepada nasabah sebelum melakukan pemblokiran. Hal ini bertujuan agar nasabah memiliki waktu untuk mencari informasi, melakukan langkah-langkah yang diperlukan, atau memberikan bantahan jika rekening mereka tidak terlibat dalam tindak pidana, terutama judi online. (Kompas.com, 31/7/2025)


Wajah Buruk Sistem Kapitalisme 


 Pertanyaannya, mengapa negara bisa begitu mudah menyentuh hak rakyat? Fenomena ini bukan hanya urusan kebijakan teknis, tapi cerminan nyata dari bagaimana sistem yang berlaku membentuk sikap negara terhadap rakyatnya. Di balik kebijakan tersebut menunjukkan bahwa sistem Kapitalisme sekuler menjadikan negara bukan sebagai pelayan rakyat, tetapi sebagai alat kontrol yang tunduk pada kepentingan elit—bukan pada keadilan.


Kapitalisme mengatur bahwa kepemilikan bisa dibatasi oleh negara jika dianggap bermasalah bagi stabilitas ekonomi atau keamanan. Namun, dalam praktiknya, batasan ini sering kabur dan bisa digunakan untuk mengambil alih atau mengontrol aset pribadi, meskipun belum terbukti terjadi pelanggaran hukum. Negara tidak lagi berposisi sebagai pelindung kepemilikan, melainkan sebagai penjaga sistem, di mana rakyat bisa menjadi korban sewaktu-waktu.


Dalam kasus ini, rekening yang dianggap tidak aktif dibekukan dengan asumsi bisa disalahgunakan. Namun tanpa proses hukum, tanpa pembuktian kesalahan, dan tanpa mekanisme pembelaan, langkah seperti ini justru menunjukkan kekuasaan negara yang terlalu besar atas ruang privat warga. Tindakan ini melanggar prinsip universal keadilan bahwa seseorang tidak dapat dihukum sebelum terbukti bersalah.


Dalam sistem seperti ini, hukum berubah menjadi alat kepentingan. Ia ibarat pisau yang tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Pemblokiran rekening warga biasa bisa dilakukan sepihak tanpa proses pengadilan, hanya karena alasan administratif. Sementara para pemilik kekuasaan dan kekayaan justru bebas menyiasati hukum dengan celah, koneksi, atau bahkan suap. Keadilan akhirnya menjadi ilusi dalam sistem yang membiarkan hukum dibeli, dipelintir, bahkan dipalsukan.


Islam Hadirkan Solusi 


Islam menawarkan pandangan dan solusi yang khas. Kepemilikan dalam Islam merupakan hak syar’i yang dijamin secara mutlak. Tidak boleh ada satu pun institusi yang mencabut hak itu tanpa alasan syar’i. Islam tidak mengenal asas negara di atas segalanya yang memberi kuasa penuh kepada aparat untuk mengintervensi harta rakyat. Bahkan, negara dalam Islam adalah raa'in (pengurus umat), yang bertanggung jawab menjaga harta mereka, bukan mengambil atau mengontrolnya tanpa dasar hukum. Rasulullah Saw.bersabda:

“Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)


Negara tidak akan merampas harta hanya karena tampak mencurigakan. Sebaliknya, ia menjaga sirkulasi harta agar tidak terpusat di tangan elite. Dalam sistem Islam, harta tidak hanya dijaga, tetapi juga diarahkan agar memberi manfaat kepada umat secara luas. Bandingkan dengan sistem hari ini, negara seringkali bertindak berdasarkan persepsi risiko, bukan fakta hukum. Bahkan, kebijakan yang menyentuh harta rakyat sering tidak melalui mekanisme legislatif terbuka, melainkan cukup dengan surat edaran lembaga. Dalam kerangka Kapitalisme, rakyat tidak dilihat sebagai pemilik hak, melainkan bagian dari sistem ekonomi yang dapat dikendalikan demi kepentingan makro.


Islam pun  menempatkan kekuasaan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan takwa penuh kesadaran (kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah). Pemimpin tidak bebas mengatur urusan rakyat menurut kehendaknya, melainkan harus terikat pada hukum syara.  Inilah yang membuat sistem Islam tidak hanya adil secara teori, tetapi juga membangun kepercayaan antara penguasa dan rakyatnya.


Dengan demikian, sistem Islam menempatkan hak milik tidak sekadar diakui, tetapi dijaga dari kesewenang-wenangan. Tak ada istilah rekening terlalu lama diam, sebagai alasan pembekuan. Karena Islam memberikan jaminan atas kepemilikan harta selama tidak melanggar hukum syara’.


Pertanyaannya, jika hari ini rekening dapat dibekukan secara sepihak, apakah ada jaminan bahwa hari besok, tanah, aset, bahkan akses sosial lainnya tidak diperlakukan sama?. Kita harus sadar, bahwa selama sistem Kapitalisme sekuler ini terus dipertahankan, potensi kezaliman akan selalu muncul. Kita bukan hanya butuh perubahan kebijakan, tapi perubahan sistemik. Perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Karena keadilan bukan hasil dari niat baik segelintir pejabat, tapi dari sistem yang menundukkan kekuasaan kepada hukum Allah Swt. Selama negara tunduk pada manusia, kezaliman akan terus mengintai. Tetapi jika negara tunduk pada Allah, maka setiap nyawa dan harta akan dijaga.

Wallahualam bissawab 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan