Standar Kemiskinan Kapitalisme Menyesatkan, Islam Hadirkan Kesejahteraan Hakiki
OPINI
Salah satu indikator kemandirian dan kesejahteraan suatu negara adalah kemandirian ekonomi baik dari utang luar negeri maupun dari impor.
Oleh Rati Suharjo
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org_Ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19. Banyak perusahaan dari berbagai skala, besar hingga kecil, terpaksa gulung tikar. Akibatnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindari dan meluas ke berbagai sektor industri.
Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terus berlangsung di berbagai daerah, termasuk Banten, Tangerang, Cikarang, dan Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa krisis ketenagakerjaan masih berlangsung, dan para pekerja menjadi kelompok yang paling merasakan dampaknya secara langsung.
Menghadapi kondisi ini, sebagian korban PHK memilih kembali ke kampung halaman, sedangkan yang lain berjuang bertahan di kota dengan membuka usaha kecil-kecilan. Mereka mencoba peruntungan di sektor kuliner, jasa, dan lainnya. Namun, lambatnya pertumbuhan ekonomi serta terbatasnya peluang kerja memaksa mereka terus memutar otak demi menyambung hidup.
Di tengah perjuangan tersebut, muncul ironi lain: harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Bagi mereka yang tak memiliki penghasilan tetap, kondisi ini menuntut penghematan ekstrem, bahkan hingga mengorbankan kebutuhan gizi. Makanan sederhana seperti nasi dengan kerupuk, sambal, atau sayur menjadi menu harian, jauh dari standar gizi yang layak.
Realitas suram ini selaras dengan data resmi. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Hartono, menyatakan bahwa kenaikan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan disebabkan oleh meningkatnya jumlah pengangguran, khususnya di antara laki-laki yang berada pada usia produktif.
Namun, persoalan utamanya bukan terletak pada data semata, melainkan pada standar garis kemiskinan yang diterapkan. Per Maret 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan ambang batas kemiskinan sebesar Rp609.160 per kapita setiap bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari. Dengan demikian, seseorang baru dikategorikan miskin apabila pengeluarannya berada di bawah angka tersebut.
Standar ini menuai kritik. Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, menilai bahwa angka tersebut sangat tidak realistis. Secara statistik, angka kemiskinan memang tampak menurun, namun ini tidak mencerminkan realitas keseharian masyarakat.
Jika tolok ukurnya adalah pendapatan kurang dari Rp20.000 per hari, maka jelas standar ini sangat jauh dari kebutuhan hidup layak. Kebutuhan dasar masyarakat saat ini tidak hanya mencakup makanan, tetapi juga transportasi, tempat tinggal, pulsa, listrik, layanan kesehatan, hingga pendidikan anak.
Lebih ironis lagi, dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang ada, penghasilan pekerja pun hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan pas-pasan untuk keluarga kecil. Beginilah potret kesejahteraan dalam sistem kapitalisme, menilai kehidupan rakyat sebatas angka statistik, bukan kenyataan riil di lapangan.
Kondisi tersebut menggambarkan penderitaan yang makin dalam. Ketimpangan antara peningkatan harga kebutuhan pokok dengan pendapatan yang tidak mengalami kenaikan signifikan telah mengakibatkan penurunan drastis daya beli masyarakat. Banyak keluarga harus berhemat dalam segala hal, termasuk dalam pemenuhan gizi anak dan biaya pendidikan. Sementara itu, pemerintah terus menyampaikan klaim adanya penurunan angka kemiskinan berdasarkan data yang dinilai manipulatif dan berpotensi menyesatkan.
Fenomena ini menegaskan kegagalan sistem kapitalis dalam menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sistem ini lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi berbasis pasar, daripada kesejahteraan riil rakyat yang merata.
Dari sini, kita patut bertanya, apakah kapitalisme mampu menjamin kesejahteraan rakyat? Jawabannya jelas, tidak.
Sejak demokrasi kapitalisme diterapkan di negeri ini, dari era Soekarno hingga para pemimpin saat ini, rakyat justru makin terpuruk. Sistem ini menjanjikan kesejahteraan lewat pembangunan dan liberalisasi ekonomi, tetapi yang terjadi justru makin lebarnya jurang kesenjangan sosial, kemiskinan struktural yang mengakar, serta ketergantungan terhadap kekuatan asing yang tak kunjung hilang.
Salah satu indikator kemandirian dan kesejahteraan suatu negara adalah kemandirian ekonomi baik dari utang luar negeri maupun dari impor. Sayangnya, Indonesia justru makin terjebak dalam ketergantungan tersebut. Pemerintahan silih berganti terus mengandalkan utang untuk membiayai pembangunan, dengan nilai yang terus meningkat hingga mencapai ribuan triliun rupiah. Hal ini memperlihatkan ketidakmandirian fiskal dan ketundukan terhadap tekanan lembaga keuangan global.
Tak hanya itu, lemahnya sektor produksi domestik makin memperburuk situasi. Ironisnya, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dan maritim justru masih bergantung pada impor beras, gandum, jagung, kedelai, dan lainnya. Di sisi industri, ketergantungan pada barang-barang impor juga terus meningkat, bahkan untuk kebutuhan pokok dan teknologi sederhana.
Semua ini mencerminkan bahwa negara tidak hadir sebagai pelindung rakyat, melainkan sekadar fasilitator bagi kepentingan para pemodal. Kebijakan ekonomi dikendalikan oleh elite-elite politik-ekonomi yang bertindak layaknya korporasi, mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan penderitaan rakyat.
Tidak mengherankan bila demokrasi yang berjalan setiap lima tahun hanya menjadi ajang rotasi elit, bukan mekanisme untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Sementara rakyat harus terus berjuang menghadapi kemiskinan, pengangguran, serta layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang makin sulit dijangkau.
Kenyataan ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme telah gagal total dalam mewujudkan kesejahteraan hakiki. Sistem ini hanya melanggengkan kekuasaan oligarki dan menambah beban hidup rakyat. Maka, sudah saatnya kita mengevaluasi sistem ini secara menyeluruh dan mencari alternatif yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Islam hadir sebagai solusi yang membawa kesejahteraan hakiki. Bukan hanya melalui ajaran moral, tetapi juga dengan sistem ekonomi yang komprehensif dalam bingkai Daulah Islamiah.
Dalam sistem Islam, sumber daya alam adalah milik umat. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada investor asing atau korporasi swasta. Sebaliknya, negara wajib mengelolanya secara langsung dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Rasulullah saw. bersabda:
"Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Selain itu, peran negara dalam Islam bukan sekadar regulator, tetapi pelayan umat. Rasulullah saw. juga bersabda:
"Imam adalah laksana penggembala, dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya." (H.R Al Bukhari dan Imam Ahmad)
Hadis ini menunjukkan bahwa negara dalam Islam bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan.
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan menyeluruh bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar