Di Balik Predikat ‘Juara HIV’, Bekasi Menggugat Liberalisme yang Menyuburkan Penyakit Sosial
Kasus HIV yang melonjak di Bekasi tidak bisa hanya dilihat dari sisi medis semata. Ia merupakan gejala dari kerusakan sosial yang lebih dalam.
OPINI
Oleh Anita Humayroh
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Bekasi kembali mencatat rekor yang ironis dengan kasus HIV tertinggi di Jawa Barat. Total kumulatif mencapai 3.600 kasus. Pemkot Bekasi kini mengintensifkan upaya pencegahan dengan berbagai kegiatan edukasi dan promosi gaya hidup sehat. Tri Adhianto, Wali Kota Bekasi, ikut menyuarakan keprihatinannya dan mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS. (rakyatbekasi.com, 15/09/2025)
Predikat ini jelas bukan prestasi, melainkan potret buram dari kerusakan sosial yang kian merajalela. Di balik gemerlap kota urban dan modernisasi, tersimpan penyakit yang menggerogoti sendi kehidupan masyarakat. Lonjakan kasus HIV ini tidak bisa dilepaskan dari pola hidup yang terbentuk dalam sistem liberal, di mana kebebasan dijunjung tanpa batas, sementara kontrol moral dan sosial kian terpinggirkan.
Seks bebas, pergaulan liar, hingga narkoba menemukan ruang subur dalam kebebasan semu tersebut. Akibatnya, penyakit sosial pun tumbuh tak terkendali. Maka, seolah Bekasi hari ini sedang menggugat sistem liberal yang selama ini diagung-agungkan. Benarkah kebebasan yang dilegalkan itu membawa kebaikan, atau justru menjerumuskan masyarakat pada jurang kehancuran?
Kasus HIV yang melonjak di Bekasi tidak bisa hanya dilihat dari sisi medis semata. Ia merupakan gejala dari kerusakan sosial yang lebih dalam. Sistem liberal memberi ruang luas pada kebebasan individu tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat. Prinsip “bebas asalkan suka sama suka” telah melahirkan pola pergaulan yang permisif. Seks bebas, prostitusi terselubung, hingga penyalahgunaan narkoba bukan lagi hal tabu, tetapi dianggap bagian dari hak asasi manusia. Akibatnya, penyebaran penyakit menular seperti HIV/AIDS semakin sulit dikendalikan, karena akar masalahnya justru dilestarikan oleh sistem yang membiarkan kebebasan tanpa batas.
Kasus HIV di Bekasi juga menyingkap kelemahan negara dalam menjalankan perannya. Negara seolah hanya menjadi penonton, sibuk dengan program pencegahan teknis semacam penyediaan kondom, edukasi kesehatan, atau distribusi obat, tanpa pernah serius menata akar masalahnya. Tidak ada aturan tegas apalagi hukuman yang bisa menjerat para pelaku seks bebas, padahal praktik inilah yang paling besar menyumbang penyebaran HIV.
Hukum yang ada pun terkesan lemah dan tumpul, hanya menyentuh kasus prostitusi tertentu yang viral, sementara praktik seks bebas di masyarakat luas dibiarkan tanpa sanksi. Liberalisme yang dijadikan dasar justru melahirkan pandangan bahwa hubungan di luar nikah adalah urusan pribadi, sehingga negara tidak berhak ikut campur. Akibatnya, pola pergaulan masyarakat dibiarkan lepas kendali, bahkan semakin permisif, karena tidak ada regulasi yang mampu menimbulkan efek jera. Inilah buah busuk hasil diterapkannya aturan yang menjadikan manusia sebagai pengendalinya. Takkan pernah ada keselamatan dan keberkahan yang menyertainya.
Allah SWT berfirman di dalam Al Qur'an yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). (TQS. An-Nisa[4]: 59)
Disinilah letak keberkahan yang akan didapat oleh seluruh makhluk hidup yang menghirup udara dalam tubuh Daulah. Keselamatan akan senantiasa menyertai langkah masyarakat yang bernafas didalamnya. Kehidupan mereka diselimuti rahmat.
Sejarah pemerintahan Islam menunjukkan bahwa negara tidak pernah membiarkan kebebasan pergaulan merusak masyarakat. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, hudud ditegakkan terhadap pelaku zina yang terbukti, tanpa pandang bulu meskipun pelakunya dari kalangan terhormat. Umar menegaskan, hukum Allah harus ditegakkan demi menjaga kesucian masyarakat.
Begitu pula pada masa Khalifah Al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah, ketika ada kelompok yang terang-terangan mempropagandakan gaya hidup menyimpang, negara segera turun tangan dan menindaknya agar tidak menyebar dan merusak generasi. Fakta sejarah ini menegaskan bahwa Islam tidak menoleransi pergaulan bebas, melainkan menata masyarakat dengan aturan yang jelas serta hukuman yang tegas demi mencegah kerusakan.
Pada akhirnya, predikat “Juara HIV” yang disandang Bekasi bukan sekadar persoalan kesehatan, melainkan bukti runtuhnya sistem liberal yang gagal menjaga martabat manusia. Selama kebebasan dijadikan asas, selama hukum membiarkan seks bebas tanpa jeratan, dan selama negara hanya hadir sebagai penonton, maka penyakit sosial ini akan terus menjalar. Solusi tambal sulam tidak akan pernah menyentuh akar persoalan.
Satu-satunya jalan adalah kembali pada sistem Islam yang paripurna—sebuah aturan hidup yang tidak hanya menjaga manusia dari sisi fisik, tetapi juga melindungi akidah, moral, dan perilaku sosial. Islam dengan tegas mengharamkan seks bebas, menetapkan sanksi yang memberikan efek jera, sekaligus menanamkan kesadaran spiritual agar manusia tunduk pada aturan Sang Pencipta. Hanya dengan sistem yang menyeluruh inilah manusia benar-benar terjaga, generasi terlindungi, dan masyarakat terbebas dari penyakit sosial yang menghancurkan.
Wallahu alam bissawaab.

Komentar
Posting Komentar