Ironi Generasi Muda: Ketangguhan Gaza vs Duck Syndrome
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Pegiat Literasi
“Darah muda darahnya para remaja, selalu merasa gagah dan tak pernah mau mengalah, masa muda masa yang berapi-api…”
Muslimahkaffahmedia.eu.org_Penggalan lirik legendaris Rhoma Irama ini, menggambarkan jiwa muda yang penuh energi, berani menantang, dan tak kenal rasa takut. Sejak dahulu, pemuda kerap dipandang sebagai motor penggerak sejarah karena di dada mereka tersimpan api perjuangan yang siap menyala.
Semangat itulah yang tampak pada generasi muda Gaza hari ini. Di tengah dentuman bom, blokade yang mencekik, dan ancaman kematian yang mengintai setiap detik, mereka tetap tegak mempertahankan tanah air. Anak-anak, pemuda, orang tua, hingga lansia bersatu mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan.
Namun, ironisnya, di negara-negara lain termasuk Indonesia muncul fenomena Duck Syndrome. Istilah ini merujuk pada kondisi seseorang yang tampak tenang, bahagia, dan baik-baik saja di permukaan, tetapi sesungguhnya menyimpan tekanan mental, stres, dan kerapuhan batin.
Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah penilaian keberhasilan seseorang yang lebih banyak diukur dari prestasi dan pencapaian materi. Selain itu, pengaruh media sosial yang menampilkan kehidupan “sempurna” membuat banyak orang merasa harus menyamai standar tersebut. Tekanan ini diperparah oleh tuntutan akademik maupun pekerjaan yang tinggi.Target yang ketat, jadwal padat, serta ekspektasi dari diri sendiri maupun lingkungan membuat seseorang merasa wajib tampil sempurna dan berprestasi.
Akibatnya, banyak orang terutama remaja dan mahasiswa mengalami stres, kecemasan, dan kelelahan emosional yang berpotensi mengganggu kesehatan mental mereka.
Anisa Yuliandri, psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM, menjelaskan bahwa istilah Duck Syndrome menggambarkan mahasiswa yang tampak tenang di luar, tetapi sesungguhnya berjuang keras di balik layar. Fenomena yang awalnya digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford ini kini juga banyak ditemukan di kampus-kampus Indonesia. Mahasiswa merasa tertekan oleh ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun lingkungan, untuk meraih prestasi akademik, aktif berorganisasi, mengikuti magang, hingga membangun citra di media sosial. Banyak dari mereka mengambil semua kesempatan agar tidak dianggap malas atau tidak ambisius, meski merasa kewalahan dan kesulitan mengelola tekanan tersebut (femugm.ac.id, 25/8/2025).
Berbeda dengan itu, generasi Gaza tumbuh di tengah “neraka dunia”. Sejak kecil, mereka dipaksa menanggalkan masa kanak-kanak. Tawa mereka digantikan jeritan, permainan diganti sirene peringatan, dan mimpi indah dirampas oleh rudal yang dijatuhkan di hadapan mereka. Namun, penderitaan itu melahirkan keberanian, keteguhan, dan kesadaran bahwa dunia adalah kehidupan yang fana, sedangkan kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang abadi.
Sementara itu, sebagian generasi muda di negeri-negeri lain justru hidup dalam ilusi modernitas. Duck Syndrome melahirkan anak-anak muda yang tampak percaya diri dan berprestasi, tetapi di balik layar mereka kesulitan menghadapi tekanan akademik, tuntutan sosial, pencitraan di media sosial, dan kegelisahan batin.
Padahal, pemuda adalah investasi masa depan bangsa. Mereka adalah aset negara yang harus dibina dengan pendidikan dan pembinaan yang tepat. Membentuk generasi muda yang berkarakter, berilmu, dan berdaya saing merupakan kunci menuju bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
Sayangnya, sistem kapitalis sekularis justru menjadi akar masalah. Sistem ini menanamkan standar hidup semu. Kesuksesan diukur dengan materi, popularitas, dan citra diri. Anak muda diarahkan untuk mengejar ijazah, karier, gaya hidup, dan validasi sosial. Namun, realitasnya, pengangguran, PHK, dan stres kronis justru merajalela. Akibatnya, banyak generasi muda yang depresi, kehilangan jati diri, bahkan memilih mengakhiri hidupnya.
Islam hadir sebagai solusi dari berbagai problematika kehidupan, termasuk menjauhkan generasi dari Duck Syndrome. Ketika Islam dijadikan pedoman hidup, pendidikan Islam tidak hanya mengasah kecerdasan intelektual (aqliyah), tetapi juga membina spiritualitas (ruhiyah) dan akhlak mulia. Akidah Islam menjadi pedoman hidup umat muslim, sementara standar perbuatannya adalah hukum syarak (halal, haram, mubah, makruh, dan sunah). Dengan menjadikan akidah Islam sebagai landasan, seorang muslim akan lebih kuat menghadapi tekanan hidup, sebab dilandasi keikhlasan, kesabaran, rasa syukur, dan tawakal.
Pendidikan Islam juga menumbuhkan kesadaran ukhuwah Islamiyah, bahwa penderitaan umat Islam di Palestina adalah penderitaan kita juga. Dari kesadaran itu tumbuh empati, kepedulian, dan kesiapan untuk menolong saudara seiman, tidak hanya dengan doa, tetapi juga melalui perjuangan nyata.
Lebih jauh, Islam memberikan solusi politik untuk mengakhiri penjajahan di Palestina. Negeri para nabi itu membutuhkan kekuatan umat yang terorganisir, dengan kepemimpinan yang mampu menggerakkan seluruh potensi generasi muslim, termasuk kekuatan militer, untuk menumpas penjajahan Israel.
Keteguhan generasi Gaza seharusnya menjadi cermin bagi generasi muda dunia, terutama mereka yang tenggelam dalam Duck Syndrome. Di tengah perang, mereka tetap kokoh berpegang pada iman, sementara kita yang hidup di zona nyaman justru rapuh oleh pencitraan dan ilusi kesuksesan semu.
Oleh karena itu, hanya dengan kembali menerapkan Islam secara kafah baik pada level individu, masyarakat, maupun negara generasi muda dapat bangkit dari rapuhnya Duck Syndrome. Allah Swt. telah menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 208:
“Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan".
Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Penerapan Islam tidak hanya sebatas dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga di tingkat negara. Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, akan lahir kebijakan-kebijakan yang berlandaskan wahyu, bukan sekadar akal manusia. Dari sistem inilah akan lahir generasi yang beriman, tangguh, cerdas, berani, mandiri, dan siap memperjuangkan rakyat Palestina.
Wallahualam bissawab.

Komentar
Posting Komentar