Kontroversi Kenaikan Tunjangan DPR, di Tengah Himpitan Ekonomi Rakyat
Puncak kontroversi masa muncul ketika tunjangan resmi sebesar Rp50 juta pada Surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/202.
OPINI
Oleh Siti Mukaromah
Aktivis Dakwah
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Masyarakat dan mahasiswa memenuhi Gedung DPR Jakarta melakukan aksi masa mengkritisi kebijakan gaji, dan tunjangan anggota DPR yang dinilai tak sebanding dengan kinerjanya.
Dikutip dari cnbcindonesia.com, (31/8/2025), aturan besaran gaji pokok yang diterima Ketua DPR sebesar Rp5,04, dan anggota biasa Rp4,2 juta. Adapun tunjangan tersebut terdiri dari tunjangan jabatan, komunikasi intensif, fasilitas uang sidang, asisten anggota, telepon, listrik, dan tunjangan beras. Inilah kombinasi yang membuat penerimaan anggota DPR membengkak menjadi Rp55-66 juta bulan.
Puncak kontroversi masa muncul ketika tunjangan resmi sebesar Rp50 juta pada Surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/202, mengatur bahwa setiap anggota DPR berhak atas tunjangan rumah. Selama satu periode masa jabatan negara harus mengeluarkan lonjakan anggaran sekitar Rp29 miliar, setara Rp1, 74 triliun sebanyak 580 orang.
Masyarakat menilai kebijakan ini sangat berlebihan. Argumen tunjangan rumah diperlukan agar anggota dewan bisa tinggal dekat dengan kompleks dianggap tidak relevan, mengingat dalam rapat tingkat kehadiran anggota DPR kerapkali rendah. Kritik dan protes masyarakat makin tajam karena putusan ini muncul di saat pemerintah gencar menggaungkan efesiensi penghematan anggaran negara. Negara malah menaikkan tunjangan DPR, menambah fasilitas baru di tengah beban keuangan yang sangat besar. Justru kondisi ini berbalik kontras dengan ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat.
Pada sesi penutupan sidang tahunan DPR 15 Agustus 2025, para wakil rakyat ini nampak berjoget ria viral di berbagai media sosial. Lantaran sidang telah memutuskan soal kenaikan tunjangan bulanan mereka, yang mencapai lebih dari 100 juta per bulan. Alih-alih minta maaf menerima kritikan masyarakat, justru para anggota DPR menanggapi protes masyarakat dengan kalimat yang menyakiti masyarakat. Miris, bahkan ada salah satu anggota mengatakan "tolol" kepada masyarakat yang protes untuk bubarkan DPR, dan "tunjangan tiga juta perhari dikira besar," sambil membuat konten parodi DJ Sound Horeg.
Kegagalan Sistem Sekuler Kapitalisme
Anggaran kenaikan DPR di tengah memburuknya ekonomi masyarakat membuat miris. Pemerintah telah gagal dalam menjamin kesejahteraan rakyat dengan sulitnya lapangan pekerjaan, harga-harga kebutuhan pokok yang makin naik. Rakyat juga dibebani berbagai macam pungutan pajak, dengan dalih menutup utang negara, dan defisit anggaran. Sangat aneh, malah para wakil rakyat mendapat fasilitas wah dari APBN yang utamanya berasal dari pajak rakyat.
Sejatinya apa yang terjadi merupakan konsekuensi penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang berlandaskan paham liberalisme materialisme. Sistem ini mengagung-agungkan kebebasan dan keuntungan yang tidak mengenal halal dan haram. Rentan ditunggangi berbagai kepentingan.
Pembuatan aturan yang disandarkan pada akal manusia sangat lemah dan terbatas. Sebagaimana yang kemudian disebut "penguasa dan wakil rakyat." Nihilnya prinsip halal haram dalam bernegara menjadi rebutan para pecundang politik, hingga para preman berlomba-lomba berburu kekuasaan atau menanamkan saham. Sebagaimana meja perjudian, sehingga sistem ini disebut politik berbiaya mahal.
Wajar, jika siapapun pemenangnya, mereka akan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengembalikan modal plus yang dikeluarkan melalui UU kebijakan, yang mereka keluarkan. Tak sungkan mereka merekayasa hukum dan UU untuk pengondisian. Berupaya bisa berkuasa dalam waktu yang sangat panjang, membuka lebar jalan bisnis dan keuntungan.
Wakil rakyat atau para pejabat duduk di kursi kekuasaan dalam sistem demokrasi cukup bermodal ketenaran, dan pencitraan. Korupsi dan kolusi menjadi hal yang dilazimkan dengan cara licik memanfaatkan kepolosan, dan keputusasaan rakyat tiap lima tahunan. Slogan dan jargon umpan mereka "Suara rakyat suara tuhan" dan dari rakyat oleh rakyat."
Wajar jika sistem rusak ini tampil sebagai pejabat rakus, nirempati, gemar flexing, tega memposisikan rakyat sebagai beban objek pemerasan. Negara bagi mereka tidak lebih dari perusahaan keluarga dan kelompoknya. Menjadikan hubungan mereka dengan rakyat layaknya penjual dan pembeli sebagai hubungan dagang.
Salah besar jika berpikir yang terjadi hari ini karena persoalan orang per orang. Kerapnya para pejabat zalim terpilih melahirkan kebijakan-kebijakan zalim akibat buah sistem yang meniscayakan hal demikian.
Wakil Rakyat dalam Khilafah
Berbalik dengan sistem demokrasi, konsep wakil rakyat atau Majelis Umat sungguh berbeda. Lembaga Majelis Umat bukan pembuat UU hukum sebagaimana DPR saat ini. Struktur Majelis Umat dalam Khilafah sebagai fungsi pengawasan sekaligus koreksi (muhasabah) terhadap fungsi pemerintahan. Agar hukum-hukum syariah berjalan sesuai Allah dan Rasulullah perintahkan.
Majelis Umat terlahir dari rahim rakyat dan mempresentasikan pikiran, dan perasaan umat yang bertugas atas dorongan kesadaran akan tanggung jawab melakukan amar makruf nahi mungkar. Majelis Umat fokus pada fungsi yang harus diwujudkan, bukan malah menuntut keistimewaan sebagaimana yang terjadi saat ini.
Di dalam politik sistem Islam (Khilafah) merupakan manifestasi iman yang konsekuensinya menjadikan halal dan haram sebagai satu-satunya standar perbuatan. Sekaligus metode untuk menegakkan hukum syarak yang mampu menjamin kesejahteraan hakiki bagi semua orang.
Posisi penguasa dan rakyatnya dalam Khilafah justru saling mengukuhkan untuk menjalankan fungsinya sesuai syariat Islam, dan kental dengan dimensi ruhiyah. Penguasa dalam Khilafah menjalankan fungsi sebagai pengurusan menjaga rakyat, dengan menjalankan Islam secara kafah atau keseluruhan. Sementara rakyat wajib taat dan turut menjaga pelaksanaan syariat melalui aktivitas amar makruf nahi mungkar. Baik secara langsung atau mewakilkan kepada Majelis Umat.
Segala bentuk kesewenang-wenangan akan tercegah dengan sendirinya, terlebih dalam struktur selain Majelis Umat ada lembaga lain yang disebut Mahkamah Madzalim yang bertugas mencegah munculnya kezaliman para penguasa atas rakyatnya. Mahkamah Madzalim memiliki kewenangan hingga memecat Khalifah (pemimpin Islam), jika terbukti ada berbagai perkara menghilangkan salah satu syarat yang harus ada dalam pengangkatan Khalifah.
Posisi Majelis Umat salah satu bagian dari struktur Khilafah, tetapi mereka bukan pegawai negara yang berhak meminta atau digaji negara. Mereka diberikan tunjangan dari negara sekadar agar bisa menunaikan tupoksinya dengan sebaik-baiknya. Meski anggarannya berasal dari baitulmal (kas negara), besarannya diserahkan pada Khalifah. Tetapi, mekanismenya dipastikan tidak sampai akan mempengaruhi fungsinya dalam muhasabah.
Hanya dalam sistem Islam (Khilafah) para penguasa yang peduli kepada rakyat dan berakhlak mulia. Kekuasaan bagi mereka adalah sebagai amanah untuk menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah Swt.
Para penguasa di dalam Islam tidak berambisi duniawi sebagaimana pernyataan Khalifah Umar bin Khattab ra. "Sesungguhnya aku memposisikan diriku terhadap harta Allah seperti wali anak yatim. Jika aku berkecukupan, maka aku akan menjaga diriku tidak mengambil harta itu. Jika membutuhkan, maka aku akan mengambil sekadarnya saja dengan cara yang baik. Sungguh aku telah diamanahi untuk mengurus urusan umat ini. Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku, jika berbuat salah luruskanlah aku." (Ibnu Saad, Thabiqat al-Kubra, 3/278).
Wallahualam bissawab.

Komentar
Posting Komentar