Kumpul Kebo Berujung Mutilasi, Potret Buram Demokrasi
Tren pacaran dan kumpul kebo merupakan potret buram demokrasi yang asasnya sekularisme.
OPINI
Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Ideologis
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Warga Mojokerto dihebohkan dengan ditemukannya potongan tubuh manusia di semak-semak kawasan Pacet, Mojokerto, pada Sabtu (6/9/2025). Kemudian polisi melakukan penyisiran dan menemukan potongan tubuh manusia di antaranya satu telapak kaki kiri, satu pergelangan tangan, kulit kepala berambut panjang, dan puluhan potongan daging tanpa tulang.
Dari hasil identifikasi diketahui korban seorang wanita bernama Tiara Angelina Saraswati (TAS), berusia 25 tahun, asal Lamongan Jawa Timur. Polisi berhasil meringkus pelaku, bernama Alvi Maulana, berusia 24 tahun, bekerja sebagai pengemudi ojek online dan pernah menjadi tukang jagal hewan.
Hubungan Alvi dan TAS merupakan sepasang kekasih, telah berpacaran selama 5 tahun dan tinggal bersama (kumpul kebo) di Jalan Raya Lidah Wetan, Kelurahan Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya. Di rumah kos inilah pembunuhan dilakukan dan ditemukan juga potongan tubuh yang masih disimpan dalam kamarnya. Alasan Alvi membunuh TAS karena merasa jengkel waktu pulang kerja tidak dibukakan pintu dan merasa kesal berlebihan atas tuntutan ekonomi dari korban selama ini. Ungkap Kapolres Mojokerto, AKBP Ihram Kustarto. (detikJatim.com, Senin 9/9/2025)
Pergeseran Nilai Agama
Kasus pembunuhan TAS disertai mutilasi tersebut tidak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya. Lebih dari itu, menorehkan rasa malu karena tersingkapnya aib kumpul kebo. Tentu ini menjadi sorotan publik karena bertentangan dengan agama dan nilai-nilai hukum di Indonesia.
Betapa mirisnya pergaulan sosial generasi masa kini. Data BKKBN tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata usia remaja Indonesia yang melakukan hubungan seksual (zina) berusia 15-19 tahun. Untuk persentasi wanita ada 59% dan laki-laki 74%.
Ironisnya, kawula muda justru lebih banyak memilih tinggal bersama-sama tanpa ikatan pernikahan atau kumpul kebo. Alasannya beragam, di antaranya:
Pertama, karena didasari oleh beban finansial pernikahan. Seperti biaya akad nikah, resepsi, mahar, dan lainnya. Hal ini dirasa berat sehingga belum siap secara finansial untuk menikah.
Kedua, kumpul kebo dipandang sebagai pilihan pribadi yang fleksibel dan bebas dari belenggu aturan pernikahan yang dianggap kaku.
Ketiga, adanya trauma akibat konflik perceraian orang tuanya sehingga tidak percaya pada nilai pernikahan.
Keempat, sebagai masa percobaan untuk lebih mengenal dan memahami secara mendalam pasangannya sebelum memutuskan menikah secara sah.
Kelima, rumitnya prosedur perceraian yang melibatkan mahalnya biaya perceraian dan pembagian harta.
Keenam, bagi sebagian mahasiswa, kumpul kebo adalah cara untuk menghemat biaya hidup.
Fakta di atas menunjukan bahwa pernikahan tidak lagi dianggap sakral dan bernilai ibadah. Hal ini karena telah bergesernya atau hilangnya pemahaman agama. Akibatnya gagal paham dan putus urat malunya.
Demokrasi Penyebabnya
Tren pacaran dan kumpul kebo merupakan potret buram demokrasi yang asasnya sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Maka lahirlah pilar liberalisme (paham kebebasan) yang diagung-agungkan. Paham ini yang menjadikan seseorang merasa bebas dalam kehidupannya. Ketika marah, benci, cinta, senang, seseorang akan melampiaskan dengan cara apa pun sesuka hatinya. Sebab, tolok ukur perbuatannya bukan haram dan halal.
Tentu saja sudut pandang masyarakat sekuler menyimpang dari norma-norma agama. Menganggap aktivitas pacaran adalah hal yang biasa dan lumrah, bukan sebuah dosa. Bahkan, kumpul kebo dianggap sebuah solusi demi terpenuhinya kebutuhan jasmani (materi) dan kebutuhan gharizah nau' (hawa nafsunya).
Ini berarti negara gagal mencetak generasi beriman dan bertakwa. Bahkan sebaliknya, negara menjadikan generasi jauh dari agamanya. Faktanya negara malah mendukung dan memfasilitasi aktivitas perzinaan (pacaran, kumpul kebo) dan kemaksiatan lainnya. Contohnya tempat rekreasi, hiburan, hotel, pornografi dan pornoaksi, media sosial, semuanya bisa diakses dengan mudah tanpa ada kontrol dari negara sebagai penanggung jawab. Hal ini terjadi karena dalam sistem demokrasi sekuler liberal, semua fasilitas tersebut merupakan sumber pendapatan negara yang menghasilkan cuan.
Selain itu, agama tidak boleh mengatur urusan publik, maka wajar jika perzinaan tidak kena delik hukum pidana karena alasan suka sama suka dan tidak melanggar HAM. Terkecuali jika ada korban atau ada pihak yang dirugikan barulah diproses secara hukum. Sanksi hukum pun tidak memberikan efek jera. Wajar jika perzinahan merajalela. Alhasil, sekularisme inilah biang kerusakan pada semua aspek kehidupan. Masihkah sistem rusak ini dipertahankan?
Sistem Islam Solusinya
Sistem Islam (khilafah) memiliki aturan yang komprehensif dan sempurna. Di antaranya sistem pendidikan, sistem pergaulan Islam, dan sistem peradilan dengan sanksi hukumnya yang tegas dan adil serta dapat memberikan efek jera.
Akidah Islam sebagai asas negara (khilafah), sekaligus merupakan asas kehidupan bagi semua umat Islam. Sebab, akidah Islam inilah yang mendorong terbentuknya ketakwaan individu. Sehingga menjadi benteng awal bagi seseorang agar mampu bertindak sesuai syariat Islam. Dengan demikian seseorang akan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, semisal pacaran (zina) dan membunuh.
Syariat Islam melarang mendekati zina, seperti larangan berkhalwat (berdua-duaan yang bukan mahramnya), larangan berikhtilat (campur baur pria dan wanita yang bukan mahramnya), perintah menundukkan pandangan, dan lainnya.
Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina, adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. al-Isra: 32)
Mendekati zina saja dilarang, apalagi melakukan zina. Bagi pelaku zina sanksinya amat berat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
"Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam." (HR. Muslim)
Rajam, adalah sanksi hukum bagi pezina muhsan (yang masih/pernah berstatus menikah) dengan cara dikubur setinggi dada kemudian dilempari batu hingga mati.
Adapun sanksi hukum bagi pembunuh yang menghilangkan nyawa orang adalah qishash.
Qishash adalah pembalasan dengan hukuman yang sama persis dengan kejahatan yang dilakukan, seperti pembunuhan dibalas dengan pembunuhan.
Namun, ada hukuman alternatif dari hukuman qishash, yaitu diyat.
Diyat adalah hukum berupa pembayaran denda atau sejumlah uang yang diberikan oleh pelaku (keluarganya) kepada keluarga korban sebagai kompensasi. Dalam kasus pembunuhan yang disengaja, standar umum diyat, adalah 100 ekor unta dengan perincian 30 ekor unta betina 3-4 tahun, 30 ekor unta betina 4-5 tahun, dan 40 ekor unta betina bunting. Jika unta sulit didapat/tidak memungkinkan, diyat dapat diganti dengan uang tunai yang setara nilainya dengan unta tersebut.
Penerapan sanksi hukum yang adil dan tegas akan memberikan efek jera (zawajir) bagi yang lainnya. Adapun di akhirat tidak dihisab (jawabir), karena sanksi sebagai penebus dosa.
Hanya saja, semua itu dapat direalisasikan ketika negara menerapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara khilafah. Melalui sistem pendidikan Islam dan penerapan sistem pergaulan Islam, serta sistem sanksi hukum. Maka hal ini meniscayakan negara berhasil mencetak generasi cemerlang, berkepribadian Islam, beriman, dan bertakwa, serta selamat di dunia dan di akhirat. Tidak seperti pada sistem demokrasi sekuler yang melahirkan generasi pezina, sengsara, dan masuk ke neraka. Saatnya kembali pada sistem Islam yang diridai Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda, "Apabila zina dan riba telah nampak di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri-diri mereka." (HR. Al-Hakim, dari Ibnu Abbas)
Wallahualam bissawab.

Komentar
Posting Komentar