Pembunuhan Menjadi Pandemi dalam Sistem Kufur


OPINI

Mesti ada korelasi antara ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara dalam hal akidah, pelaksanaan hukum syara', hingga tasaqofah umum lainnya maka akan terbentuk masyarakat yang islami.

Oleh Luluk Kiftiyah 

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Tidak henti-hentinya kasus pidana menjadi konsumsi publik setiap hari. Adanya kasus pencabulan, pelecahan seksual, hingga pembunuhan merupakan sinyal keras bahwa sistem ini sudah rusak dari akarnya. Seperti halnya kasus pembunuhan, tepatnya di rumah indekos rt 01 rw 01 Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur.


Pelaku pembunuhan, Alvi Maulana (24) merupakan pacar korban TAS (25), yang sudah tinggal satu atap selama 5 tahun. Pelaku tega membunuh pacarnya lantaran kesal dengan korban karena besarnya tuntutan ekonomi yang korban minta. Puncaknya, korban mengunci pelaku dari dalam, sehingga pelaku naik pitam dan membunuh serta memutilasi tubuh korban menjadi lebih dari 75 potongan. (kompas.com, 08/09/2025)


Kasus pembunuhan serupa juga terjadi di indekos, jalan H. Yusin, gang Muchtar, Jakarta Timur. Kali ini pembunuhan dilakukan oleh remaja berusia 16 tahun, berinisial FF, tega membunuh kekasihnya IM (23) karena cemburu setelah melihat foto korban bersama laki-laki lain. Tubuh korban ditemukan dalam kondisi penuh luka lebam, terutama bagian wajah, leher, dan tangan. (news.okezone.com, 17/9/2025)


Maraknya kasus pembunuhan, merupakan dampak diterapkannya sistem sekuler kapitalisme, yang menjadikan akidah umat rusak dari akarnya. Ibarat kata, sistem ini digambarkan seperti penyakit kanker yang menggerogoti tubuh sedikit demi sedikit namun pasti. Tidak heran jika akidah umat makin ke sini makin terkikis, hingga menyebabkan mental illness, tempramen, sumbu pendek (gampang marah) bahkan tak segan-segan untuk membunuh. 


Membunuh dijadikan pelampiasan atas sakit hati yang dirasakan, tanpa memikirkan dampak panjangnya. Pelaku sudah buta akan dosa dan murka Allah Swt dan tak takut dengan hukum pidana. Hal ini terjadi karena sistem sanksi yang diterapkan oleh sistem sekuler kapitalisme tidak tegas, dan sama sekali tidak memberikan efek jera pada pelaku. Alhasil, banyak kasus serupa yang terjadi secara berulang. 


Padahal Allah Swt. sudah menyebutkan konsekuensi menghilangkan nyawa manusia dengan sengaja, terutama nyawa seorang mukmin adalah nyawa dibalas dengan nyawa. Sebagimana firman Allah Swt berikut:


وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا


"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam. Ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta memberikan azab yang besar baginya." (QS. An-Nisa [4]: 93)


Oleh karenanya, dalam berbagai kasus yang ada hari ini, butuh solusi yang menyentuh akar masalahnya, bukan solusi secara parsial. Sebagaimana dalam syari'at Islam yang memiliki 3 pilar penyangga utama, yaitu:


1. Ketakwaan individu 

Akidah Islam ditanamkan secara individual maupun kolektif. Kesadaran inilah yang membuat mereka disiplin dalam mentaati aturan Allah Swt, karena pelanggaran sekecil apapun akan disadari bahwa itu adalah dosa dan kemaksiatan. Dalam hal ini adanya mazju al-madah bi ar-ruh (mengintegrasikan materi dengan ruh) sehingga kesadaran rakyat benar-benar menjadi sangat tinggi. Ini semua didasari dengan adanya pembinaan secara berkelanjutan, yaitu dengan metode pembelajaran Islam, meliputi; tasqif, dipelajari, dipahami, diamalkan, dan disebarkan. Sehingga ketaqwaan individu-individu masyarakat lebih kuat.


2. Kontrol masyarakat 

Adanya kontrol masyarakat untuk beramar ma'ruf nahi mungkar yang dapat meminimalisir terjadinya kejahatan. Amar makruf nahi mungkar ini juga sebagai rem agar tidak menjadikan kesalahan sebagai habit (kebiasaan), apalagi mengingat tradisi dan kultur yang akut di tengah masyarakat. Ibarat para pelaku kejahatan, tidak akan mendapatkan tempat untuk melakukan kejahatan mereka.


3. Negara sebagai tata pelaksana aturan

Selain kontrol dari masyarakat, butuh peran negara dalam melakukan tata pelaksana aturan. Negara wajib memberikan sanksi yang tegas dan keras, yang memberikan efek jera (zawajir) dan penebusan dosa atau pemulihan kemaslahatan bagi pelaku (jawabir). 


Semua tindakan dan sanksi yang diberikan bertujuan untuk menutup celah sekecil-kecilnya agar pintu pelanggaran tidak semakin lebar, bahkan sebaliknya. Dengan begitu, mesti ada korelasi antara ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara dalam hal akidah, pelaksanaan hukum syara', hingga tasaqofah umum lainnya maka akan terbentuk masyarakat yang islami. Sehingga mereka mampu mengendalikan diri, emosi, termasuk meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual, dan tidak mudah terpancing bahkan melakukan pembunuhan.


Sebab bagaimanapun juga, negara sebagai entitas eksekutif (kiyan tanfidzi) yang menjalankan sekumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis), dan keyakinan (qana'at) yang diterima oleh umat, sebagai kunci dari masalah yang ada hari ini. Yaitu peran negara dalam menjalankan syari'at-Nya secara Kaffah sehingga mendatangkan rida Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt dalam ayat berikut:


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ...


"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...." (QS. Al-A'raf: 96)


Wallahu a'lam bisshawaab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan