Keracunan MBG Berulang, Inikah Program Gemilang?
OPINI
Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK
"Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah langkah strategis untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045..."
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Itulah postingan Badan Gizi Nasional (BGN) yang mewarnai laman instagram sejak 15 Mei 2025 lalu. Sebuah program yang digadang-gadang sebagai program gemilang dan penuh harapan untuk menuntaskan persoalan stunting dan gizi buruk, oleh pemerintah negeri ini.
Bahkan sebagaimana dilansir dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id pada 17 Februari 2025 lalu, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah bergulir di berbagai sekolah di Indonesia. MBG dinyatakan sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi bagi anak sekolah. Di samping itu melalui program ini diharapkan mampu membangkitkan UMKM, ekonomi kerakyatan, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Program MBG yang resmi dimulai pada 6 Januari 2025 memiliki 4 kategori sasaran penerima MBG, yaitu:
1. Peserta didik, baik jenjang SD, SMP, SMA, SMK. MA, SLB, dan pesantren.
2. Anak usia di bawah lima tahun.
3. Ibu hamil.
4. Ibu menyusui.
Lembaga yang bertugas melaksanakan program MBG yakni Badan Gizi Nasional (BGN) telah dilengkapi dengan unit kerja yang secara komprehensif dapat melaksanakan program MBG secara efektif dan efisien, di antaranya:
• Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN.
Unit ini bertugas menyusun rumusan, koordinasi, sinkronisasi, perumusan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kebijakan teknis di bidang sistem dan tata kelola pemenuhan gizi nasional.
• Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan BGN
Unit ini memiliki tugas sebagai pemantau dan pengawas program MBG.
• Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA)
Beberapa aspek penting yang menjadi tugas unit ini meliputi penyediaan makanan bergizi, edukasi gizi, pemantauan dan evaluasi, kerja sama lintas sektor, serta pemberdayaan UMKM lokal.
• Inspektorat Utama BGN
Unit yang bertugas melakukan pengawasan internal.
Sekilas paparan tersebut terlihat merupakan program yang patut diacungi dua jempol. Besar harapan bahwa pelaksanaan program MBG dapat berjalan baik, tepat sasaran, serta efektif dan efisien dalam penggunaan anggaran.
Namun realitanya, teramat disayangkan. Deretan kasus keracunan MBG terus bergulir. Kemenkes mencatat ada 12 ribu kasus keracunan MBG di Indonesia (detikHealt, 10/10/2025). Data ini didapatkan dari pusat laporan milik Kemenkes melalui aplikasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon atau SKDR. Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes, Sumarjaya menjelaskan total jumlah kasus tersebut didapatkan dari data yang dihimpun hingga 5 Oktober 2025 pukul 17.00 WIB.
"Sampai sore kemarin, kita sudah memiliki kasus kejadian laporan dari SKDR sekitar 119 kejadian dengan 11.660 kasus," terang Sumarjaya, Senin (6/10/2025).
Dari pemaparan data SKDR, Sumarjaya menunjukkan ada tiga provinsi tertinggi yang mengalami keracunan pangan MBG. Itu terdiri dari Jawa Barat (34 kejadian), Jawa Tengah (15 kejadian), dan DI Yogyakarta (13 kejadian).
Mengulik Akar Masalahnya
Dari deretan kasus keracunan MBG yang masih bergulir maka urgen untuk ditelusuri akar dari permasalahan ini. Ditinjau dari kesiapan dalam melaksanakan tugas dari program tersebut maka BGN telah dilengkapi dengan unit kerja yang secara komprehensif dapat melaksanakan program MBG sesuai dengan end to end process secara efektif dan efisien. Hal ini bisa dipantau dengan dibentuknya Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN, Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan BGN, dan Inspektorat Utama BGN. Bahkan Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) telah menggagas sejumlah aspek penting yang menjadi bagian dari implementasi program MBG.
Namun pada faktanya, kelengkapan unit dengan sekian banyak gagasan yang dicanangkan tetaplah sebatas di atas kertas. Sedangkan dalam pelaksanaannya justru melahirkan berbagai kegamangan yakni dengan bergulirnya kasus keracunan tersebut.
Hal ini wajar terjadi karena program yang digagas ini didasarkan pada asas kapitalis liberalis. Pengusung asas ini, khususnya kaum pemodal tentu saja akan menomorsatukan kemanfaatan dalam setiap aktivitasnya.
Memang Program MBG yang dijalankan juga memperhatikan aspek kerja sama lintas sektor, meliputi kolaborasi antara BGN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dikdasmen, Kementerian Sosial, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pemerintah daerah, serta pihak terkait lainnya untuk implementasi program yang efektif dan berkelanjutan ini.
Bahkan aspek terakhir yang ditekankan dalam implementasi program MBG adalah pemberdayaan UMKM Lokal dalam penyediaan rantai pasok makanan bergizi untuk mendorong ekonomi lokal dan memastikan ketersediaan makanan yang segar dan berkualitas. Termasuk juga menyerap ratusan bahkan ribuan tenaga kerja. Hal ini tentu saja akan menambah pemasukan bagi keluarga-keluarga di tengah masyarakat.
Dari sini pula aliran dana bagi program ini akan banyak tersedot ke dalam kementrian yang berkolaborasi dengan BGN. Belum lagi perolehan laba UMKM, gaji bagi para pekerja, dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini akan semakin mengeruk anggaran program MBG ini. Di samping itu lemahnya pengawasan terhadap mutu masakan yang dihasilkan sehingga saat sampai ke tangan penerima manfaat maka kondisinya dalam keadaan basi, berulat, bahkan sampai keracunan.
Ini semua terjadi karena para pelaku program mendahulukan besarnya manfaat (materi) yang bisa diraih dalam proyek ini. Pada akhirnya para penerima manfaat yang dirugikan. Bukan perbaikan gizi yang diperoleh tapi sebaliknya penyakit yang diderita.
Islam Menjamin Gizi Rakyat
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai langkah strategis untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, tak lain sebagai jalan keluar untuk mengatasi stunting yang sangat kompleks dan sistemis. Padahal jika ditelusuri penyebab utama dari stunting itu sendiri adalah adanya kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan pengangguran yang kian menumpuk sebagai akibat badai PHK. Dengan kondisi seperti itu tentu saja rakyat kesulitan untuk bertahan hidup, apalagi untuk makan bergizi. Inilah yang terjadi dan akan terus terjadi jika kepemimpinan negeri ini didasarkan pada sistem kapitalis liberalis.
Maka tentu saja berbeda dengan Islam. Kepemimpinan dalam Sistem Islam berbeda jauh dengan kepemimpinan dalam sistem sekarang. Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, seorang mujtahid mutlak abad ini, dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2, menjelaskan bahwa syariat Islam telah menetapkan fungsi kepemimpinan sebagai pengurus alias pelayan (raain) sekaligus pelindung umat (junnah). Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan pemimpin tidak akan keluar dari koridor syariat. Itulah sebabnya mampu melahirkan kehidupan sejahtera, adil, dan penuh berkah.
Dalam praktiknya, syariat Islam memiliki tata aturan yang komprehensif dalam mewujudkan hal tersebut. Seorang imam atau pemimpin menjalankan dengan amanah dan hati-hati dalam menetapkan berbagai kebijakan. Islam memerintahkan negara menjamin kebutuhan primer dengan memerintahkan kepala keluarga bekerja. Sementara negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Jaminan lapangan pekerjaan nyata dalam sistem ini karena Islam akan memberdayakan sumber daya manusia untuk mewujudkan mengelola kekayaan negara Khilafah beserta sumber daya alamnya. Politik anggaran negara menggunakan Islam dan mengutamakan skala prioritas yang benar sesuai syarak.
Dalam sistem Islam terdapat mekanisme untuk memenuhi gizi rakyat. Pertama, terjaminnya kebutuhan primer per individu secara layak. Syariat memerintahkan setiap kepala keluarga untuk bekerja sesuai firman Allah Swt. dalam QS. Al-Mulk ayat 15. Jika kepala keluarga tidak sanggup bekerja, maka kerabatnya yang membantu. Jika tidak ada kerabat atau kerabat tidak mampu membantu, maka keluarga tersebut akan mendapatkan santunan dari Negara.
Kedua, negara wajib membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Dengan tersedianya lapangan pekerjaan bagi orang tua, maka setiap keluarga akan mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.
Adapun makan siang saat anak berada di sekolah, pemenuhan gizinya bisa berasal dari sekolah. Ini satu kesatuan dengan pendidikan, sebab pendidikan dan pangan adalah kebutuhan primer yang dijamin oleh negara.
Ketiga, politik APBN syariah mampu menyediakan fasilitas sekolah berkualitas beserta makan siang bergizi. Seluruh kebutuhan termasuk pangan sudah terjamin, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Ketika politik APBN berbasis syariah ini diterapkan, pemasukannya melimpah dan pengeluarannya berdasarkan skala prioritas. Umat pun menjadi prioritas utama.
Keempat, sistem politik Islam akan melahirkan penguasa yang amanah. Penguasa dalam sistem Islam tidak mementingkan pencitraan, melainkan mengutamakan pelayanan terhadap umat. Seluruh kebijakannya menuntaskan persoalan, termasuk pemenuhan gizi umat.
Adapun dalam menjalankan semua layanan terhadap umatnya maka tentu membutuhkan pendanaan. Maka itu semua didapat dari sumber daya alamnya. Berkaitan dengan hal itu terdapat mekanisme khusus terhadap sumber-sumber kekayaan alam tersebut yakni ditetapkan sebagai milik umat. Negara berkewajiban mengelolanya demi sebesar-besar kepentingan rakyat melalui mekanisme baitulmal yang dikenal kuat dan memiliki sumber-sumber pemasukan yang banyak dan berkelanjutan. Di luar hasil pengelolaan SDA, pos pemasukan negara jumlahnya sangat banyak. Misalnya, ada pos anfal, fai, ganimah, kharaj, khumus, jizyah, dan lain-lain. Dari sinilah modal negara dalam memakmurkan rakyat karena melimpah ruah. Untuk itu wajar jika kehidupan masyarakat dalam naungan Sistem Islam begitu ideal dan mengagumkan. Bahkan, kehebatannya menjadi bahan pembicaraan dan role model bagi bangsa-bangsa yang lain sepanjang masa.
Dengan demikian keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan benar-benar nyata dalam sistem kepemimpinan Islam. Hal ini sesuai janji Allah Swt. dalam QS. Al-A’raf ayat 96, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.”
Jadi, jaminan ketersediaan pangan bergizi bagi seluruh rakyat benar-benar terwujud, bukan hanya di siang hari, tetapi di setiap waktu makan, bukan hanya untuk anak-anak, tetapi seluruh warganya. Dengan demikian tidak diperlukan lagi program MBG, karena mekanisme yang dijalankan sudah mampu melahirkan kegemilangan. Oleh karena itu, mari kembali kepada kehidupan Islam dalam naungan sistem Islam yang hakiki.
Wallahu alam bissawab.

Komentar
Posting Komentar