Penculikan Anak Terjadi Lagi: Negara Gagal Ciptakan Lingkungan Ramah Anak


OPINI


Oleh Ummu Qianny

Aktivis Muslimah


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Kasus penculikan balita kembali terjadi, kali ini dialami oleh anak bernama Bilqis di Kota Makassar, mirisnya dia berada di area tidak jauh dari ayahnya yang saat kejadian sedang olahraga tenis. Ironisnya Bilqis yang masih berusia 4 tahun ini, berpindah-pindah lokasi dalam waktu 1 minggu. Makasar-Jambi-Pedalaman/suku anak dalam. (Bbc.com,15/11/2025)


Dalam kasus penculikan kali ini, modusnya berbeda dari penculikan-penculikan sebelumnya, karena tanpa meminta uang tebusan kepada keluarga korban dan tidak pula dibawa keluar negeri, melainkan pelaku memanfaatkan kepolosan masyarakat adat untuk menutupinya. (tribunnews.com, 16/11/2025)


Fakta tersebut dapat dilihat bahwa penculikan semacam ini tidak berdiri sendiri atau secara individual bukan karena seseorang murni membutuhkan uang lalu dia 'kalap' menculik anak. Mereka memiliki komplotan untuk saling mengambil keuntungan dengan cara menculik korban lalu dijual, tindakan ini sudah masuk kategori sindikat TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).  


Penculikan Bilqis, semakin membuktikan bahwa orangtua tidak boleh lengah sedikitpun, atas keberadaan anaknya, meskipun masih terjangkau pandangan. Para orangtua tentunya sangat was-was karena tidak bisa menjaga 24 jam anak-anak mereka, sedikit ada celah saja langsung beralih posisi si anak. Bayangkan dalam waktu 1 minggu Bilqis berpindah-pindah kota, dengan pelaku yang berbeda-beda, entah bagaimana traumanya saat ini. 


Namun dengan ditemukannya Bilqis, merupakan kabar baik bagi pihak keluarga, Bilqis sehat, ia berhasil diselamatkan. Karena di tempat lain, banyak anak korban penculikan sulit untuk dilacak, kalaupun berhasil ditemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Terkait penculikkan anak, Kementerian PPPA mencatat, sejak 2022 hingga Oktober 2025 tercatat 91 kasus penculikan anak dengan 180 korban. (Inilah.com,15/11/2025) 


Ini tentu bukan angka yang sedikit, Angka ini bukan lagi peringatan, tapi alarm keras bahwa ada masalah serius dalam perlindungan anak di negeri ini. Ketika suatu negara terjadi kejahatan berulang, maka bukan lagi individu yang salah tapi ini adalah kejahatan sistemik. 


Lingkungan Publik yang Tidak Aman bagi Anak


Maraknya kasus penculikan yang terjadi di area publik, menunjukkan bahwa belum ada tempat yang aman untuk anak-anak kita, bahkan di tempat keramaian sekalipun. Tidak ada jaminan keamanan yang konkret: sistem pengawasan lemah, sistem respons lambat, dan masyarakat tidak dibekali kesadaran serta mekanisme perlindungan. Rakyat seolah dibiarkan bertarung dengan berbagai risiko kejahatan di sekeliling mereka tanpa pelindung yang memadai.


Hukum Kita Sudah Ada, Tapi Kenapa Kasusnya Tetap Muncul?


Indonesia memiliki aturan terkait penculikan dan perdagangan anak ini, yang dapat dengan mudah kita temukan dalam UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014). Terkait tindak kejahatan penculikan maka sanksi bagi pelaku adalah dipenjara 3–15 tahun, serta denda Rp 60 juta–Rp 300 juta. 


Hukuman bagi pelaku penculikan dan perdagangan orang, nyatanya belum memberi efek jera, justru sindikat TPPO terus bermunculan. Salah satu penyebabnya penegakan hukum yang tidak konsisten yang akan memberi ruang bagi pelaku untuk kembali melakukan kejahatan. 


Selain itu, adanya praktik perdagangan anak dibalut kata-kata adopsi, menunjukkan ada daerah yang rentan. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat. 


Negeri ini hanya sebatas membuat sanksi tetapi sayangnya tidak berupaya mencegah hal kejahatan terjadi. Minimnya pengawasan dan edukasi masyarakat, penegakan hukum yang lambat, kondisi ekonomi yang kurang layak, serta ketidakhadiran negara yang nyata di tengah masyarakat merupakan bukti bahwa negara kurang melindungi rakyatnya. Dengan kata lain, hukum saja tidak cukup, yang dibutuhkan adalah sistem yang mencegah kejahatan sebelum terjadi.


Perlindungan Anak dalam Perspektif Islam


Dalam Islam, keamanan jiwa manusia adalah prioritas utama. Maqasid syariah secara tegas menempatkan hifzh an-nafs (perlindungan jiwa) sebagai sesuatu yang penting. Artinya, negara wajib menjamin keamanan setiap individu, terutama anak yang belum mampu melindungi dirinya sendiri.


Dalam pandangan Islam, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan, pemenuhan kebutuhan, dan pendidikan. Allah berfirman: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu.” (QS. Al-Isra’: 31)


Ayat di atas bermakna: Negara (dan masyarakat) bertanggung jawab menjamin kesejahteraan anak, karena membiarkan anak menderita atau kelaparan bertentangan dengan prinsip Islam. Selain itu, negara bertanggung jawab melindungi anak-anak dari bahaya, kekerasan, dan kelalaian. Negara dapat dianggap sebagai “pemimpin” yang wajib memastikan hak anak terpenuhi.


Dalam fikih, anak (anak-anak, yatim, dan yang lemah) adalah mustahak lil himayah, mereka berhak atas perlindungan hukum, sosial, dan ekonomi. Negara sebagai pelaksana hukum wajib memastikan hak-hak ini terpenuhi.


Kesimpulan:

Dalam Islam, perlindungan anak bukan hanya tugas orang tua, tetapi juga tanggung jawab negara. Dalilnya tercantum dalam Al-Qur’an, hadis, dan prinsip fiqh yang menekankan: kesejahteraan, keamanan, pendidikan, dan larangan eksploitasi. Negara memiliki peran aktif untuk menjamin anak-anak hidup dengan aman.


Dalam konsep pemerintahan Islam (daulah), negara memikul tanggung jawab penuh terhadap keamanan masyarakat. Negara bukan sekadar hadir ketika kejahatan terjadi, tetapi membangun sistem yang mencegah kejahatan sejak awal melalui: ketakwaan masyarakat diperkuat, kesejahteraan ditingkatkan, dan struktur sosial dibangun agar tidak memberi ruang bagi kejahatan berkembang.


Penculikan anak yang berulang adalah alarm keras bahwa negara belum mampu menciptakan lingkungan yang aman dan ramah anak. Perlindungan anak bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut keberpihakan dan sistem yang mengatur masyarakat. Perspektif Islam menegaskan bahwa keamanan jiwa adalah kewajiban negara dalam menjaga umat dan ini tentu bukan pilihan.


Hanya Daulah Khilafah Islamiyah sajalah yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan kepada warganya. 


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan