Halal Tak Cukup Label: Ironi Sulitnya Perlindungan Produk Halal Bagi Muslim di Indonesia
Kasus makanan-minuman non halal yang tidak diberi label menjadi cerminan bahwa label halal saja tidak cukup untuk menjamin kehalalan produk
OPINI
Oleh Ndarie Rahardjo
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menghadapi tantangan dalam menjamin kehalalan produk yang beredar di pasaran. Terutama untuk makanan dan minuman harus memenuhi syarat halal dan baik, karena mengkonsumsi makanan yang halal adalah kewajiban beragama bagi seorang Muslim bukan lagi pilihan.
Kasus terbaru yang mencuat adalah dugaan penggunaan minyak babi dalam proses penggorengan di restoran legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo. Restoran yang berdiri sejak 1973 ini diketahui menggoreng ayam dengan minyak babi, tanpa mencantumkan informasi tersebut secara jelas kepada konsumen. Setelah ramai diperbincangkan, pihak restoran akhirnya mencantumkan keterangan 'Non Halal' pada platform digital mereka. (Detikfood, 23-5-2025)
Penyebab utama sulitnya jaminan halal:
1. Kurangnya kesadaran produsen dan konsumen.
Banyak pelaku usaha yang belum memahami bahwa pentingnya sertifikasi halal, adalah kewajiban syariat Islam dan legal.
Pelaku usaha sering berpikir bahwa jika produknya tidak mengandung babi atau alkohol, maka sudah otomatis halal. Padahal, kehalalan juga menyangkut: cara penyembelihan (untuk daging), proses produksi (terhindar dari najis), alat dan bahan tambahan yang digunakan (seperti emulsifier, gelatin, dll). Semua harus dipastikan sesuai syarat syariat Islam baik dari segi proses maupun bahan yang digunakan.
Selain itu, sertifikasi halal dianggap mahal, prosesnya lama, terlalu birokratis, dan menganggap hanya untuk industri besar saja.
Di sisi lain, konsumen juga seringkali tidak kritis dalam memilih produk, mereka cenderung tidak peduli, tidak mencari tahu, atau tidak memastikan apakah produk yang dikonsumsi sesuai dengan standar halal. Ada juga anggapan keliru bahwa, karena Indonesia mayoritas Muslim, maka semua produk otomatis halal. Padahal faktanya, banyak produk impor, makanan olahan, dan restoran yang belum bersertifikat halal.
Konsumen kurang kritis saat membeli makanan dan minuman tanpa melihat komposisinya, dari mana makanannya berasal, apakah dari sumber terpercaya atau yang disertifikasi kan oleh MUI, bukan beranggapan bahwa jika semua produk yang tidak mengandung babi dan alkohol "otomatis" halal. Apalagi budaya latah membeli hanya bermodal informasi "viral" semata.
2. Lemahnya sistem kontrol masyarakat dan pengawasan negara dalam audit halal.
Pengawasan terhadap pelaku usaha, terutama UMKM, belum optimal, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran tanpa terdeteksi. Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah diberlakukan, namun implementasinya masih menghadapi kendala.
Terbukti dari kasus Ayam Goreng Widuran baru terungkap setelah viral di media sosial, bukan karena pengawasan resmi dari pemerintah.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem deteksi dini terhadap pelanggaran kehalalan masih belum efektif, pemerintah bertindak hanya tergantung pada laporan publik dan media saja.
3. Ketidaktegasan negara dalam penegakkan hukum.
Meskipun UU JPH mewajibkan sertifikasi halal bagi produk yang beredar di Indonesia, penegakan hukumnya masih lemah. Banyak produk yang belum bersertifikat halal tetap beredar tanpa sanksi yang tegas.
Pemberian label halal yang dulu wewenang MUI diambil alih negara, terlihat dualisme otoritas dan negara terkesan mengkomersialkan label halal.
Program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) hanya berlaku untuk pelaku UMK dan terbatas kuotanya. Belum tersedia sistem yang membuat sertifikasi halal sebagai hak semua umat Muslim, bukan layanan eksklusif.
4. Sekularisasi agama, dimana dalam sistem sekuler, nilai agama diposisikan sebagai urusan privat, bukan sebagai dasar hukum publik.
Akibatnya, halal hanya dianggap sebagai label dagang, bukan kewajiban syariat. Aspek ruhiyah dan ibadah dari konsumsi halal diabaikan.
Negara hanya menjadi fasilitator komersial, bukan penjaga akidah umat. Contohnya, produk diberi logo halal karena tuntutan pasar, bukan karena keimanan pelaku usaha.
1. Negara wajib menjalankan syariat Islam secara keseluruhan sehingga wajib menjamin kehalalan seluruh produk konsumsi rakyatnya.
Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk yang dikonsumsi masyarakat sesuai dengan syariat. Negara harus proaktif dalam mengawasi dan menindak pelanggaran terhadap kehalalan produk.
2. Sistem halal harus menyeluruh dan preventif.
Kehalalan produk tidak hanya ditentukan oleh bahan baku, tetapi juga oleh proses produksi, penyimpanan, dan distribusi. Oleh karena itu, sistem jaminan halal harus mencakup seluruh rantai produksi dan distribusi.
3. Edukasi halal sebagai tanggung jawab kolektif.
Pemerintah, ulama, dan masyarakat harus bekerja sama dalam memberikan edukasi tentang pentingnya kehalalan produk. Kampanye dan sosialisasi perlu dilakukan secara masif untuk meningkatkan kesadaran semua pihak.
4. Penegakkan hukum yang tegas dan adil.
Pelanggaran terhadap kehalalan produk harus dikenai sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera. Penegakkan hukum yang konsisten akan mendorong pelaku usaha untuk mematuhi ketentuan yang berlaku.
Penutup
Kasus makanan-minuman non halal yang tidak diberi label menjadi cerminan bahwa label halal saja tidak cukup untuk menjamin kehalalan produk. Diperlukan sistem yang komprehensif dan penegakan hukum yang tegas untuk melindungi konsumen Muslim di Indonesia. Sudah saatnya semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, berperan aktif dalam menjamin kehalalan produk yang beredar di pasaran.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar